
Cerpen ini adalah dokumentasi potongan masa kecilku mengenai sosok tetangga yang kadang menjadi musuh bersama.
Di halaman rumah Mbah Dharmo, tumbuh sebatang pohon jambu air yang besar. Seolah tak mengenal musim, pohon itu memproduksi buah terus menerus. Mbah Dharmo terkenal pelit, bahkan untuk jambu yang sudah jatuh ke tanah, ia tak ijinkan anak-anak mengambilnya. Jika ada yang nekat mengambil, ia pasti langsung menghardiknya. Di jam-jam tertentu, di waktu-waktu anak-anak bermain di luar, ia sengaja mengawasi dari kamarnya, mengintip dari balik jendela.
Aku termasuk anak yang sering kena hardik lantaran ketahuan memungut jambu yang jatuh. Rumahku tepat di samping rumah Mbah Dharmo. Pohon jambu itu tumbuh di antara rumah kami dan itu membuatku terpapar pemandangan yang menggoda iman setiap hari.
Sebenarnya, Mbah Dharmo tidaklah jahat. Ia tidak mencuri, tidak pernah telat bayar pajak dan selalu rajin giliran ronda. Ia juga sering sembayang di mushola kampung. Ia hanya tidak suka orang-orang mengambil jambunya. Bukan hanya jambu, kalau sedang musim rambutan, ia akan menyangga dahan-dahan yang rendah karena keberatan buah, supaya orang tak mudah memetiknya.
“Mbah Dharmo memang terkenal pelit. Kudoakan kuburannya sempit,” kataku pada suatu hari. Alhasil, aku dijewer ibu karena mendoakan orang sepuh yang tidak-tidak.
“Ora pareng kaya ngono, Nggar, cah bagus...” Ibuku menasehati, “kalau pengen makan jambu, nanti Ibu belikan sekresek. Nggak perlu nggragas cari jambu jeblokan,”
Aku berlari keluar rumah dengan wajah semringah. Pamer pada Kunto dan Andhes, kawanku main kelereng, bahwa sebentar lagi aku bisa menikmati buah jambu Mbah Dharmo yang memang terkenal manis. Kunto dan Andhes mencibir, padahal aku tahu mereka sebenarnya kepengen. Mereka tidak seberuntung aku yang selalu dimanjakan oleh ibu. Maklumlah, aku terlahir sebagai anak bungsu.
Suatu hari, ketika pagi baru saja merekah, terdengar teriakan dari rumah Mbah Dharmo. Lelaki tua itu ngamuk-ngamuk tak karuan. Rupanya ada orang kurang ajar yang sudah berani mencuri jambunya. Jambu-jambu yang sedang ranum-ranumnya itu dirontokkan dari dahan secara brutal. Buah yang merah-merah raib tak tersisa. Sedang yang masih hijau berserakan di halaman.
“Sapa sing nyolong jambuku, bosok wetenge!” Mbah Dharmo bersumpah serapah. Karuan saja ia marah-marah sebab sudah ada orang yang memesan jambu itu untuk dibeli dengan harga yang lumayan.
Pagi itu terjadi keributan yang cukup menghiburku sebab aku masih menyimpan kesal pada lelaki gaek itu. Aku yakin para tetangga juga banyak yang bersorak atas kejadian nahas yang menimpa Mbah Dharmo. Nahas bagi dia, tapi lucu bagi kami. Lagi-lagi, ibu menjewer telingaku.
“Tidak baik berbahagia di atas penderitaan orang lain. Aja kulina,”
Tiga hari kemudian, Tarno, yang merupakan menantunya sendiri datang menghadap Mbah Dharmo dengan muka meringis sambil memegangi perut. Rupanya, dialah yang mencuri jambu-jambu Mbah Dharmo. Ya, sudah jadi rahasia umum jika Mbah Dharmo tidak hanya pelit kepada orang lain, tapi juga kepada keluarganya sendiri. Bahkan cucunya saja tidak boleh memetik jambunya. Entah karena kebanyakan makan jambu atau karena kutukan Mbah Dharmo, sudah tiga hari mencret-mencret Tarno tidak sembuh.
Kami para tetangga semakin meledak tertawa.
Selain pelit, Mbah Dharmo juga adalah tipe orang yang suka pamer. Kalau sedang punya uang dan bisa masak daging, ia akan sengaja bersuara keras-keras supaya tetangga tahu. Ketika anak lelakinya baru pulang merantau dan menghadiahinya televisi baru, ia sibuk pura-pura bertanya kepada tetangga bagaimana menggunakan remote. Tingkahnya sungguh menyebalkan.
Suatu malam bapak menderita sakit gigi. Ada gigi berlubang yang rupanya terlambat ditangani sehingga menimbulkan infeksi. Terlebih siang harinya bapak bekerja berat memanen sawit. Gusi bapak semakin terasa senut-senut saat mendengar alunan campursari dari rumah Mbah Dharmo. Sore tadi kulihat dia beli kaset bajakan di pasar. Rupanya ia tak tahan untuk pamer TV lengkap dengan VCD Player barunya. Ia memutar kaset itu keras-keras dan bernyanyi mengikuti alunan musik hingga tengah malam. Bapak yang tak sanggup lagi menahan sakit dan emosi menyumpahi Mbah Darmo.
“Muga-muga cangkemmu merot! Semoga mulutmu mencong!” kutuk bapak di tengah sakitnya.
Keesokan paginya sebuah keajaiban terjadi. Mulut Mbah Dharmo benar-benar mencong. Ya, mencong ke kiri. Bapak takjub. Kami orang serumah juga takjub.
“Jangan bilang siapapun kalau bapakmu yang menyumpahi Mbah Dharmo,” ibu mewanti-wanti.
***
Sudah tiga kali Lebaran aku tak pulang ke kampung halaman. Aku memilih tinggal di kota metropolitan yang lebih menjanjikan karir yang cemerlang. Lagipula, istriku tidak akan mau kuajak menetap di pedalaman Sumatra. Tapi Lebaran kali ini aku merasa sudah waktunya menjenguk kampung halaman.
Kampungku sudah banyak berubah, meski jalan menujunya tetap saja sering rusak. Tapi pasar di desa ini sekarang lebih hidup dan ramai. Pohon jambu di halaman rumah Mbah Dharmo sudah lama ditebang. Pemiliknya pun sudah lama meninggal. Tapi Wandi, anak bungsunya yang sekarang menempati rumah yang dibangun di mana dulunya pohon jambu itu tumbuh, telah mencangkok dahannya sebelum pohon itu ditumbangkan. Ia menanam pohon itu di sisi lain pekarangan mereka.
Di hari ketiga Lebaran, anakku menghampiriku yang sedang bercengkerama dengan ibu di teras. Bocah laki-laki lima tahun itu menangis tersedu-sedu.
“Ada apa, Le?” tanya ibuku.
“Nggak boleh ambil jambu sama Pakdhe itu...”
Aku menoleh kepada ibu, “Rupanya bapak dan anak tabiatnya tak jauh beda.”
Ibuku tertawa. “Kamu dan bapakmu juga. Sama-sama keras kepala.”
Aku cemberut, “Lha Bapak juga nggak mau dengerin aku.”
“Kamu sebagai anak juga harus bisa memahami kekhawatiran Bapak, ya, Le. Bapak cuma ingin anak-cucunya tidak kekuranagan.”
Aku malas membahas hal itu lagi. Alih-alih menanggapi obrolan ibu, aku malah pamit untuk memandikan anakku.
Sejak tiga tahun yang lalu memang bapak menyarankan, tepatnya memaksaku, untuk kembali ke desa. Dimintanya aku dan keluarga kecilku menempati rumah ini.
“Rumah ini beserta pekarangan ini kelak akan jadi hakmu, Nggar. Kedua mbakyumu sudah kami buatkan rumah masing-masing. Kamu tinggal di desa saja, mengurus sawit. Bapak juga berencana memodalimu bikin sarang walet,” pinta bapak.
Sebenarnya, tawaran bapak itu merupakan iming-iming yang sangat menggiurkan dan menjanjikan. Jujur saja, karirku sebagai karyawan pabrik di Jakarta juga tidak terlalu bagus. Gajiku sebatas UMR dengan THR satu kali gaji. Untuk memenuhi kebutuhan hidup (dan gengsi) keluarga kecilku, aku masih sering ditransfer oleh bapak. Tetapi, yang jadi ganjalan adalah istriku.
“Aku ogah tinggal di desa, Mas. Gimana dengan komunitas nulisku di Jakarta? Lagian, kita kan udah sepakat mau masukkan Awang ke sekolah internasional. Anak itu harus fasih bahasa Inggris.”
“Ya kita pertimbangkan lagi saran Bapak, Dek. Kalau soal Awang, di desa juga sudah banyak kursus bahasa asing.”
Istriku hanya cemberut.
***
“Hoeek... Hoeeekkk... Mas, tolong ambilkan tisu.
Istriku muntah-muntah lagi di kamar mandi. Trimester pertama kehamilannya memang berat. Dulu, waktu mengandung Awang, dia juga muntah-muntah hebat. Untunglah di kehamilan kali ini ada ibu yang bantu merawat.
Ya, kami sudah boyongan ke rumah orangtuaku di desa. Wabah korona rupanya berdampak pula pada perusahaan tempatku bekerja. Kami tak menyangka perusahaan sebesar itu juga akan merumahkan beberapa karywannya, termasuk aku. Kami nyaris tak punya tabungan dan pesangon dari kantor hanya sekadarnya. Hanya cukup untuk bertahan sebulan.
Maka, tidak ada pilihan lain yang masuk akal selain kembali ke rumah orangtua. Aku sebenarnya malu dan merasa kalah. Tetapi, ibu terus-terusan membesarkan hatiku. Pun demikian bapak dan kedua kakakku.
“Mas,” kata istriku ketika kami di kamar, “aku kepengen jambu di rumah tetangga.”
Aku menoleh, “Ya, nanti biar ibu yang belikan.”
“Enggak... Aku nggak mau kalau beli,” istriku merajuk.
“Lha terus?”
“Aku maunya kamu nyolong jambu itu. Ya?”
Kutatap wajah istriku yang meminta dengan memelas.
Kota Baru, Juni 2019
Kagem Ibu, terimakasih sudah memanjakan masa kecilku.
***
Catatan:
*Ora pareng kaya ngono: nggak boleh kayak gitu
*Cah bagus: anak ganteng
*Nggragas: rakus, celamitan
*Jambu jeblokan: jambu yang berjatuhan
*Sapa sing nyolong jambuku, bosok wetenge: barang siapa yang maling jambuku niscaya busuk perutnya
*Aja kulina: jangan terbiasa
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
