Bab 3 - Sore hari di Serenity Cafe

1
0
Deskripsi

Seorang laki-laki seperti Gyan, tidak mungkin hanya ramah kepada Lana seorang.

“Mau pesan apa? Aku yang traktir”, ucap Gyan sambil 

“Mau pesan apa? Aku yang traktir”, ucap Gyan sambil membukakan Lana pintu dan mempersilahkannya masuk duluan. 

“Oh gak usah. Aku cuma datang kembalikan ini. Kemarin aku buru-buru pulang, jadi lupa.” Lana menunjuk charger di tangannya.

“Gak apa-apa, kok. Yuk!” Ajak Gyan sambil lagi-lagi memamerkan senyumnya. Laki-laki itu lalu berjalan di depan Lana sambil mengamati situasi café. Lana memperhatikan tubuh Gyan dengan punggungnya yang lebar dari belakang. Menatapnya membuat Lana semakin bertanya-tanya akan siapa sosok pria di hadapannya itu. “Ayo”, ajaknya lagi sambil menengok ke belakang, memastikan Lana ikut.

Lana pun menurut. Ia tahu kalau Arya tak akan buru-buru pulang ke rumah. Mereka berdua sama-sama menghindari ayah akhir-akhir ini. Lagipula, Gyan sepertinya laki-laki yang baik. Tidak ada salahnya kan mengobrol sebentar sambil menunggu matahari terbenam? Lana merasa ia menyukai kehadiran Gyan saat ini. Sepertinya ia memang sedang butuh sedikit warna hari ini.

“Halo, Mas”, sapa perempuan yang berdiri di balik meja kasir. 

“Gimana hari ini, Wid?” Tanya Gyan padanya. Lana bisa membaca nama perempuan itu di bajunya, ‘Widya Sari’. Terlihat imut dengan kulitnya yang putih dan badannya yang kecil. 

“Seperti biasa sih, Mas. Oya, tadi ada Mbak Natya, loh”, jawab Widya. Keduanya terlihat akrab di mata Lana. Sepertinya memang Gyan dekat dengan karyawan di tempat ini. Setelah berbincang sebentar, keduanya tiba-tiba malah saling berbisik dan berbagi pandangan tajam tanpa suara.

Lana memalingkan wajahnya. Ia jadi bingung harus melakukan apa. Dari cara pandang Widya ke Lana, sepertinya mereka tidak ingin Lana mendengar percakapan mereka. Tentu Lana tak ingin suasana canggung tiba-tiba.

“Lana mau pesan apa?” Tanya Gyan kemudian.

“Mmm… aku lemon tea aja deh.”

“Itu aja? Gak makan?”

“Gak usah. Aku gak lama kok”

“Lemon tea-nya dua ya, Wid. Risolnya satu”, Gyan menyimpulkan pesanan mereka. “Risol di sini enak banget loh. Ntar kamu coba, ya”, ujar Gyan ke Lana sambil menyerahkan kartunya untuk membayar.

“Oya, saya mau sekalian kembalikan ini, Mbak. Maaf ya, saya lupa.”

“Gak apa-apa, Mbak. Ini sebenarnya punya Mas Gyan, kok.”

“Punya Gyan?” Gyan yang sedang memainkan ponselnya tiba-tiba menengok mendengar namanya disebut. Punya aku? Begitulah kira-kira ekspresinya.

“Iya… dia udah beli hape baru dari lama sih. Orangnya aja gak tau tuh itu punyanya.”

“Yaelah, Wid. Coba kalau aku gak ninggalin itu di sini. Kasian ntar Lana gak ada buat cas.”

“Iyaa iyaa. Kalau gitu, silahkan tunggu di sana ya Mas dan Mbak”, ujar Widya tersenyum dengan tampilan penuh keramahan. Lana tahu itu hanya untuk mengusili Gyan.

Lana dan Gyan lalu memilih duduk di dekat kaca dengan kursi yang saling berhadapan dipisahkan sebuah meja. 

“Mas Gyan!” Baru saja mereka duduk, tiba-tiba dua orang perempuan menyapa. Mereka pun melambaikan tangannya yang dibalas oleh Gyan. “Mas Gyan, nanti malam nyanyi lagi gak? Aku mau lihat,” ucap salah seorang di antaranya. Sepertinya mereka anak kuliahan di kampus yang sama seperti Lana.

“Mas Gyan, sini bentar deh.” Mereka memanggilnya menuju ke meja mereka yang berada tak jauh dari tempat Lana dan Gyan duduk. Ya, tanpa pikir lama dengan ramah Gyan langsung menghampiri mereka.

Lana mengeluarkan ponselnya. Lagi-lagi ia merasa canggung. Gyan sepertinya laki-laki populer di sini. Mereka terlihat tertawa dan berbisik seperti ada sesuatu yang sangat seru untuk dibicarakan. Lana mempertanyakan keberadaannya di tempat ini. Sudah sejak awal Lana tahu jika tempat seperti ini bukan untuk dirinya. Tadinya ia memang ingin menghibur diri. Tapi melihat Gyan yang sedang asyik dengan anak-anak itu, apa Gyan memang hanya laki-laki playboy

“Ah benar juga. Berapa cewek yang dia berikan nomor ponselnya begitu saja?” Lana tanpa sadar menatap mereka jengkel sampai Gyan sepertinya merasakannya. Lana pun memalingkan wajahnya ke arah luar.

“Kita datang lagi besok ya”, ujar anak-anak itu. “Bye, Mas Gyan”. Mereka pun pamit pergi. Akhirnya laki-laki itu balik ke tempat duduknya.

Bagas, pelayan yang Lana kenal kemarin, tiba-tiba datang mengantarkan pesanan mereka. “Hei, kalau ngajak cewek makan, jangan ditinggalin ngobrol sama cewek lain dong.”

“Apaan sih lo. Dah sana kerja aja”, canda Gyan sambil mendorong badan Bagas pergi. 

“Mbak, hati-hati, ya. Dia tuh buaya.” Ucap Bagas sebelum meninggalkan meja mereka. 

“Diem lo!” Gyan menyahut. “Maaf, yah. Bagas emang suka bercanda,” katanya sambil mengatur makanan di meja. Tak lupa ia menyodorkan risol rekomendasinya ke hadapan Lana. “Yang tadi juga teman-temanku, kok. Mereka anak ukm musik di Univma.” Gyan menjelaskannya dengan lembut ke Lana sambil tersenyum. 

Ya, Univma adalah kampus Lana yang dekat sekali dari Serenity. Hanya perlu berjalan dan menyebrang sedikit. Wajar kalau banyak anak-anak mahasiswa yang nugas dan nongkrong di sini. Sebenarnya café sekitar kampus ada banyak, dan Serenity memang salah satu yang paling dekat dan terkenal.

Lana tersenyum melihat interaksi Gyan dan Bagas. Sepertinya mereka memang sangat akrab.

“Oya, kamu Lana ya? Kok kalian dah deket aja sih? Perasaan baru kemarin aku lihat si Gyan tiba-tiba kasih kertas basah isinya nomor hp ke Lana haha.” Mendengar itu Gyan buru-buru menutup mulut Bagas dengan tangannya.

“Apaan sih, bisa diam gak?” Katanya malu mengingat kejadian itu.

“Hahaha…” tawa Lana akhirnya lepas mendengar ucapan Bagas. Ia sendiri juga tak menyangka Gyan bisa serandom itu. Ia juga takjub dengan fakta mereka bisa duduk ngobrol bersama di meja ini sekarang. Bahkan dengan teman Gyan juga, Bagas dan Widya. Perilaku Gyan sama sekali tidak bisa Lana prediksi.

“Mau coba menu apa lagi, Mbak? Biar aku anterin. Tenang aja… ada Gyan yang bayarin kok.”

“Aku dah kenyang kok, Kak. Makasih loh,” jawab Lana tersenyum ramah.

“Oya, kita belum kenalan. Aku Bagas,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

“Lana.” Mereka pun bersalaman.

“Lana, kayaknya ada yang telpon tuh.” Bagas menunjuk ke arah ponsel Lana yang berdering di atas meja.

Lana terdiam melihat tulisan papa di layar. Baru saja ia bersantai sejenak, ayahnya sudah mencarinya. Tiba-tiba tenggorokan Lana terasa kering. Jantungnya berdebar kencang dan ia berkeringat dingin. Bagas dan Gyan terdiam dan saling bertatapan bingung.

“Aku balik kerja dulu, ya, Lan. Sampai ketemu lagi.” Bagas pun pamit dari hadapan mereka.

Sedari tadi Gyan di situ. Memperhatikan Lana dengan seksama. Kalau Bagas tak ada, Gyan sebenarnya tidak tahu harus mengobrol seperti apa dengan Lana. Gyan sadar pasti ada yang tidak baik dengan Lana dan seseorang di telepon itu.

“Aku angkat dulu ya, Kak.” Lana pun berjalan keluar Serenity dan mengangkat telepon ayahnya.

“Halo, Pa” Lana menelan ludah.

“Papa mau ke Surabaya nanti malam, pulang sekarang. Kuliahmu udah selesai dari tadi ngapain aja kamu?” ujarnya dari seberang telepon.

Dalam hati Lana kesal. Ia baru saja duduk di sini setengah jam. Segitunya ayah mengetahui semua jadwal perkuliahan Lana. Ditambah lagi, ayahnya sama sekali tidak mengatakan apapun soal ke Surabaya sejak kemarin. Lana melihat ke arah café dan mendapati Gyan sedang memperhatikannya. 

Ya sudahlah. Setidaknya ini hari normal buat Lana. Ia bernapas lega. Tadinya Lana sangat takut kalau-kalau ia dan Arya melakukan suatu kesalahan lagi. Setiap hari ada saja hal-hal yang membuat ayahnya marah. Entah Lana lupa memasak, telat pulang, mereka ketahuan main tanpa izin. Apalagi kondisinya, dua hari ini Lana tidak langsung pulang dan malah mampir ke sini. Bertemu cowok pula. Lana tidak bisa membayangkan seberapa murka ayahnya mengetahui Lana bersama Gyan di café.

Hal yang paling sering membuat Lana khawatir tentu soal Arya. Anak puber itu selalu bertengkar dengan Ayah sehingga Lana tak mau ikut kecipratan lagi. Jujur saja Lana juga muak dengan ayahnya yang sangat otoriter dan kasar pada mereka berdua. Ia ingin sekali saja melawan, seperti Arya. Tapi Lana sadar, ayah adalah satu-satunya orang tua yang mereka punya. Lana tak boleh menyuburkan rasa benci di hati adiknya dengan cara itu. Lana berusaha sebaik mungkin memendam semua perasaannya, meski ia sama sakitnya.

“Suruh Arya jemput kamu, cepat. Anak bandel itu bisa-bisanya gak angkat telpon papa dari tadi. Besok-besok gak usah suruh dia bawa motor. Awas aja kalau kamu kasih.” Lana cuma bisa menghela napas mendengar semua kata-kata itu. Bagi orang lain, suara telepon mungkin hanyalah sebuah getaran suara. Tapi Lana bisa melihat suara-suara itu. Kadang ia melihat ayah dengan ekspresi marahnya yang membuat Lana cemas. Kadang ia hanya lihat sekumpulan besi berkarat yang membuatnya bergidik.

“i-iya, Pah,” jawabnya.

Setelah menutup telepon, Lana buru-buru ke dalam untuk mengambil barangnya  Ponselnya berbunyi tiit ketika ia menghubungi Arya. Tapi tiga kali ia coba, tak ada hasilnya.

“Kak, aku pamit dulu ya. Ada urusan mendesak soalnya.” Katanya sambil tersenyum.

Gyan cukup terkejut mendengar pamitan mendadaknya. “Oh oke Lan. Hati-hati ya,” katanya kemudian.

“Iya. Makasih ya Kak traktirannya. Permisi,” balasnya. Ia lalu buru-buru keluar karena harus sampai di rumah sebelum senja. Jarinya sibuk memencet layar hp untuk memesan gojek.

Saat Lana sudah di depan. 

“Lana” terdengar Gyan mengejarnya keluar. Lana menoleh ke arahnya. 

Gyan hanya terdiam menatap Lana. “Kak? Ada apa?” Tanya Lana membuyarkan tatapan itu. “Aku antar ke rumah, ya?” Ucapnya tiba-tiba.

“Gak usah, Kak. Aku udah pesan gojek kok.” Lana menolak halus.

“Kamu beneran gak apa-apa?” Gyan berusaha memastikan.

“Iyaa… gak ada apa-apa kok. Papaku cuma mau ke Surabaya malam ini dan gak ada orang di rumah.” Lana memang tidak berbohong, tapi ia juga tak sepenuhnya jujur dengan perasaannya. Satu hal yang pasti baginya. Kehadiran Gyan hanya akan menambah masalah di hidupnya kini. Mungkin ini terakhir kalinya ia akan berbicara dengan Gyan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 4 - Suara yang Tak Terdengar
1
0
Di tengah kesibukannya, Lana bertemu lagi dengan Gyan tanpa sengaja. Pertemuan itu membuka hal baru yang membuat Gyan semakin ingin mengenal Lana.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan