
Dea memiliki keistimewaan bisa melihat makhluk halus, akan tetapi ia merasa sangat terganggu dengan keistimewaan tersebut. Pasalnya melihat makhluk halus yang bentuknya menyeramkan, cukup menganggu.
Apalagi akhir-akhir ini Dea sering diteror oleh hantu perempuan yang ada di kampusnya. Tapi beruntungnya, Dea tidak sendirian. Seorang mahasiswa bernama Hari, ikut diganggu hantu perempuan itu juga.
Dea dan Hari pun bertekad untuk mencari tahu segala sesuatu tentang hantu perempuan tersebut, agar hantu...
Bab 2
Dea dan Matahari jalan bersisian menuju parkiran. Mereka saling diam, tidak mengeluarkan suara barang sepatah kata pun. Sebenarnya Dea ingin menegur teman sekelasnya itu, tapi ia takut dicueki. Pasalnya Matahari tidak sehangat matahari yang ada di langit sana. Matahari yang ini dingin, sangat dingin malahan.
Tiba-tiba saja Hantu Kiko kembali muncul. Hantu perempuan itu merangkul bahu Matahari dengan santai, lalu Matahari menepis tangan hantu tersebut yang ada di bahunya. Kemudian hantu perempuan itu berlalu sambil bersungut-sungut.
Kejadian itu tak lepas dari mata Dea yang berjalan di sebelah kanan Matahari. Perempuan itu mengerutkan keningnya samar. Matahari bisa melihat hantu juga?
"Hari, kamu bisa lihat hantu juga?" tanya Dea.
Matahari tidak menjawab, ia terus berjalan seperti tidak mendengar suara Dea. Padahal Dea yakin, suaranya sangat jelas untuk didengar oleh Matahari.
Dea berdecak kesal. Perempuan itu menarik lengan Matahari dengan kasar, lalu ia berdiri tepat di depan Matahari.
"Kamu bisa liat hantu juga?" tanya Dea dengan penekanan di setiap kalimat.
"Bisa," jawab Matahari singkat. Laki-laki itu masih setia dengan wajah datarnya.
"Kok kamu biasa aja? Kamu nggak takut?" tanya Dea sambil menoleh ke kanan kiri, takut ada yang mendengar pembicaraan mereka, tapi untunglah keadaan sekitar mereka sepi.
"Kenapa harus takut? Manusia cuma boleh takut sama Tuhan," jawab Matahari lagi-lagi dengan wajah datarnya.
Dea melepaskan lengan Matahari yang ada di genggamannya. Dalam hati perempuan itu setuju dengan teman sekelasnya ini. Kita hanya boleh takut pada Tuhan, tapi masalahnya ... tidak semudah itu!
***
Waktu sudah merangkak malam. Sudah hampir pukul dua belas malam, tapi Dea belum juga bisa terpejam. Perempuan itu masih terjaga dengan posisi berbaring di atas kasur.
Sesekali ia melihat putrinya yang tengah tertidur pulas di sebelahnya. Semenjak memiliki bayi, Dea tidak tidur di atas ranjang. Ia lebih memilih tidur di atas kasur lantai saja. Pasalnya, ia takut putrinya akan terjatuh dari ranjang.
Dea duduk dan menatap putrinya dengan lekat-lekat. Perempuan itu mengelus wajah damai putrinya dengan lembut.
Selama ini ia belum pernah melihat hantu di rumahnya, mungkin karena dirinya dan sang ibu sering mengaji di dalam rumah, sehingga hantu-hantu tidak ada yang berniat untuk tinggal di rumah tersebut. Ya, mungkin saja begitu.
Namun meskipun di rumahnya tidak ada hantu, Dea tetap tidak bisa tenang. Bagaimana kalau Kiko datang menemuinya di rumah dan mengganggu Delaci yang masih bayi?
Selama ini Dea memang sering melihat makhluk halus di luar rumah, tapi ia selalu bisa untuk pura-pura tidak melihat mereka. Jadi di antara makhluk halus tersebut tidak ada yang menerornya.
Beda halnya dengan Kiko tadi. Si Kiko sudah tahu ia bisa melihat dirinya, otomatis Kiko tak akan membiarkan Dea hidup dengan tenang.
Eh? Namanya benar Kiko? Mirip merek es, es Kiko.
***
Namanya Matahari. Hanya Matahari, tidak ada nama belakang. Ayahnya memberi nama itu karena ingin anaknya tumbuh menjadi seperti Matahari yang menerangi dan menghangatkan seluruh isi bumi.
Sedangkan ibunya? Entah wanita itu pergi ke mana. Sejak bayi Matahari hanya tinggal bersama ayahnya saja. Kalau kata kakek dan neneknya, ibunya pergi bersama laki-laki lain.
Pria itu sejak kecil sudah bisa melihat makhluk tak kasatmata. Bahkan ia pernah memiliki sahabat dari golongan mereka. Namun sekarang sahabatnya itu sudah pergi untuk selamanya. Sahabatnya itu sudah sadar kalau ia dan Matahari berbeda alam, tidak seharusnya mereka bersama selamanya.
Matahari teringat dengan teman kelasnya tadi. Dea, perempuan yang ternyata sama seperti dirinya, sama-sama bisa melihat makhluk halus.
"Hantu perempuan tadi siapa, ya? Kenapa dia seperti mengenal Pak Arya?" Matahari bermonolog.
Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi ia masih terjaga. Bukan, bukan ia sibuk memikirkan makhluk halus, tapi tadi dirinya sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya.
Ya, kalau pagi sampai sore ia bekerja, sedangkan kalau malam ia kuliah. Laki-laki itu bekerja sebagai staf tata usaha di sebuah instansi pemerintah. Ia bisa bekerja di sana berkatat bantuan dari pamannya yang anggota DPR.
Nepotisme. Ya, Matahari sadar itu nepotisme dan tidak baik, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia benar-benar butuh pekerjaan untuk membiayai kuliahnya. Ia tidak mungkin menodong uang pada ayahnya yang hanya sebagai guru SD.
Awalnya Matahari menolak tawaran pekerjaan tersebut, ia lebih memilih mencari pekerjaan sendiri. Namun ternyata mencari pekerjaan itu sulit, apalagi ia hanya memiliki ijazah SMA.
Tiba-tiba saja terdengar suara berisik seperti benda yang terjatuh ke lantai.
Matahari langsung bangun dan duduk di atas kasur saat mendengar suara dari luar kamarnya. Laki-laki itu mengendap-ngendap keluar dari dalam kamar. Ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Di tangan kanannya tergenggam palu berukuran cukup besar. Siapa tahu itu maling, jadi ia harus waspada.
Matahari menghembuskan napas kasar saat melihat sosok melayang di ruang tv. Sosok itu menyeringai kepada Matahari.
"Selamat malam, Bang," sapanya dengan lirih dan dengan mulut yang tertutup rapat.
Sosok itu adalah tetangganya yang baru meninggal dua minggu yang lalu. Konon katanya, seseorang yang baru meninggal arwahnya masih akan bergentayangan di sekitar rumahnya selama tiga puluh hari.
Hantu bocah laki-laki sepuluh tahun itu masih ada di sekitar rumahnya dan sering menampakkan dirinya di depan Matahari.
Bocah laki-laki bernama Wisnu itu meninggal akibat penyakit kanker otak. Ia hanya mampu bertahan dengan penyakitnya itu selama satu tahun saja.
Rumah Wisnu terletak persis di sebelah rumah Matahari. Malahan letaknya berdempetan, hanya dipisahkan oleh dinding batu bata saja. Ya, perumahan mereka memang bukan perumahan mewah yang antara rumah satu dengan lainnya terletak berjauhan.
"Jangan ganggu Abang! Abang mau tidur," ujar Matahari dengan tegas. Ia bicara tanpa mengeluarkan suara karena makhluk halus bisa mendengar suara hatinya.
Matahari langsung kembali masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil memeluk guling dengan erat. Ia memaksa memejamkan matanya, ia ingin segera tidur. Besok pagi ada banyak pekerjaan yang menunggunya.
Eh? Kok gulingnya dingin? Laki-laki itu membuka matanya perlahan-lahan.
Matahari berdecak kesal saat mendapati yang ia peluk adalah Wisnu. Bocah laki-laki itu meringis ke arah Matahari.
"Aku bosan, Abang. Capek ngomong sama Ayah Mamak, mereka nggak ada yang dengar," celoteh Wisnu.
"Ya wajar mereka nggak bisa dengar. Alam kalian sudah beda," sahut Matahari dengan malas.
"Tapi Abang bisa."
"Abang beda. Abang manusia pilihan." Matahari memunggungi Wisnu. Ia malas menatap wajah hantu kecil tersebut. Memang sih tidak seram, tapi wajah pucatnya sedikit menganggu mata Matahari.
"Abang jangan tidur dulu dong! Wisnu bosan nih!" rengek Wisnu persis di telinga Matahari.
Matahari berdecak-decak kesal. "Wisnu! Kamu pilih pergi sendiri atau Abang usir?"
Sekarang giliran Wisnu yang berdecak-decak kesal. Hantu cilik tersebut lantas pergi dari kamar Matahari. Ia memilih pergi ke rumah orang tuanya saja, menyaksikan orang tunya yang terlelap dalam damai.
Sepeninggal Wisnu, Matahari lantas memejamkan matanya dengan relaks. Dan dak lama, ia sudah terlelap ke alam mimpi.
***
Pukul tiga pagi Dea terbangun saat mendengar Delaci menangis keras. Ibu muda itu lantas terbangun dengan segera. Dan betapa kaget dan marahnya ia saat mendapati es Kiko tengah mengganggu Delaci. Hantu perempuan itu menarik-narik rambut Delaci sambil terkikik pelan.
Dea langsung menggendong Delaci dengan erat. Perempuan itu menatap es Kiko dengan kesal. Kalau sudah berurusan dengan Delaci, tidak ada kata takut dalam kamus Dea. Siapa pun yang mengganggu putrinya maka harus berhadapan dengan dirinya.
"Apa mau kamu? Kenapa kamu ganggu anakku?" Dea bertanya dalam hati sambil menatap hantu itu dengan garang.
Kiko menyeringai lebar. Perempuan itu sedang dalam wujud perempuan cantik, sehingga cukup enak dipandang mata.
"Kita sekarang berteman, bukan? Bukannya tidak masalah kalau aku mendatangi rumah temanku sendiri?" ujarnya dengan lirih dan bibir yang tertutup rapat.
"Sstt ... cup cup cup, Sayang." Dea tidak menghiraukan Kiko. Ia sibuk meredakan tangis Delaci. Dan syukurlah Delaci tak berlama-lama dengan tangisnya, batita itu menjadi tenang dalam pelukan ibunya.
Merasa diabaikan, Kiko lantas menoel wajah Dea dengan tangan dinginnya.
"Kiko, pergi kamu!" bentak Dea sambil menepis tangan dingin Kiko yang ada di wajahnya.
"Namaku Kiki! Riski Meladiana, bukan Kiko!" proses hantu perempuan itu tak terima.
Kiki? Ternyata namanya Kiki? Bukan es Kiko? Ya ampun, ternyata Dea salah dengar.
Karena geram Kiki tak lantas pergi, Dea segera membaca ayat kursi. Belum selesai Dea membaca ayat kursi, Kiki sudah pergi. Dan hal itu membuat Dea bisa bernapas lega.
Tak berapa lama Delaci sudah terlelap kembali. Dea tidak berani tidur lagi, ia takut Kiki akan kembali muncul.
Perempuan itu pun memilih untuk berwudhu dan kemudian shalat tahajud. Selesai shalat, ia mengirimkan do'a dan tahlil untuk almarhum suami dan ayahnya.
Suaminya meninggal saat usia Delaci baru tiga hari. Suaminya meninggal akibat kecelakaan kerja. Restoran tempat suaminya bekerja terbakar. Suaminya yang bekerja di bagian dapur tidak sempat melarikan diri, dan akhirnya meninggal.
Kalau ayahnya meninggal akibat kecelakaan motor. Dan saat ini, Dea hanya memiliki ibu dan seorang putri saja.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
