
Evan mengira bahwa segalanya semakin membaik. Namun, ternyata, Seravine diminta untuk pulang lebih cepat.
“Be here soon.”
Ungkapmu yang terakhir. Sebelum mengulas senyum dan menutup mata. Kemudian menyeberang ke dunia yang tak ada aku, atau bahkan kita di sana. Kupikir kamu hanya sekadar terlelap sebentar. Tapi ternyata, kau memilih meninggalkanku yang sudah berjanji tidak akan melepaskanmu selamanya.
Memanggil namamu mulai dari suara yang paling kencang untukku berteriak, seakan pekak telinga dan pecah gendangnya, aku tetap saja tak bisa temukan jawaban. Hingga berbisik, merintih, bersimpuh di hadapan Tuhanku, di pagi hari yang menyaksikan tubuhmu kembali menjadi abu. Kau masih tak ada. Jasadmu, satu-satunya hal paling nyata yang bisa kusentuh, turut menghilang.
Mereka berkata, kau masih di sini sampai 49 hari ke depan. Katanya kau sering menemaniku dan tak beranjak kemana pun. Tapi kurasa mereka berbohong. Sebab, sekali pun kupaksa untuk tak terlelap barang sebentar, mataku tak pernah menangkap presensimu. Atau sekadar merasakan kehadiranmu.
Apakah kau membenciku, Seravine? Kemana perempuanku yang senang mengusak kepalanya di dada. Mencuri cium di pipi kala aku membelikannya sebatang coklat atau setangkup es krim, atau semata gelak tawa karena aku melakukan hal-hal bodoh …. Kau tak muncul. Meski aku merajuk dan tak sengaja terlelap, berharap menemukanmu dalam mimpi, kau tetap saja tak ada. Di manakah kau, Sayang?
Aku masih mengecupi pakaian terakhirmu. Mencari-cari aromamu di sana, meski kini kain itu semakin kusut dan kumal akibat kerap menjadi wadah air mata. Sembari mengulang beberapa video yang berisi momen di mana kamu bernyanyi, pergi menonton konser, ke museum atau pun pameran temanmu. Tawa itu renyah, hingga menggetarkan seluruh kehilangan yang bersarang sempurna di tubuhku.
Kau tahu? Rasanya badanku berlubang. Begitu hampa dan dingin. Memeluk selimut tak pernah lebih hangat dibanding mendekapmu hingga terbawa mimpi. Menghabiskan malam-malam dengan harapan dan doa, agar kita bisa menua bersama. Berjanji tak akan saling melepaskan satu sama lain ….
Tapi kini, apa gunanya? Kau tak ada.
Kakiku dibawa buih-buih air laut. Melangkah lebih dalam menuju ke tengah hingga seluruh pinggulku basah. Mungkin, aku bisa bertemu denganmu di sini. Di tempat yang selalu menjadi momentum kisah cinta kita yang baru saja mendapat restu dari kakak sulungmu. Di tempat yang selalu kau elu-elukan sebagai pertemuan nama terakhir kita yang terdengar mirip. Aku ingin bersamamu, mendekapmu dan bersatu di sini ….
“Evan!” pekik Keenan. Dipaksanya aku kembali ke tepian. Begitu banyak mata yang memandang, sementara aku masih memelukmu erat di dada.
Mas Wayang menatapku lekat, ia mengusap bahuku. Sementara tangan lainnya mencoba meraih guci tempatmu terlelap. “Van, biar saya bawa Seravine ya. Kita pulang sama-sama.”
Aku menggeleng. Tidak ingin menyerahkanmu begitu saja. Bukankah pintamu adalah menyatu dengan laut, Sayang? Ini aku datang untukmu. Menuju laut. Meminta sang pemilik hidup untuk menikahkan kita dalam debur ombak.
“Kita larung sama-sama. Lo nggak perlu ke tengah laut.” Mas Han turut berbicara.
Aku bergeming di tempatku berdiri. Sementara usap, tepuk, helaan napas berat bisa kurasa dari Tsabit, Isan, Mas Tria mau pun Mas Tian.
“Dia di sini, Van. Jangan bikin Seravine sedih.”
“Di mana? Dia di mana? Bilang sama gue Ko!” Aku menatap lekat-lekat Ko Kastara yang tengah melipat tangan. Kemudian mengulurkan dirinya untuk mendekat kepadaku.
“Lo percaya gue, ‘kan?”
“Bilang! Kasih tahu gue dia di mana. Please, gue mohon. Gue mau lihat dia. Please. Please. Please bantu gue Ko ….” Aku bersimpuh sembari terus memelukmu erat. Kembali menangis. Menimbulkan rintihan sendu yang kupikir tak akan kudendangkan lagi setelah pulang bersamamu.
“Ssst … tutup mata lo. Nangis sepuasnya, seleganya. Antar dia pulang, ke rumah yang dia mau.” Kastara berbisik. Tangannya yang kurus itu menutup kelopak mataku.
“Atlanta.”
AKU MENDENGARNYA!
“Ravine?”
“Ini aku.”
Bisa kurasakan hangat yang menyentuh dua belah pipiku. Menjadikan bulir air mata menerobos lebih banyak dari sela kelopak yang tertutup. “Maaf, maaf, maaf … gue gak bisa jagain lo sama sekali. Maaf ….”
“Atlanta … bawa aku pulang dengan ikhlasmu. Di tempat kita saling jatuh cinta dan berjanji untuk saling mengingat satu sama lain.”
“Gue hantar. Gue hantar, Sayang. Tapi janji, lo harus bahagia. Lo harus … bahagia.” Aku bersujud. Memelukmu seerat mungkin. Sungguh aku tidak rela dengan perpisahan ini. Bagaimana aku melanjutkan hidupku, sementara seluruh muara cintaku sudah dibawa pergi olehmu?
“Aku selalu di sini, bersamamu.”
Adalah kalimat terakhir yang bisa kudengar dan tangkupan itu menghilang dari kedua belah pipiku. Aku meraung. Sekuat yang aku bisa.
Kuhantar kepulanganmu dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Membiarkanmu menyatu bersama buih pantai. Bulir-bulir putih itu menyambut, seolah mempersilakan sang pemilik rumah untuk beristirahat. Tak lupa, setangkup bunga dilempar. Seolah menjadi permadani cantik yang melarung jiwamu kembali ke tempat di mana ia berasal.
Seravine Ocean, laut tempatmu berpulang. Sementara aku bibir pantai yang menunggu kedatanganmu. []
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
