
Ketika dewa cinta belajar bagaimana itu mencintai…
Hujan tak kunjung reda sedari beberapa jam yang lalu. Akupun belum beranjak dari tempatku duduk sejak hujan ini pertama turun. Bisa kulihat dari sini semua orang melarikan diri dari air yang terus membasahi jalanan tanpa ampun. Ada yang terus berlari menerobos serangan air hujan. Ada yang berhenti di bawah atap sebuah kedai. Ada juga yang terpaksa memasuki café ini, tempatku berada sekarang, hanya sekedar menunggu hujan reda sambil menikmati sesuatu yang hangat.
Berbeda sedikit dengan yang lainnya, aku tak menggunakan tempat ini untuk melarikan diri dari hujan. Aku pergi ke tempat ini dengan sengaja atas undangan sahabatku yang bekerja di sini. Dia seorang pastry chef, dia mengatakan akan membuat resep baru dan aku yang jadi kelinci percobaannya. Tapi aku suka jadi kelinci percobaan, semua yang dia buat tidak pernah mengecewakan.
"Watermelon café latte siap dinikmati..." suara yang kukenal membuyarkan lamunanku. Dia Gio, barista di café ini. Laki-laki berparas tampan, tubuh yang tegap dan senyum yang memikat. "Kenapa tidak bilang mau ke sini? Aku bisa membuatkannya lebih cepat. Maaf hari ini café lumayan rame" ucap Gio setelah meletakkan kopinya ke hadapanku.
"Ah, terima kasih. Tidak masalah! Aku bisa menunggu. Lagipula aku tidak ingin mengganggu kalian" jawabku seraya meminum kopi itu.
"Gi! Bisa bantu sebentar? Table 5 kayaknya mau pesan" ucap Mas Levi setengah berteriak dari arah kejauhan.
"Siap mas, sebentar!" Gio menjawab panggilan Mas Levi. "Sorry ya La, kayaknya harus aku tinggal lagi. Kalau butuh apa-apa panggil aja ya" ucapnya berpamitan dan ia benar-benar meninggalkan mejaku setelah kuberi anggukan sebagai jawabanku.
Mungkin aku juga hanya menggunakan undangan sahabatku sebagai alasan untuk terus datang ke sini. Alasanku sebenarnya adalah ingin selalu menikmati watermelon café lattenya. Melihatnya bekerja seperti ini. Melihat caranya saat membuat kopi, pandangan fokusnya ketika menarik tuas mesin kopi kesayangannya itu dan lagi-lagi senyum menawan yang terlukis setelah dia berhasil menggambar sesuatu di kopinya. Aku seperti terbius olehnya, seakan momen seperti ini menjadi candu bagiku. Aku tidak ingat kenapa aku bisa menyukainya seperti ini. Mungkin karena sosoknya yang begitu hangat, seperti kopi yang selalu ia buat. Seperti latte di tanganku saat ini.
Kualihkan pandanganku ke arah kaca jendela, sepertinya hujan sudah mulai reda. Orang-orangpun mulai meninggalkan café satu per satu. Seperti yang kuduga sebelumnya, mereka pasti hanya menumpang berteduh. Seiring suasana café yang mulai sepi aku jadi tersadar sudah cukup lama aku berada di sini. Aku mulai ingat akan sahabatku dan sesuatu yang ia janjikan. Baru saja aku memikirkannya, dia sudah terlihat keluar dari balik pintu kitchen. Dengan membawa sesuatu di tangannya dia berjalan ke arahku.
"Ta-daa!!" dia menaruh dua piring berisi cake dan roti. Yang satu terlihat seperti cake coklat dengan lelehan ice cream di atasnya. Satu lagi terlihat roti adonan croissant berwarna hijau dengan serbuk terlihat seperti salju bagiku, kemudian dipercantik dengan selai strawberry. "Sweet Larva and Love Snow Matcha... Gimana? Cantik, kan?" dia mengembangkan senyum percaya dirinya.
"Yang penting kan rasanya Rel. Aku belum coba loh, mana tahu?" aku sedikit menggodanya.
Pipinya langsung membesar dari ukuran biasanya. Bibirnya berkerut tanda ia tersinggung dengan ucapanku. Dia memasang wajah cemberut di wajah chubbynya. Itu membuat wajahnya semakin terlihat kecil menurutku. "Ya sudah, cepat dimakan!" lanjutnya. Wajahnya semakin bersungut.
Akupun mencoba kue yang dia buat, seperti yang kuduga dia tidak pernah mengecewakan. Semua yang masuk ke mulutku terasa begitu nikmat. Dia memang sahabatku yang sangat hebat. Aku menggodanya lagi dengan berlagak menimang masakan yang ia buat. Lama dengan acting yang kubuat tanpa memberi pendapat yang ia harapkan.
"Bella!! Udah dong bercandanya! Kasih tahu gimana rasanya??" Aurel sudah habis kesabaran.
"Ahaahaa! Jangan ngambek sayang, nanti cantiknya hilang" aku mencubit pipinya yang bulat. "Enak kok! Sempurna malah. It's so perfect!" aku mengambil lagi sepotong roti dan melahapnya dengan sangat menikmatinya.
"Hehe, terima kasih ya. Lega rasanya! Oh ya, kamu sehabis ini mau kemana?" dia mengambil duduk di depanku.
"Mungkin ke perpustakaan. Atau kalau gak pulang. Kenapa?" aku meminum kembali latteku yang masih tersisa.
"Gak, cuma tanya aja. Sorry aku gak bisa antar kamu"
"Rel!" Gio menghampiri meja kami.
"Hei, sayang sudah selesai?" Aurel beranjak dari tempat duduknya kemudian mencium pipi Gio.
Jleb.
Dada ini terasa sakit. Rasanya seperti ditusuk garpu. Sakit tak tertahankan. Memang benda ini tak runcing, melainkan tumpul, namun itu yang membuat rasanya semakin menyakitkan. Sesuatu yang tak sepatutnya ditancapkan ke hati ini, tapi ia memaksa masuk dengan sedikit mengoyak melalui mata tumpulnya itu. Sama seperti mereka, seharusnya aku tak perlu sakit hati seperti ini melihat kedua sahabatku saling mencinta. Mereka tak tahu isi hatiku, jadi aku tak boleh menyalahkan mereka. Tapi semakin aku berdalih akan semua, semakin dada ini terasa begitu sesak.
"Aku mau jalan sama Gio. Kamu gak papa kan aku tinggal? Thanks atas pendapatmu soal masakanku. Aku jadi semakin percaya diri" Aurel mulai pamit. Dia menggandeng lengan Gio manja.
"It's okay! Santai aja. Udah sana jalan, sebelum Mas Levi berubah pikiran. Kalian nanti gak jadi pulang" ujarku 'mengusir' mereka lembut. Mungkin aku sudah mulai tak tahan dengan pemandangan yang begitu menusuk mata dan hatiku.
Mereka berdua akhirnya pergi dari hadapanku. Apa yang baru saja aku rasakan? Aku benci melihat Aurel menggandeng Gio? Seharusnya aku sudah bisa terbiasa akan ini semua. Ini sudah cukup lama. Mengapa perasaan ini tak pernah berubah? Aku sudah tahu sejak lama Aurel menyukai Gio. Seharusnya aku sudah harus merelakan. Harus melupakan. Tapi meski logika ini terus mengatur melupakannya, aku selalu ingin ke tempat ini. Seakan badan ini dengan sendirinya mengikuti candu awal yang ia rasa.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
