OUR MARIPOSA - 8 (CAMPING)

324
25
Deskripsi

         “Kenapa?” tanya Iqbal khawatir. 

         “Dingin,” jawab Acha. 

         “Mau dipeluk?” 

         Acha menggeleng cepat dengan senyum malu. 

         “Nggak mau,” tolak Acha. 

         “Terus mau apa?” 

*****

OUR MARIPOSA PART DELAPAN

 

MASA KINI 

 

   Semua sudah kumpul di rumah Acha. Mulai dari Iqbal, Glen, Rian dan Amanda. Hari ini mereka berlima akan pergi camping di puncak. 

“Acha nggak sabar banget! Akhirnya bisa camping lagi sama kalian semua,” seru Acha semangat. 

Acha berbalik badan, ingin memanggil Amanda namun Acha dikagetkan oleh Glen yang baru saja turun dari mobil Alpardnya dengan membawa Meng. 

“MENGG!!!” teriak Acha lebih heboh. Acha langsung berlari mendekati Glen dan meminta Meng dari Glen, menggendongnya. 

“Pelan-pelan, Cha. Hati-hati adek kesayangan gue nih,” ucap Glen was-was sendiri karena Acha memeluk Meng dengan erat. 

“Acha kangen sama Meng, maaf ya Acha jarang jenguk.” Acha tak mempedulikan ucapan Glen dan lebih asik dengan Meng. 

Rian, Amanda dan Iqbal ikut berbalik sama terkejutnya dan terherannya. 

“Lo beneran bawa Meng?” tanya Iqbal, tidak menyangka Glen serius dengan ucapannya. 

Glen melepaskan kaca mata hitamnya. 

“Iya, kan udah gue bilang kemarin.”

“Gue kira bercanda.” 

“Kasihan dia sendirian di rumah. Papa dan Mama gue ke luar kota tiga hari,” jelas Glen. 

Glen menoleh ke Rian dan Amanda yang berdiri berjauhan dengan wajah masih kusut. Glen geleng-geleng menatap keduanya bergantian. 

“Lo berdua masih bertengkar?” tanya Glen dengan wajah tak berdosanya. 

Rian menyentuh bibirnya dengan jari seperti memberikan kode kepada Glen untuk diam. 

“Apaan?” bingung Glen tak paham dengan kode yang diberikan oleh Rian. 

Iqbal segera mendekati Glen dan membisikinya. 

“Lo diem,” tajam Iqbal. 

Glen menoleh ke Iqbal kaget sekaligus tak terima. 

“Kenapa gue harus diem? Kan gue punya mulut buat ngomong dan makan,” protes Glen. 

Iqbal memberikan kode dengan dagunya ke arah Amanda, mau tak mau Glen pun ikut menatap Amanda. Glen langsung kaget melihat lirikan maut dari Amanda. 

“Sebaiknya gue memang harus diam. Mulut gue juga bisa jago untuk diam,” gumam Glen, nyalinya langsung menciut. 

Amanda mendecak pelan, moodnya masih tidak bagus pagi ini. Apalagi ia masih belum berbaikan dengan Rian. Cowok itu tidak mau meminta maaf kepadanya dan Amanda sendiri memutuskan untuk tidak minta maaf juga. 

“Ayo berangkat!” seru Amanda dingin. Ia langsung masuk ke dalam mobil Alpard Glen, duduk di depan tepatnya sebelah supir. 

Rian, Glen, Acha dan Iqbal kaget melihat Amanda duduk di depan. Glen segera berjalan mendekati Rian. 

“Lo aja Yan yang nyetir,” suruh Glen berniat memberikan kunci mobilnya. 

Rian menggeleng. 

“Gue masih ngantuk,” tolak Rian dan ikut masuk ke dalam mobil, duduk paling belakang. Seolah menjauh dari Amanda. 

Baik Glen, Iqbal dan Acha hanya bisa menghela napas berat. Sepertinya akan terjadi perang dingin di dalam mobil. 

“Ayo masuk, Cha,” ajak Iqbal. 

Mereka bertiga mau tak mau segera menyusul ke dalam mobil. Glen pun dengan terpaksa tetap harus menyetir. Walaupun sebelahnya ada Amanda yang hanya diam dengan tatapan dinginnya. 

Glen berdoa dulu sebelum berangkat sembari mengangkat dua tangannya. 

“Lancarkanlah perjalanan yang penuh kecanggungan ini, Ya Allah. Amin. 

*****

Seperti dugaan Glen, selama perjalanan ke puncak dua jam terasa begitu sepi dan canggung. Semua itu karena pertengkaran Amanda dan Rian. Glen yang biasanya suka bercanda memilih tidak bersuara dan fokus menyetir. 

Glen takut jika dia salah berucap, Amanda akan menendangnya dari samping. Sedangkan, Rian benar-benar tidur di kursi belakang selama dua jam. 

Acha dan Iqbal pun pasrah di kursi tengah, menyibukkan diri dengan merawat Meng, selagi Abangnya menyetir. 

“Sabar ya Meng. pasti Meng juga ngerasa canggung dan nggak nyaman di mobil ini?” bisik Acha hampir tak kuat dengan perang dingin yang dikibarkan Amanda dan Rian. 

****

Akhirnya mereka berlima sampai juga di tempat camping. Acha segera turun duluan, udara segar puncak menyambutnya. Acha merentangkan satu tangannya, sedangkan tangan kirinya masih sibuk menggendong Meng. 

“Segarnya. Akhirnya sampai!” seru Acha makin semangat. 

Acha menoleh ke Iqbal, cowok itu sudah sibuk menurunkan barang-barang bersama Rian dan Glen. Acha ingin menghampiri Iqbal, namun dari belakang Amanda tiba-tiba menyeretnya. 

“Ayo,” ajak Amanda.

“Kemana Amanda?” bingung Acha. 

“Temenin gue ke toilet.” 

Acha pun mengangguk saja, pasrah mengikuti Amanda. Sedangkan, Rian, Iqbal dan Glen melihat kejadian tersebut hanya bisa menghela napas panjang. 

Iqbal dan Glen menoleh ke Rian yang masih tak bisa mengalihkan tatapannya dari punggung Amanda. 

“Lo nggak mau baikan?” tanya Iqbal membuka suara. 

“Lo mau situasi canggung kayak gini terus Yan? Kita lagi liburan bukan perang!” tambah Glen meluapkan kegelisahannya. 

Rian mengatap dua sahabatnya dengan sendu, merasa bersalah. 

“Sori, gue juga bingung harus gimana.”

         Iqbal menepuk pelan bahu Rian. 

         “Nggak ada salahnya mengalah,” ucap Iqbal memberi saran terbaiknya. 

         Glen mengangguk-angguk setuju. 

         “Lo coba minta maaf dulu aja. Daripada terus-terusan bertengkar kayak gini. Lo sendiri juga nggak nyaman, kan?” tambah Glen. 

         Rian mengangguk. 

         “Amanda bakalan mau maafin, kan?” 

         Iqbal dan Glen menghela napas panjang sembari tatapan penuh harap. 

         “Semoga saja.” 

         Rian pun mau tak mau ikut menghela napas bahkan lebih panjang. Ia segera mengangkat tiga tenda yang ada di depannya. 

         “Ayo diriin tenda.”

****

         Amanda duduk di depan kursi minimarket yang tak jauh dari toilet camping. Acha pun ikut duduk, mencoba untuk menghibur Amanda. 

         “Amanda, mau Acha belikan minum?” tanya Acha menawari. 

         Amanda menggeleng, ia menatap Acha dengan ekspresi suntuk. 

         “Gue kesal banget, Cha sama Rian! Sejak kejadian bertengkar di restoran, dia sama sekali nggak hubungi gue dan nggak mau minta maaf sama gue! Bahkan, hari ini pun dia nggak ada bilang kalau ikut camping! Kalau tau dia ikut, gue lebih baik nggak ikut!” Amanda mengeluarkan unek-uneknya. 

         Acha menyentuh tangan Amanda, mengelus-elusnya untuk memberikan ketenangan. 

         “Iya, Rian emang salah. Amanda berhak kesal dan marah.” Tentu saja Acha akan memberikan dukungan kepada sahabatnya. 

         “Lo pasti kesal juga, kan? Kalau Iqbal kayak Rian? Marah-marah nggak jelas dan nggak mau ngalah!”

         Acha mengangguk cepat. 

         “Iya, Acha pasti marah seperti Amanda.” Lagi-lagi Acha menyetujui ucapan Amanda, demi membuat mood Amanda lebih baik.

         Acha tersenyum kecil melihat Amanda menghela napas berkali-kali. Acha mendekatkan duduknya ke Amanda. Acha memberikan waktu sejenak bagi Amanda meredamkan emosinya. 

         “Amanda sudah puas marah-marahnya? Udah lega?” tanya Acha. 

         Amanda mengangguk lemah. 

         “Sudah, Cha. Makasih udah dengerin.” 

         Acha mengeluarkan botol air kecil dari tasnya, dia memang sempat membawa air putih. Acha menyodorkannya ke Amanda. 

         “Minum dulu, Amanda.” 

         Amanda menggeleng kecil, menolak. 

         “Gue nggak haus, Cha. Nanti aja gue minum di tenda.” 

         Acha mengangguk, tangannya mengenggam erat tangan Amanda. 

         “Semoga mood Amanda lebih baik ya. Kita have fun di sini.”

         Amanda menoleh lagi menatap Acha, merasa bersalah. 

         “Maaf ya, gara-gara gue situasi canggung banget. Gue akan sebisa mungkin have fun di sini.” 

         “Nggak apa-apa, Amanda. Acha ngerti.” 

         Amanda tersenyum lega, memiliki Acha yang selalu mendukungnya dan mengerti perasaanya membuatnya sangat bersyukur. 

         “Makasih banyak, Cha. Mood gue jauh lebih baik sekarang.” 

*****

         Setelah mengangtarkan Amanda ke toilet. Acha buru-buru mencari Iqbal. Acha akhirnya menemukan Iqbal yang tengah menata air minum di dekat tenda. Acha segera mendekati Iqbal. 

         “Iqbal,” panggil Acha. 

         Iqbal menoleh, kaget dengan kedatangan Acha. 

         “Udah selesai?” tanya Iqbal. 

         “Selesai apa?” bingung Acha. 

         “Nemenin Amanda.”

         Acha mengangguk. 

         “Sudah. Lama banget ya Acha? Maaf.”

         Iqbal tersenyum kecil. 

         “Nggak apa-apa. Amanda sekarang gimana?”

         Bibir Acha mengerucut kedepan, teringat dengan emosi Amanda yang masih membara di depan minimarket.  

         “Masih marah. Sepertinya Rian harus segera minta maaf ke Amanda deh,” jawab Acha. 

         “Iya, Rian juga kelihatan bingung buat minta maaf duluan.”

         Acha bergumam panjang, ia memikirkan cara agar Amanda dan Rian bisa segera baikan. 

         “Acha punya ide, Iqbal,” seru Acha semangat. 

         “Ide apa?”

         “Biar Amanda dan Rian nggak bertengkar lagi dan baikan.”

         “Apa idenya?”

         Acha tersenyum penuh arti. 

         “Nanti malam, Acha pura-pura ajak Amanda ke bukit kecil yang ada di pojok camp dan Iqbal juga ajak Rian. Kita suruh mereka duluan ke sana dan akhirnya mereka bisa berdua di sana. Klasik sih ide Acha. Tapi siapa tau berhasil. Gimana ide Acha?” Acha menjelaskannya penuh semangat. 

         Iqbal terkekeh mendengar ide ajaib Acha. Bahkan dirinya tidak sampai kepikiran ke sana. 

         “Keren.”

         “Beneran keren? Iqbal setuju?” 

         “Setuju, Cha.” 

         “Oke, setelah ini Acha akan bilang ke Amanda dan Iqbal juga bilang ke Rian ya.”

         “Oke. 

         “Jangan lupa Iqbal,” peringat Acha. 

         Iqbal mengelurkan tangannya, mengacak-acak rambut Acha dengan gemas. 

         “Iya sayang.” 

*****

         Iqbal menghampiri Rian yang sedang mendirikan tenda terakhir mereka. Hari ini mereka memang sengaja mendirikan tiga tenda. Itu semua dikarenakan Glen yang membawa Meng. Jadi, Glen meminta untuk tidur sendiri bersama Meng. 

         “Sudah selesai?” tanya Iqbal, membantu Rian menghubungkan pondasi tenda. 

         “Sebentar lagi,” jawab Rian. 

         Iqbal mengedarkan pandangannya, melihat situasi apakah ada Amanda disekitarnya. Setelah merasa aman, Iqbal berjalan lebih dekat ke arah Rian. 

         “Yan,” panggil Iqbal pelan. 

         “Apa?” 

         “Acha tadi punya ide biar lo bisa baikan dengan Amanda.”

         Sontak Rian langsung menghentikan aktivitasnya, menoleh ke Iqbal dengan tatapan penasaran. 

         “Gimana?” tanya Rian antusias. 

         Iqbal menunjuk ke arah bukit yang tak jauh dari tempat camping merreka. 

         “Nanti malam, Acha akan ajak Amanda ke sana,” ucap Iqbal mulai menjelaskan. 

         “Terus? Gue juga ikut kesana?” tanya Rian semakin tak sabar. 

         “Acha pura-pura nyuruh Amanda duluan. Nanti lo susul Amanda di sana.” 

         Rian mengangguk-angguk takjub dengan ide Acha. 

         “Oke, gue akan ke sana nanti malam.” 

         Iqbal mengangkat jempolnya. 

         “Good luck.” 

         “Doain Amanda mau baikan sama gue.”

         “Pasti.” 

          Obroloan mereka berakhir karena kedatangan Glen bersama Meng. Glen terlihat sibuk mengawasi Meng. 

         “Lo berdua lihat makanan Meng, nggak?” tanya Glen ke Rian dan Iqbal. 

         “Nggak,” jawab keduanya serempak. 

         “Kalau makanan gue lihat juga?” tanya Glen lagi. 

         “Nggak, gue cuma lihat kebodohan lo!” ucap Rian dengan tajamnya 

         “Sialan lo, Yan.” 

         “Emang lo bawa makanan apa?” heran Rian. 

         Glen melebarkan senyumnya. 

         “Nasi padang dua puluh bungkus. Keren, kan gue?”

         “Mau lo makan dua puluh bungkus itu?” kaget Rian begitu juga dengan Iqbal. 

         “Jelaslah. Bisa kita makan buat besok pagi juga.”

         Rian dan Iqbal hanya geleng-geleng melihat tingkah absurd Glen yang sama sekali tak berubah. Mereka mau heran tapi yang mereka hadapi seorang Glen. 

         “Mau heran, tapi anaknya Bu Anggara!” 

*****

         Malam akhirnya tiba, langit terlihat sangat cerah dan gemerlap bintang begitu indah di atas sana. Api unggun juga sudah menyala di tengah tiga tenda yang di dirikan oleh Glen, Rian dan Iqbal. 

         Glen keluar dari tenda, bingung melihat tidak ada siapapun di dekat api unggun. Glen mengedarkan pandangannya ke kiri dan kanan, masih tidak ada tanda-tanda dari teman-temannya. 

         “Kemana mereka semua?” 

         Glen menghela napas pasrah. 

         “Menatang-mentang gue nggak punya pacar, main tinggal aja!” 

         Glen mau tak mau kembali ke dalam tenda. Ia melihat Meng yang sedang asik gulung-gulung di atas matras. Glen menatap Meng dengan tatapan sedih. 

         “Lo juga ngerasa kesepian Meng kayak gue?” 

         Glen mengelus kepala Meng. 

         “Apa gue cari Kakak ipar buat lo Meng? Setuju, nggak?” 

****

         Amanda memainkan kakinya, ia sudah menunggu Acha lebih dari lima belas menit. Namun, Acha tak kunjung datang. Amanda segera mengeluarkan ponselnya, menghubungi Acha. 

         Maaf nomer yang anda tujuh….

         Amanda mendecak pelan, ia pun segera berdiri, berniat untuk menghampiri Acha di tenda. Namun, langkah Amanda terhenti saat melihat sosok Rian berdiri tak jauh darinya. 

         Amanda merasakan jantungnya tiba-tiba berdetak cepat, tak menyangka akan bertemu Rian di sini. 

         “Amanda,” panggil Rian lirih. 

         Amanda berusaha mengumpulkan kesadarannya, bersikap setenang mungkin. Amanda melihat Rian berjalan mendekatinya. Saat itu juga, Amanda memilih untuk kembali melangkah, ingin menghindiri Rian. 

         Namun, lagi-lagi langkah Amanda terhenti. Rian menarik lengannya dan mencegahnya. 

         “Jangan pergi,” pinta Rian. 

         Amanda menoleh, menatap Rian yang menyorotnya dengan sendu. 

         “Mau apa?” dingin Amanda. 

         “Ngobrol bentar.”

         “Cuma ngobrol?” 

         “Minta maaf juga.” 

         Amanda menghela napas panjang, ingin rasanya menolak tapi mendengar kesungguhan Rian membuatnya sedikit iba. 

         “Lima belas menit, oke?”

         Rian tersenyum kecil sembari mengangguk. 

         “Lebih dari cukup. Kita duduk di kursi panjang.” 

         Rian tak melepaskan tangannya dari lengan Amanda, terus mengenggamnya. Amanda pun tak memprotes, ia mengikuti Rian. 

*****

         Acha dan Iqbal menikmati indahnya api unggun di depan mereka. Setelah ke minimarket untuk membeli kopi kaleng, mereka kembali ke lokasi tenda. 

         Acha perlahan menyenderkan kepalanya ke bahu Iqbal, suasana saat ini terlalu romantis bagi Acha. 

         “Iqbal,” panggil Acha lirih. 

         “Hm?”

         “Kira-kira Amanda dan Rian sudah baikan?” tanya Acha khawatir. 

         “Semoga sudah.” 

         “Acha sangat berharap mereka segera baikan.” 

         Iqbal melirik ke Acha, menangkap wajah khawatir sang pacar. Iqbal meraih tangan Acha dan mengenggamnya erat. 

         “Mereka pasti baik-baik aja, Cha.” 

         Acha mengangguk, berusaha percaya. Tatapannya semakin menyorot ke depan. Angin malam yang semakin dingin terasa menusuk di kulit Acha. 

         Acha bergidik merasakan dingin tersebut. Acha menegakkan tubuhnya dan segera merepatkan jaketnya. 

         “Kenapa?” tanya Iqbal, kini giliran dia yang khawatir dengan Acha. 

         “Dingin,” jawab Acha jujur. 

         “Mau dipeluk?” 

         Acha menggeleng cepat dengan senyum malu. 

         “Nggak mau,” tolak Acha. 

         “Terus mau apa?” 

         Acha menunjuk ke arah tendanya. 

         “Masuk ke tenda. Acha mau istirahat juga.” 

         Iqbal terkekeh pelan, mengangguk mengiyakan.

         “Masuk sana.” 

         Acha menatap Iqbal lekat. 

         “Iqbal nggak marah, kan?” tanya Acha. 

         “Marah kenapa?”

         “Karena Acha nolak buat dipeluk.” 

         Iqbal tersenyum kecil. 

         “Nggak marah, Cha.”

         Acha mendekati Iqbal dan langsung memeluk Iqbal seerat mungkin. Iqbal terkejut dengan yang dilakukan Acha. 

         “Biar Acha yang peluk Iqbal,” ucap Acha lirih. 

         Iqbal tak segan membalas pelukan Acha lebih erat. 

         “Nggak jadi ke tendanya?” goda Iqbal. 

         Acha melepaskan pelukan Iqbal cepat, tubuhnya semakin terasa dingin. 

         “Jadi, dingin banget Iqbal.”

         Iqbal segera berdiri, mengulurkan tangannya ke Acha. 

         “Ayo gue antar ke tenda.”

         Acha mengangguk dan ikut berdiri. Acha tanpa ragu menerima tangan Iqbal. Mereka berdua berjalan ke tenda. 

         Acha pun segera masuk ke dalam tenda, ia melihat Iqbal masih setia berdiri di depan tendanya untuk menunggunya. 

         “Makasih banyak Iqbal sudah kabulin keinginan Acha camping hari ini,” ucap Acha tulus. 

         “Sama-sama, Cha.” 

         Acha menatap ke tangannya yang masih digenggam oleh Iqbal. Tak mau dilepaskan oleh sang pacar. 

         “Lepasin tangan Acha,” pinta Acha. 

         Dengan berat hati, Iqbal melepaskannya.

         “Selamat malam, Cha.” 

         Acha melambaikan tangannya ke Iqbal, setelah itu Acha segera menutup resleting tenda. 

         Acha bersiap untuk berbaring. Namun, merasakan sepi di kiri dan kanannya. Acha tak merasakan kantuk sama sekali malah merasa takut. Acha bergegas untuk duduk dan keluar dari tenda.

         “Iqbal!!” panggil Acha. 

         Untung saja Iqbal masih sibuk menambah kayu di api unggun. Iqbal menoleh ke Acha dengan wajah kaget. 

         “Ada apa?” Iqbal segera mendekati Acha, khawatir ada apa-apa dengan sang pacar. 

         Acha mengerucutkan bibirnya dengan wajah sedih. 

         “Acha takut sendirian di dalam,” jujur Acha. 

         “Nggak berani sendiri?”

         Acha mengangguk dengan lugunya. Kedua matanya berkaca-kaca saking takutnya. 

         “Iya, nggak berani. Amanda juga kayaknya masih lama datangnya.” 

         Iqbal lebih mendekat, kemudian menarik tubuh Acha dan memeluknya erat. Iqbal membelai lembut belakang rambut Acha untuk menenangkan. 

         “Ada gue, Cha. Nggak usah takut.” 

         Acha melepaskan pelukannya, kedua matanya menyorot penuh harap ke Iqbal. 

         “Iqbal,” panggil Acha lebih lirih. 

         Iqbal menyentuh pipi Acha, membelai hangat. 

         “Kenapa?” 

         “Iqbal mau nemenin Acha?” pinta Acha. 

         “Mau.” 

         “Maksud Acha itu…” Acha menggantungkan ucapannya, bingung untuk menjelaskan. 

         Iqbal mengerutkan kening, tak mengerti.

         “Itu apa, Cha?” 

         “Iqbal mau nemenin Acha di dalam tenda?”

***

#CuapCuapAuthor 

BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART DELAPANNYA? SUKA NGGAK?

PENASARAN NGGAK SAMA KELANJUTANNYA? 

OUR MARIPOSA PART 9 DAN OUR MARIPOSA PART 10 akan berbayar ya teman-teman pasukan. Satu partnya seharga Rp. 3.000 , bisa dibayar pakai Pulsa, Shopeepay, Transfer bank, Dana, Indomaret dan lain-lainnya. 

OUR MARIPOSA PART 9 DAN OUR MARIPOSA PART 10 AKAN UPDATE BESOK, KAMIS 19 MEI 2022 JAM 20:00 WIB DI KARYAKARSA. STAND BY SIAP-SIAP BESOK YAA DUA PART SANGAT SPESIAL-NYA ^^

SAMPAI JUMPA DI OUR MARIPOSA PART 8 DAN OUR MARIPOSA PART 9 

Untuk info update bisa follow instagramku : luluk_hf atau di Channel Telegramku :  PASUKAN LULUK HF 

Jangan lupa komen dan love part ini jika teman-teman suka. Komen dan Love dari teman-teman sangat ditunggu banget. 

Share juga cerita OUR MARIPOSA ke teman-teman kalian yang juga suka MARIPOSA ya ^^

SEMOGA TEMAN-TEMAN SEMUA SELALU SUKA OUR MARIPOSA, SELALU BACA OUR MARIPOSA DAN SELALU SUPPORT OUR MARIPOSA ^^

MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN SEMUA. SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. DAN, JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN YA ^^ 

Salam, 

Luluk HF 

          

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Our Mariposa
Selanjutnya OUR MARIPOSA - 9 (THE NIGHT)
280
49
          “Iqbal, Acha masuk tenda dulu, ya,” pamit Acha.          “Berani?”         Acha mengangguk.          “Amanda sepertinya sudah masuk tenda juga.”          Iqbal menoleh ke tenda Acha. Sejenak terdiam lama.          “Acha,” panggil Iqbal membuat Acha berhenti.          “Iya, Iqbal?”         “Jangan masuk,” cegah Iqbal cepat.          “Kenapa Iqbal?” *****OUR MARIPOSA PART 9 DAN PART 10 berbayar Rp. 3000/partnya ya teman-teman. Cara bayarnya teman-teman langsung saja klik kotak biru yang ada harganya. Kemudian, pilih metode pembayaran yang teman-teman inginkan. Bisa bayar pakai Pulsa, Shopeepay, Dana, Gopay, Transfer Bank, OVO dan lainnya.  Selamat membaca dan semoga suka ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan