Korban Obsesi Gila (18+)

0
0
Deskripsi

Dimas, satpam baru di PT Karya Nusantara yang terletak di Bandung, adalah definisi pria idaman: atletis, tampan, ramah, dan selalu menebar senyum. Kehadirannya yang ceria dan mudah bergaul dengan siapapun, dari staf pabrik hingga manajemen, segera mencuri perhatian banyak orang. Namun, di balik keramahan yang ia sebarkan, ada sepasang mata yang menatapnya dengan hasrat tersembunyi, mata milik Pak Mardi, petugas cleaning service yang pendiam dan misterius.
Kagum berubah menjadi obsesi. Kekaguman pada...

Prolog: Hari Pertama Dimas di PT Karya Nusantara 

Alarm berbunyi nyaring, memecah kesunyian subuh. Dimas, dengan otot-otot yang terasa kencang setelah sesi olahraga rutinnya, segera mematikannya. Udara Bandung yang dingin masih menusuk, tapi semangatnya jauh lebih hangat. Hari ini bukan hari biasa. Ini hari pertamanya sebagai satpam di PT Karya Nusantara. Jantungnya berdebar, kombinasi antara antusiasme dan sedikit gugup. Ia menyisir rambut rapihnya, memastikan tidak ada sehelai pun yang luput, lalu tersenyum pada bayangan dirinya di cermin. Senyum ramah yang selalu jadi andalannya. "Semangat, Dimas," bisiknya pada diri sendiri.

Begitu tiba di gerbang PT Karya Nusantara yang megah, aroma logam dan mesin langsung menyeruak, bercampur dengan bau kopi dari pos satpam yang sudah mengepul. Udara pabrik terasa berbeda, ada getaran energi yang asing namun menarik.

Pak Robi, atasannya yang berbadan tegap dan tampak bijaksana, menyambutnya dengan senyum hangat. Kerutan di sudut matanya menunjukkan pengalaman. "Selamat datang, Dimas. Sudah siap untuk hari pertamamu?" suaranya tenang, menenangkan kegugupan Dimas yang sempat mencuat.

Dimas mengangguk mantap, menyalami Pak Robi dengan hormat. “Siap, Pak! Mohon bimbingannya.”

"Bagus. Semangat yang saya suka itu," puji Pak Robi sambil menepuk pundak Dimas pelan. “Oke, begini, Dim. Pertama-tama, kita akan menyapa para staf dan manajemen. Penting untuk tahu siapa saja yang bekerja di sini, dan mereka juga perlu tahu siapa wajah baru kita. Ini bagian penting dari tugas kita, membangun hubungan baik. Kamu akan jadi wajah pertama yang mereka lihat setiap pagi.”

Mereka berdua menyusuri koridor-koridor, melewati deretan mesin yang masih sunyi dan ruangan-ruangan kantor yang baru mulai ramai dengan kesibukan pagi. Pak Robi berhenti di depan sebuah pintu kaca. “Ini ruang manajer produksi, Pak Hendra.”

Saat pintu terbuka, seorang pria paruh baya menoleh. "Selamat pagi, Pak Hendra. Perkenalkan, ini Dimas, satpam baru kita," kata Pak Robi ramah.

Dimas langsung mengulurkan tangan, "Dimas, Pak. Senang bertemu Bapak." Ia tersenyum tulus.

Pak Hendra menjabat tangannya, mengamati Dimas sekilas. “Oh, Dimas. Selamat bergabung. Semoga betah, ya.”

"Terima kasih banyak, Pak," jawab Dimas.

Mereka melanjutkan perjalanan. Setiap kali bertemu staf atau karyawan, Pak Robi selalu memperkenalkan Dimas.

“Ini Bu Sari dari HRD, Dim. Kalau ada urusan administrasi, beliau ahlinya.”

"Selamat pagi, Bu Sari." Dimas membungkuk sedikit, senyumnya tak luntur.

“Ini Pak Rahmat, kepala gudang. Orang paling tahu seluk-beluk barang di sini.”

“Pagi, Pak Rahmat.”

Dimas melakukan persis apa yang diperintahkan dan disarankan oleh Pak Robi. Ia menyapa dengan senyum tulus, menjabat tangan, dan memperkenalkan diri. "Dimas, satpam baru," katanya berulang kali, suaranya ramah dan jelas. Dari staf pabrik yang sibuk dengan mesin-mesin, hingga manajemen yang duduk di balik meja kaca, semua ia sapa dengan keramahan yang sama. Banyak yang membalas senyumnya, beberapa tampak acuh tak acuh, tapi Dimas tak ambil pusing. Fokusnya adalah melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin, menjadi satpam yang ramah dan rajin seperti yang selalu ia impikan.

"Bagaimana, Dim? Lumayan lelah keliling-keliling?" tanya Pak Robi saat mereka kembali ke pos satpam setelah putaran pertama.

Dimas tertawa kecil. “Sedikit, Pak, tapi seru! Banyak wajah baru yang harus diingat.”

"Itu baru sebagian kecil. Nanti kamu akan terbiasa," kata Pak Robi, menuangkan kopi hangat untuk mereka berdua. “Yang penting, ingat nama-nama penting dan selalu ramah. Kita adalah garda terdepan perusahaan ini.”

Dimas menyesap kopinya, merasakan kehangatan yang menjalar. Hari pertamanya ini, ia merasa seperti sepotong puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya. Ia belum tahu, bahwa hari pertamanya ini bukan hanya awal dari sebuah pekerjaan, melainkan awal dari segalanya.

Interaksi Dimas yang Hangat

Setelah putaran perkenalan dengan jajaran manajer dan staf administrasi, Pak Robi membawa Dimas ke area pabrik yang mulai bising dengan deru mesin. Udara di sini lebih panas dan bau oli bercampur keringat terasa lebih kuat. Para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, beberapa melirik penasaran pada wajah baru yang berdiri di samping Pak Robi.

"Nah, ini jantungnya PT Karya Nusantara, Dim," Pak Robi berteriak sedikit agar suaranya terdengar di tengah kebisingan. “Para operator dan teknisi di sini kerja keras. Penting juga untuk mereka merasa aman dan nyaman dengan kehadiran kita.”

Dimas mengangguk. Ia tidak canggung sama sekali. Justru, ia merasa lebih "di rumah" di antara orang-orang yang bekerja dengan tangan mereka. Ia mengulurkan tangan pertama kali kepada seorang operator yang sedang menyeka keringat di dahinya. “Dimas, Pak. Satpam baru.”

Operator itu, seorang pria paruh baya dengan tato pudar di lengannya, tersenyum dan menjabat tangannya kuat. “Yanto, Mas. Selamat datang. Ganteng banget satpam baru kita, betah-betah ya di sini.”

Tawa renyah keluar dari Dimas. “Terima kasih, Pak Yanto. Pasti betah!”

Mereka terus bergerak, dan Dimas menyapa setiap orang yang ia temui dengan senyum ramahnya. Banyak yang membalas dengan hangat, beberapa mengajaknya berbincang singkat tentang cuaca atau kesibukan pabrik. Dimas mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali melontarkan lelucon ringan yang membuat orang tertawa. Tidak butuh waktu lama bagi para pekerja pabrik untuk merasa nyaman dengan kehadirannya.

Saat mereka melewati sudut gudang yang sedikit tersembunyi, Dimas melihat tiga orang berseragam cleaning service sedang membersihkan tumpahan oli. Salah satu di antaranya, seorang pria dengan rambut agak gondrong dan tatapan lurus, terlihat paling pendiam. Ini pasti Pak Mardi, pikir Dimas, mengingat daftar nama yang sempat ia baca di pos satpam. Dua lainnya adalah Hadi dan Bagas, yang terlihat lebih muda.

Pak Robi berdeham, menarik perhatian mereka. “Pak Mardi, Hadi, Bagas. Ini Dimas, satpam baru kita.”

Hadi dan Bagas tersenyum dan mengangguk, namun Pak Mardi hanya mendongak sekilas, memberikan anggukan singkat tanpa senyum, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Aura pendiamnya terasa jelas.

Dimas tidak terintimidasi. Ia melangkah mendekat dengan senyum lebarnya. "Halo, Pak Mardi, Mas Hadi, Mas Bagas. Saya Dimas. Mohon bantuannya kalau ada apa-apa, ya." Ia mengulurkan tangan pada Pak Mardi terlebih dahulu.

Pak Mardi ragu sejenak, lalu menjabat tangan Dimas. Jabatannya singkat dan dingin, tatapannya tidak bertemu langsung. "Iya, Mas," katanya singkat, suaranya pelan nyaris tak terdengar.

Hadi dan Bagas lebih ekspresif. "Hadi, Mas," kata Hadi sambil menjabat tangan Dimas erat. “Nanti kalau butuh bantuan apa-apa, jangan sungkan panggil kami, Mas. Atau kalau lapar, kami tahu warung paling enak di sekitar sini.”

Bagas ikut menimpali, “Betul, Mas! Santai saja di sini, semua ramah kok.”

Dimas tertawa lagi. "Siap, Mas Hadi, Mas Bagas! Nanti saya ajak makan siang, ya!" Ia tahu betul cara mencairkan suasana. Meskipun Pak Mardi tetap diam dan kembali fokus membersihkan, Dimas bisa merasakan sedikit pergeseran aura di sana. Ia yakin, seiring waktu, ia akan bisa menjangkau Pak Mardi juga. Kemampuannya bersosialisasi adalah aset terbesarnya. Ia selalu bisa menemukan celah, bahkan di antara orang-orang yang paling tertutup sekalipun.

Tatapan dan Sapaan Pak Mardi

Dari kejauhan, di antara tumpukan kotak dan deru mesin yang tak pernah berhenti, Pak Mardi diam-diam memperhatikan Dimas. Pria muda itu begitu mudahnya berbaur, senyum ramahnya tak pernah pudar saat menyapa setiap staf pabrik. Senyum itu, bagi Pak Mardi, terasa begitu tulus dan memikat. Sebuah perasaan aneh mulai menjalar di dadanya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Pandangannya tertuju pada tubuh Dimas. Balutan seragam satpam berwarna gelap itu entah mengapa terasa begitu pas, memeluk lekuk tubuh Dimas yang ramping namun agak berotot. Setiap kali Dimas bergerak, otot-otot itu sedikit menonjol, memberikan kesan kekuatan yang tersembunyi. Pak Mardi merasakan desiran halus. Di dalam benaknya, sebuah dorongan kuat muncul: ingin sekali ia memeluk pria muda itu, merasakan kehangatan dan kekencangan tubuhnya. Hasrat itu begitu mendadak dan intens, membuatnya terkejut sendiri. Ia cepat-cepat menepis pikiran itu, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup lebih kencang. Ini salah. Ini tidak seharusnya.

Namun, sesuatu dalam diri Pak Mardi terusik. Ada kerinduan yang tiba-tiba muncul, kerinduan untuk menjadi bagian dari keramahan yang Dimas pancarkan. Ia selalu menjadi sosok yang pendiam dan tertutup, jarang berinteraksi lebih dari sekadar urusan pekerjaan. Tapi Dimas berbeda. Ada sesuatu yang menariknya, membuatnya ingin mendekat.

Setelah Pak Robi dan Dimas beranjak dari area pabrik dan kembali ke pos satpam, Pak Mardi menyelesaikan pekerjaannya. Dengan sapu dan alat pel di tangan, ia berjalan melewati lorong menuju area loker cleaning service. Saat melewati pos satpam, ia melihat Dimas sedang minum kopi, tampak santai dan tersenyum pada Pak Robi.

Meskipun jantungnya masih berdebar, Pak Mardi memberanikan diri. Ia menelan ludah, menarik napas dalam-dalam, dan berhenti di dekat pos satpam.

"Mas Dimas," sapanya pelan, sedikit ragu, suaranya nyaris berbisik di antara kebisingan pabrik yang samar-samar.

Dimas menoleh, senyumnya langsung mengembang. "Oh, Pak Mardi! Ada apa, Pak?" Ekspresi ramah itu seolah menyinari seisi pos.

"Tidak ada, Mas. Hanya... mau tanya," Pak Mardi terdiam sejenak, mencari kata yang tepat, matanya menghindari tatapan langsung Dimas. “Sudah lama kerja di sini?”

Dimas tertawa kecil. “Baru hari ini, Pak. Ini hari pertama saya.”

"Oh, begitu..." Pak Mardi merasa sedikit bodoh. Tentu saja, Dimas kan satpam baru. Ia tak tahu harus bicara apa lagi. Canggung.

Melihat kecanggungan itu, Dimas mengambil inisiatif. “Pak Mardi sudah berapa lama kerja di sini? Kayaknya Bapak sudah hafal semua sudut-sudut pabrik ini, ya?”

Pertanyaan Dimas membuat Pak Mardi sedikit terkejut, namun juga merasa sedikit dihargai. "Sudah... sekitar sepuluh tahun, Mas," jawabnya, kali ini suaranya sedikit lebih jelas. “Memang sudah hafal.”

"Wah, lama sekali, Pak. Hebat!" puji Dimas tulus. “Kalau ada apa-apa, saya pasti tanya-tanya Bapak, ya.”

Pak Mardi merasakan semburat kehangatan tipis di pipinya. "Iya, Mas. Kalau ada perlu apa-apa, panggil saja." Ia mengangguk singkat, lalu buru-buru melanjutkan langkahnya menuju loker. Ia tidak ingin Dimas melihat bagaimana jantungnya berdegup kencang, atau bagaimana pikirannya kembali membayangkan pelukan yang tidak mungkin.

Modus Pak Mardi kepada Dimas

Beberapa hari berganti, dan rutinitas baru mulai terbentuk di PT Karya Nusantara. Bagi Dimas, ini berarti lebih banyak berinteraksi dengan rekan kerja, termasuk para petugas cleaning service. Ia semakin sering berpapasan dengan Pak Mardi, biasanya di area pos satpam atau di sekitar lorong pabrik. Dimas yang ramah dan supel, tak pernah sungkan untuk menyapa duluan.

"Pagi, Pak Mardi!" seru Dimas suatu hari, saat Pak Mardi sedang membersihkan lantai di dekat pos satpam.

Pak Mardi, yang tadinya fokus menyapu, mendongak. Di matanya terlintas kilatan yang nyaris tak terlihat sebelum kembali ke ekspresi datarnya. "Pagi, Mas Dimas." Ia meletakkan sapunya sebentar, berdiri tegak menghadap Dimas.

"Wah, Bapak sudah kerja dari subuh ya?" Dimas tersenyum, mengagumi kerajinan Pak Mardi.

Pak Mardi mengangguk. "Begitulah. Harus cepat biar selesai." Ia terdiam sejenak, tatapannya menyusuri seragam satpam Dimas yang pas di badan. Kemudian, seolah teringat sesuatu, ia berkata, “Mas Dimas, saya perhatikan, badan Mas ini bagus sekali. Atletis. Rajin olahraga ya?”

Dimas tertawa kecil, sedikit tersipu. "Ah, Bapak bisa saja. Iya, Pak. Saya memang suka olahraga." Ia membusungkan dada sedikit, tanpa menyadari dampak visualnya pada Pak Mardi.

"Pantas saja. Saya jadi ingin punya badan seperti Mas Dimas," kata Pak Mardi, nada suaranya terdengar tulus, memancing lebih banyak informasi. “Lari atau nge-gym, Mas?”

Dimas, dengan antusias, mulai menjelaskan rutinitasnya. "Saya biasanya lari pagi, Pak. Lumayan jauh juga rutenya. Terus, kadang main basket atau futsal sama teman-teman. Itu bantu bentuk otot, Pak." Ia mengangkat tangannya, mengepalkan tinju ringan, memperlihatkan bisepnya yang terbentuk.

Pak Mardi melihat kesempatan. Ia melangkah sedikit lebih dekat. "Oh, begitu... Lari ya? Susah tidak itu, Mas?" Ia mengulurkan tangannya, seolah tak sengaja menyentuh lengan atas Dimas saat Dimas mengangkat tangannya tadi. Jari-jarinya menekan ringan, merasakan kekencangan otot di bawah seragam. “Keras sekali, Mas. Pasti kuat ya.”

Dimas tak menyadari sentuhan itu punya makna lain. "Enggak terlalu susah kok, Pak. Asal rutin saja," jawabnya riang. Ia kemudian mengendurkan tangannya, dan Pak Mardi menarik tangannya kembali.

"Kalau dada Mas Dimas juga kokoh sekali ini," kata Pak Mardi lagi, kali ini dengan suara sedikit lebih rendah. Ia kemudian mengulurkan telapak tangannya dan menyentuh ringan area dada Dimas, tepat di bagian otot dada yang menonjol di balik kain seragam. Sentuhan itu hanya sesaat, seperti sentuhan ingin tahu yang polos, namun bagi Pak Mardi, sensasi kain tipis dan kekerasan otot di bawahnya terasa memabukkan. “Pasti push-up-nya banyak ya, Mas?”

Dimas hanya tersenyum lebar. “Haha, iya, Pak! Sedikit push-up setiap pagi. Itu wajib!”

Pak Mardi lalu meraba ringan area perut Dimas, seolah ingin memastikan kekencangan otot di sana. “Perutnya juga rata. Wah, saya harus belajar banyak dari Mas Dimas ini.”

Dimas tidak menyadari apa-apa. Baginya, Pak Mardi hanyalah seorang rekan kerja yang lebih tua, yang sedang kagum dan ingin tahu tentang rutinitas olahraganya. Ia melihatnya sebagai bentuk pujian dan ketertarikan yang wajar. "Tidak apa-apa, Pak. Nanti kalau mau lari bareng, bilang saja. Saya senang kalau ada teman," tawar Dimas dengan senyum tulusnya.

Pak Mardi menarik tangannya dari perut Dimas, ekspresinya kembali datar, namun di dalam hatinya badai emosi tengah berkecamuk. Ia mengangguk pelan. "Oh, iya, Mas. Nanti saya pikirkan." Ia berbalik, melanjutkan pekerjaannya menyapu, sementara pikirannya dipenuhi sensasi sentuhan pada lengan, dada, dan perut Dimas. Ia bisa merasakan kehangatan yang tertinggal di telapak tangannya.

Dimas, polos tak bersalah, kembali ke pos satpamnya, sama sekali tidak menyadari bahwa sentuhan-sentuhan itu bukanlah sekadar rasa penasaran biasa, melainkan awal dari obsesi yang jauh lebih dalam.

Rencana Gila Pak Mardi

Beberapa minggu berlalu, dan obsesi Pak Mardi terhadap Dimas kian memburuk. Sentuhan-sentuhan "tak sengaja" di pos satpam tak lagi cukup. Setiap kali melihat Dimas tersenyum, atau melihat lekuk tubuhnya di balik seragam, hasrat Pak Mardi makin tak terkendali. Ia menginginkan Dimas, ingin memilikinya seutuhnya, tanpa peduli cara. Pikiran-pikiran gila mulai berputar di benaknya. Ia butuh rencana, dan ia butuh bantuan.

Suatu sore, setelah jam kerja usai dan sebagian besar karyawan sudah pulang, Pak Mardi memanggil Hadi dan Bagas ke sudut gudang yang sepi, jauh dari pantauan kamera CCTV atau telinga orang lain. Udara pengap dan bau debu menusuk hidung.

"Ada apa, Pak Mardi? Penting sekali kelihatannya," tanya Hadi, merasa sedikit tidak nyaman dengan suasana tegang itu. Bagas di sampingnya hanya mengangguk, mengamati Pak Mardi yang tampak gelisah.

Pak Mardi berbalik, menatap kedua anak buahnya dengan sorot mata serius yang jarang mereka lihat. “Ada tugas penting untuk kalian. Ini rahasia, jangan sampai ada yang tahu.”

Hadi dan Bagas saling pandang, firasat buruk mulai merayap. "Tugas apa, Pak?" Bagas bertanya pelan.

"Masalah Dimas," kata Pak Mardi, suaranya nyaris berbisik namun penuh penekanan. “Saya mau kalian bantu saya... menjebak dia. Agar saya bisa mendapatkan dia.”

Seketika, Hadi dan Bagas terdiam, syok. Kata-kata itu menggantung di udara seperti racun. Menjebak Dimas? Satpam baru yang ramah itu?

"Jebak bagaimana, Pak?" tanya Hadi, suaranya tercekat. Ia mencoba memahami maksud Pak Mardi, tapi otaknya menolak mencerna.

Pak Mardi menjelaskan rencananya dengan detail, suaranya tenang namun ada kegilaan di dalamnya. “kita akan jebak dimas, Nanti saya akan bawa dimas ke gudang kain, lalu kalian langsung sergap dia dan bius dia dengan chloroform, buat dia lemas dan tidak sadar, nanti saya akan bawa dia ke suatu tempat yg rahasia dan tidak ada yang tau tempat itu.” Rincian rencana itu membuat wajah Hadi dan Bagas pucat pasi.

"Tidak, Pak! Jangan begitu!" seru Hadi, langsung menolak keras. “Itu... itu tindakan kriminal, Pak! Kalau sampai ketahuan, kita semua bisa celaka! Penjara, Pak!”

Bagas mengangguk panik. “Betul, Pak. Mas Dimas orang baik. Lagipula, kalau terjadi apa-apa, Pak Robi pasti curiga sama kita. Kita bisa kehilangan pekerjaan, atau lebih buruk lagi...”

"Kalian tidak perlu khawatir," Pak Mardi memotong, matanya menyala dengan keyakinan yang menakutkan. “Saya sudah pikirkan semuanya. Tidak akan ada yang tahu. Kalian hanya perlu melakukan bagian kecil kalian. Setelah itu, saya yang akan urus sisanya.”

"Tapi, Pak..." Hadi mencoba membantah lagi, “Ini bukan masalah kecil. Ini nyawa orang, Pak!”

Ketegangan di antara mereka meningkat. Hadi dan Bagas mencoba berargumentasi, menyoroti risiko dan konsekuensi hukum. Mereka bahkan menyebut-nyebut nama Pak Robi, atasan mereka, sebagai bentuk peringatan. Mereka tahu betapa bijaksananya Pak Robi dan betapa ia tidak akan mentolerir hal seperti ini.

Namun, Pak Mardi bergeming. Ia tetap bersikukuh dengan kemauannya. "Kalian dengar baik-baik," suaranya merendah, menekan. "Saya tidak meminta, saya memerintah. Ini kesempatan terakhir saya. Kalau kalian tidak mau bantu, akan ada konsekuensi untuk kalian. Kalian pikir gampang mencari pekerjaan di Bandung dengan gaji seperti ini?" Ia memainkan kartu ancaman, sebuah taktik kotor yang jarang ia gunakan.

Hadi dan Bagas saling pandang, keputusasaan tergambar jelas di wajah mereka. Mereka tahu ancaman Pak Mardi bukan gertakan kosong. Mereka juga sadar betapa putus asanya Pak Mardi terlihat saat ini. Setelah perdebatan kecil yang tegang, akhirnya mereka menghela napas pasrah. Tidak ada pilihan lain.

"Baik, Pak..." Hadi menyerah, suaranya lesu. “Tapi janji, Pak, jangan sampai ada masalah besar.”

Pak Mardi tersenyum tipis, senyum kemenangan yang dingin. “Bagus. Saya jamin tidak akan ada masalah. Kalian tidak akan menyesal membantu saya. Dimas akan menjadi milik saya.”

Rencana gila itu kini siap dijalankan, dengan Hadi dan Bagas sebagai pion tak berdaya dalam obsesi berbahaya Pak Mardi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Episode 2 - Korban Obsesi Gila (18+)
2
0
Sinopsis: Korban Obsesi Gila Dimas, satpam baru di PT Karya Nusantara yang terletak di Bandung, adalah definisi pria idaman: atletis, tampan, ramah, dan selalu menebar senyum. Kehadirannya yang ceria dan mudah bergaul dengan siapapun, dari staf pabrik hingga manajemen, segera mencuri perhatian banyak orang. Namun, di balik keramahan yang ia sebarkan, ada sepasang mata yang menatapnya dengan hasrat tersembunyi, mata milik Pak Mardi, petugas cleaning service yang pendiam dan misterius.Kagum berubah menjadi obsesi. Kekaguman pada fisik Dimas yang sempurna dan senyumnya yang tulus perlahan mengikis batas kewarasan Pak Mardi. Ia mulai mencari-cari cara untuk mendekat, menggunakan modus-modus halus demi bisa menyentuh lengan, dada, bahkan perut Dimas, tanpa disadari oleh Dimas yang polos.Ketika sentuhan tak lagi cukup, Pak Mardi kalap. Ia menyusun rencana gila, memaksa dua anak buahnya yang ketakutan untuk membantunya. Di suatu sore yang sepi, jerat itu mulai dipasang. Dimas yang tak menaruh curiga, terbujuk masuk ke dalam gudang kain yang sunyi. Di sana, kegelapan dan kengerian menanti.Dalam pertarungan yang sengit, Dimas berjuang mati-matian, berteriak meminta tolong hingga suaranya samar. Namun, usaha untuk membekap dan membius dirinya akhirnya berhasil mengalahkannya. Ia terbangun di pangkuan Pak Mardi, menyadari mimpi buruknya baru saja dimulai.Jerat Obsesi di Balik Senyum adalah kisah kelam tentang seorang pria yang kehilangan segalanya karena obsesi mematikan. Akankah Dimas bisa bertahan dalam cengkeraman obsesi yang mengerikan ini, ataukah ia akan tenggelam dalam kegelapan tak berujung? Siapkan dirimu untuk perjalanan mendebarkan yang akan menguji batas moralitas, ketahanan jiwa, dan hasrat tergelap manusia.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan