Sebelum Berpisah | Part 25

85
1
Deskripsi

Sebelum Berpisah | Part 25

Demi mendapat maaf dan ketenangan, Sankara akhirnya menuruti keinginan Agnita untuk menghubungi Antari dan meminta maaf secara langsung pada perempuan itu. Membuat semuanya akhirnya terbongkar dengan jelas.

Bagian Dua Puluh Lima

"Sumber masalah terbesar itu sebenarnya datang dari pikiran."

"Jadi sebelum berpisah, mari tenangkan pikiran."

***

Jangan kalian pikir kalau pembicaraan di mobil tadi sudah cukup untuk membuat kedua insan ini akur. Memang betul mereka tak lagi berdebat selama beberapa menit di awal. Namun semuanya menjadi runyam kala Agnita lagi-lagi memulai pertikaian.

"Apaan banget sih? Kok jadi lo yang marah gini? Harusnya gue lah! Gue udah turutin mau lo, nemenin lo ke showroom. Tapi giliran mau gue, lo ngga turutin! Mana katanya yang taat sama perjanjian kita? Padahal lo sendiri yang bikin janji ini!" Bahkan keduanya belum masuk rumah, masih berada di ambang pintu, namun Agnita sudah mulai menyerocos.

"Saya ngga kasi kamu bicara," ucap Sankara dengan nada tak suka.

"Terserah gue, mulut juga mulut gue!" Agnita tampaknya sudah tak peduli. "Apa? Mau ngapain lagi lo? Mau nyium tanpa izin lagi? Berani emang? Ngga malu sama janji yang lo buat hah?" Agnita berkacak pinggang.

Sankara menghela napas. Ditinggalnya wanita itu di sana, sementara dirinya masuk terlebih dulu ke dalam. Tentu Sankara tidak akan marah tanpa sebab. Ia tidak mungkin langsung pulang tanpa mempedulikan keinginan Agnita, jika keinginan wanita itu tidak mengada-ada.

Singkat ceritanya begini, setelah selesai dengan urusannya di showroom mobil, Agnita meminta Sankara untuk menemaninya berbelanja. Sankara tidak menolak, ia temani Agnita belanja, sekalipun kepalanya sudah begitu berat akibat kurang tidur. Dimasuki satu persatu store yang hendak Agnita kunjungi. Dibantunya wanita itu memilih saat ia meminta pendapat. Dan setelah mendapat semua barang tersebut, Agnita malah berkata, "Semua ini kasi ke Antari, sebagai tanda permintaan maaf lo karena udah nyakitin dia. Terus juga, gue udah packing wedding dress, kebaya, cincin, pokoknya semua barang yang punya Antari. Nanti lo sekalian balikin ke dia," ujar Agnita begitu entengnya.

"You're not fair! Gue udah nurutin mau lo, tapi giliran mau gue lo abaiin gini aja," protes Agnita. "Sankara! Katanya lo mau nepatin janji, mana?"

Sankara tak menjawab. Pria itu lebih dulu mengambil air untuk menetralkan emosinya. Baru setelah itu, ia menghadap Agnita yang sedang berjalan ke arahnya. "Duduk di sini, bicara yang benar, baru saya tanggapi," ujar pria itu sembari berjalan menuju sofa yang kemarin juga menjadi tempat perdebatan mereka.

Agnita menurut, ia mengambil duduk di sebelah Sankara.

"Kamu mau saya bagaimana?" tanya Sankara.

Agnita hendak membuka suara, namun Sankara mendahului.

"Pikirkan dulu, baru bicara. Saya cuma tanya sekali, tidak akan saya ulangi lagi," tambahnya.

Mendapati tatapan Sankara yang begitu serius, membuat Agnita mengatupkan bibirnya. Menimang-nimang apa yang sebenarnya dia inginkan. Sebenarnya tadi dia tidak ingin membahas Antari. Namun begitu melihat perempuan yang wajahnya mirip Antari menjadi kasir di salah satu store yang dia kunjungi, rasa bersalah Agnita jadi muncul. Bagaimana jika saat ini nasib Antari mengenaskan? Sudah gagal nikah, ayahnya masuk penjara pula. Dan bagaimana mungkin Agnita bisa tenang menikmati hidupnya, ketika sadar kalau ia telah menjadi seseorang yang merebut calon suami orang lain?

"Gue mau lo minta maaf sama Antari," putus Agnita pada akhirnya. "Tapi gue juga mau lo kasi dia ini, soalnya maaf aja ngga cukup," lanjut Agnita sembari menunjuk kantung-kantung belanjaannya. "Terus juga gue mau balikin punya dia. Gue ngga mau ambil apa yang bukan punya gue, lo juga punya dia, jadi mau gue balikin sekalian."

Sankara menghela napas, "Saya akan lakukan, tapi hanya satu. Kamu pikirkan mana yang paling penting," ujar Sankara.

Agnita diam sejenak. "Ngga bisa semuanya?" Dia bernegosiasi.

"Satu saja," kata Sankara.

"Ya udah, minta maaf sama dia, sekarang juga!" 

"Tapi setelah itu, kamu tidak boleh lagi paksa saya balik sama dia," pinta Sankara.

"Depends on how she responds," jawab Agnita. "Kalau dia ngga maafin, gue juga ngga maafin!"

Sankara mengangguk. Pria itu kemudian merogoh ponselnya dari saku celana. Membuat Agnita jadi penasaran dan mencondongkan tubuhnya ke arah Sankara. "Tangan kamu, jangan macem-macem," tegur Sankara kala tanpa sengaja satu tangan Agnita sudah di atas paha pria itu.

"Gue cuma mau liat. Turunin dikit hape lo bisa ngga?" pinta Agnita.

Sankara menurut diarahkannya layar ponselnya kepada Agnita. "Saya coba chat Antari dulu."

"Minta maaf kok lewat chat? Katanya cowok, minimal kalau ngga ketemu, telpon lah," ucap Agnita.

"Iya, ini saya minta izin buat telpon dulu. Ngga sopan langsung telpon begitu," ujar Sankara. Pria itu mulai membuka kontak whatsapp Antari. "Kamu mau saya chat dia gimana?" tanya pria itu.

”Kayak lo biasanya aja," ujar Agnita.

Sankara

bisa saya telpon?

"Kok gitu sih?" protes Agnita. "Gue bilang kan, kayak biasanya."

"Ya biasanya begini."

"Masa gitu? To the point banget, ngga romantis ah," gerutu Agnita. Namun beberapa detik ekspresi Agnita berubah, ia menepuk-nepuk paha Sankara histeris, "Ihh, ihh, diread dong! Ihh ... Sankara dia typing!" serunya heboh.

"Iya, iya, saya lihat. Tangan kamu bisa diem ngga?" ujar Sankara tak suka.

Agnita berdecak, "Kenapa sih? Gitu doang sinis! Itu kan refleks gue aja. Udah itu buruan, dia bales apa gue mau lihat!" Tanpa menunggu izin dari Sankara, Agnita menarik tangan pria itu sehingga membuat ia bisa leluasa membaca isi pesan dari Antari.

Antari

Malam Mas Sankara

Ada apa ya, Mas? 

"Tuh kan, dia masih panggil lo Mas, gitu! Fiks dia masih suka sama lo. Buruan jawab yang bener!"

"Mas itu artinya kakak. Tian juga panggil saya Mas," koreksi Sankara.

"Yee ... ngga tau aja lo, dia kan, emang suka sama lo," celetuk Agnita yang langsung dihadiahi tatapan horor oleh Sankara. "Apa?! Udah buru itu Tari lo udah ngerespon, dijawab dong!"

Sankara mulai mengetik; bisa saya jelaskan lewat telpon saja?

"Bukan gitu, yang ramah dikit, bisa ngga? Mana ada orang salah, malah ngechat kayak gitu, ngga sopan!"

"Ya udah, ini kamu aja yang chat." Sankara menyodorkan ponselnya kepada Agnita.

"Kan, lo yang salah, masa gue yang harus chat sih?" Agnita tak terima. "Gue cuma minta lo lebih ramah lagi. Ini Antari bisa aja galau lagi cuma gara-gara lihat nama lo!"

Sankara menghela napas. Diketiknya ulang balasan pesan untuk Antari, "Cukup?" tanya Sankara memastikan. Baru setelah Agnita mengangguk, Sankara mengirimkan pesan tersebut.

Sankara

malam juga tari.

saya bicarakan di telpon saja.

kamu ada waktu sekarang?

"Lo baik banget kalau ngechat Antari, tapi kalau sama gue lo galak," celetuk Agnita tiba-tiba. 

"Saya ngga galak, kalau kamu ngga —tangan kamu, Tanisha." Sankara kembali menegur kala Agnita meremas-remas pahanya. "Kamu kalau ngga mau saya sentuh, jangan asal sentuh gitu," ujar Sankara. Sungguh pria itu sedang tidak dalam mood untuk melakukan aktivitas apapun yang berbau seksual. Tentu itu akibat Agnita yang memaksanya untuk menghubungi Antari. Belum lagi kepalanya masih terasa begitu berat karena kurang tidur. 

"Iya, iya, kelepasan. Lo tau sendiri gue suka pegang sana sini kalau udah mau mens," ujar wanita itu.

"Tanggal kamu maju?" tanya Sankara.

Agnita mengangguk, "Iya kayaknya."

"Biasanya selalu teratur, apa karena konsumsi pil itu?" 

Agnita mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Ngga tau, udah buru liat itu Antari udah bales apa belum."

"Nanti coba saya konsultasikan. Tidak ada efek samping lain, kan?" tanya Sankara.

Agnita menggeleng, "Ayo liat itu Antari udah jawab kayaknya," rengeknya.

Pria itu kemudian kembali mengarahkan layar ponselnya kepada Agnita.

Antari

Ada, Mas

"Dia sudah kasi izin. Saya telpon sekarang boleh?" Kini giliran Sankara meminta izin ke Agnita, yang langsung dijawab anggukan oleh wanita itu. Sebelum benar-benar menghubungi Antari, pria itu sekali lagi memastikan ekspresi istrinya. Mencoba menebak perasaan wanita itu saat ini lewat raut wajah yang ditunjukan. Tidak ada tanda-tanda sakit hati, hanya keningnya yang mengerut tanda antusias menyimak.

Baru setelah itu Sankara memutuskan untuk menelpon kontak bernamakan Antari tersebut. "Saya loud speaker," ucap pria itu. Ditekannya tombol speaker, agar Agnita juga bisa mendengar.

Setelah beberapa dering menghubung, baru panggilan tersebut diterima. Tak sampai beberapa menit, suara Antari terdengar dari seberang sana. "Halo, Mas?" 

Lembut sekali. Itu kesan pertama yang Agnita dapatkan. Bahkan setelah disakiti oleh Sankara, wanita itu masih mau mengangkat panggilan tersebut dengan sopan. Berbeda dengan Agnita, ia pasti akan langsung memaki jika dibegitukan oleh pria mana pun, apalagi hanya Sankara.

Agnita kemudian melirik Sankara. Pria itu tampak tenang, tidak terlihat gugup, apalagi panik. Sepertinya memang betul Sankara tidak ada rasa dengan Antari. Terlebih ketika hendak menjawab, Sankara sempat-sempatnya mengelus kerutan pada kening Agnita dengan dua jarinya. "Jangan terlalu serius begitu," bisiknya pelan. 

"Iya, halo Tari, saya ganggu waktu kamu telpon malam-malam begini?" tanya Sankara. Pandangan pria itu masih tak teralih dari Agnita, memastikan wanita itu baik-baik saja. Dia tidak mau setelah ini, Agnita justru membuat asumsi baru lagi.

"Ngga kok, Mas. Cuma bingung aja tiba-tiba ditelpon. Ini ada apa ya?" tanya Antari.

"Ngga papa, saya cuma mau minta maaf."

Terjadi hening selama beberapa saat. "Mas, sehat?" tanya Antari. Tentu wanita itu bingung tiba-tiba Sankara minta maaf begitu. Sankara saja bingung dengan apa yang dia lakukan saat ini.

"Sehat, Tari. Kamu dan keluarga juga sehat, kan?" tanya Sankara.

"Iya, sehat juga, Mas."

Sankara mengangguk. "Gimana? Permintaan maaf saya diterima? Ini istri saya nungguin soalnya," ujar Sankara yang membuat Agnita mendelik.

"Kok nama gue dibawa bawa?" bisik Agnita tak terima.

"Pantesan, saya pikir ada apa," ujar Antari. "Saya udah maafin kok, udah masalah lama juga. Mbak Agnita ada di sana?" 

"Iya, ini katanya mau ngomong sama kamu," jawab Sankara jahil.

Agnita mendelik. Belum sempat ia protes, Antari dari sebrang telpon sudah bersuara, "Halo, iya, Mbak?"

"Eh?" Agnita terlihat panik. "Iya, halo, gue Agnita, salam kenal ya," katanya dengan nada canggung.

"Iya, Mbak, saya Antari, salam kenal juga," balasnya ramah.

Terjadi hening selama beberapa saat, sebelum akhirnya Agnita mulai membuka suara. "Lo ... beneran udah maafin Sankara?" tanya Agnita.

"Iya, Mbak."

"Setelah apa yang dia lakuin? Segampang itu?" tanya Agnita lagi.

"Iya, udah saya maafin dari lama."

"Ini lo serius? Atau lagi diancam sama Sankara? Kalau diancam, bilang aja, biar gue jadi backing-an lo."

Antari tertawa pelan mendengar balasan Agnita, begitu juga dengan Sankara. "Mas Sankara sama Mbak Agnita lagi berantem ya?" tebak Antari.

"Dia ngga percaya kalau saya sama kamu udah baik-baik aja. Dia mikir kita ada apa-apa. Makanya saya disuruh minta maaf," adu Sankara.

"Oalah, ngga ada kok, Mbak. Saya sama Mas Sankara udah selesai sebelum Mas Sankara mutusin buat ngelamar Mbak Agnita. Terus juga keputusannya bukan diambil sendiri, Mas Sankara juga tanya pendapat saya waktu itu. Dan kami berdua mutusin untuk selesai baik-baik. Mas Sankara juga udah sungkem sama ibu saya, makanya waktu itu akhirnya saya sekeluarga dateng ke pernikahan kalian," terang Antari. 

Agnita menatap Sankara, yang dijawab anggukan oleh pria itu.

"Beneran? Lo udah ngga galau lagi?"

"Antari ngga mungkin galau karena saya, Tanisha. Kan sudah saya bilang, hubungan saya dengan Antari tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan," terang Sankara.

"Beneran?" tanya Agnita.

"Kalau perasaan waktu itu emang belum ada. Saya sama Mas Sankara mutusin nikah karena visi misi kita sama. Terus kebiasaan kita kurang lebih sama. Saya suka baca, Mas Sankara juga. Saya orangnya diem, Mas Sankara juga. Mas Sankara perlu istri yang bisa diem di rumah, saya perlu suami yang bisa menuhin kebutuhan saya. Jadi waktu itu kita bisa saling kasi apa yang kita perluin. Makanya saya sedih pas sadar kalau ternyata hubungan saya sama Mas Sankara ngga berjalan lancar," terang Antari. 

"Mas Sankara pasti juga sedih, cuma emang itu keputusan terbaik. Prinsip kita sama-sama bentrok di sana. Mas Sankara ngga bisa diajak kerjasama untuk diam soal ayah saya, dan saya ngga bisa untuk lanjut jalin hubungan sama orang yang lebih mentingin urusan politik dibanding keluarga. Mungkin nanti lebih jelasnya biar Mas Sankara yang cerita? Saya ngga enak kalau ngeduluin soalnya, takut salah bicara."

Melihat Agnita yang masih syok, membuat Sankara mengambil alih ponselnya dari tangan wanita itu. "Iya, Tari, nanti saya yang jelaskan. Terima kasih sudah dibantu, maaf jadi ganggu malam-malam."

"Iya, Mas, ngga papa. Titip salam buat keluarga ya."

Sankara mengangguk, "Iya, saya titip salam juga untuk keluarga kamu," ucap Sankara sebelum akhirnya memutus sambungan telponnya. Pria itu kemudian menatap ke arah Agnita, "Gimana, Non?" tanyanya dengan menggunakan panggilan rumahan Agnita untuk meledek.

Agnita masih belum bisa mencerna semuanya. "Jadi, Antari sama lo bener-bener ngga ada rasa?"

Sankara mengangguk.

"Terus kenapa mutusin buat nikah?" tanya Agnita. "Cuma karena sama visi misi doang, gitu?"

"Itu salah satu alasannya, tapi pasti ada pertimbangan lain. Sudah saya katakan, Antari itu tidak mungkin sakit hati karena saya. Dia memang lembut orangnya, tapi bukan berarti dia perempuan lemah yang bisa dengan mudah saya sakiti. Antari itu dewasa, pintar juga, dan yang terpenting pola pikirnya sejalan dengan saya," terang Sankara.

"Terus kenapa lo lepasin semudah itu?" tanya Agnita lagi. "Maksud gue, tadi dia bilang sedih kan, lo juga sedih. Tapi kenapa milih pisah, dibanding bertahan?"

"Saya ngga bisa kalau harus bersebrangan dengan prinsip saya, hanya untuk membangun rumah tangga. Kamu mungkin bisa bilang saya jahat atau picik, tapi kenyataannya ketika saya sudah berani mengemban tugas untuk mengabdi kepada rakyat, saya harus bisa mengorbankan kepentingan pribadi saya." Sankara menaruh ponselnya, dan betul-betul fokus menghadap ke arah Agnita.

"Antari waktu tahu ayahnya sedang diselidiki KPK, orang yang dia cari pertama kali adalah saya. Dia minta tolong untuk bantu ayahnya." Sankara mulai bercerita. "Saya pasti bantu kalau Pak Aryo memang bersih. Saya sendiri yang akan sewa pengacara supaya beliau tidak dijebak."

Agnita tampak serius mendengarkan.

"Tapi ternyata Pak Aryo bersalah, dia menggelapkan dana pensiun," ucap Sankara.

"Terus lo langsung minta batalin pernikahan?" tanya Agnita.

Sankara menggeleng, "Bukan saya yang duluan yang minta, tapi Antari. Dia kasi dua pilihan, kalau mau lanjut saya harus bantu bersihkan nama ayahnya, kalau ngga dia mau semunya dibatalkan."

Agnita cukup terkejut mendengar perkataan Sankara itu. "Jadi ... bukan lo? Tapi Antari yang minta?"

"Iya. Tapi saya bisa paham kenapa dia begitu. Buat Antari, keluarga itu segalanya. Saya yakin dia tidak bermaksud buruk dengan meminta seperti itu. Pada saat itu, dia sudah sepenuhnya percaya dengan saya, makanya dia berani meminta seperti itu. Tapi saya yakin, Antari juga paham kalau saya juga punya prinsip yang tidak bisa semata-mata ditrobos begitu. Dan melindungi orang-orang yang melanggar kepercayaan rakyat, bukan suatu hal yang kecil bagi saya, beban moralnya terlalu tinggi."

"Di detik saya memutuskan untuk berani mengemban tanggung jawab yang besar ini, di detik itu pula saya berjanji untuk mengedepankan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi. Saya tidak akan bisa tutup mata jika saya tahu ada pihak yang merugikan banyak orang, apalagi jika itu orang terdekat. Tutup mata saja sudah salah, apalagi membersihkan nama beliau yang jelas-jelas sudah merugikan banyak pihak."

"Saya kenal dengan Pak Aryo, beliau baik secara personal. Tetapi bukan berarti saya jadi punya hak untuk membenarkan perbuatannya yang salah. Mungkin bagi Antari, saya ini jahat, karena tidak membantu keluarganya saat sedang kesulitan. Tapi di sisi lain, saya ini baik bagi rakyat yang dirugikan. Politik itu memang penuh dengan dilema moral yang kompleks, selalu ada beban yang harus saya tanggung di tiap keputusannya. Tapi saya punya keyakinan, sejauh ini keputusan yang saya ambil sudah yang paling tepat, meskipun ada beberapa pihak yang tidak suka dengan hal itu."

Agnita tidak langsung menanggapi. Wanita itu menatap Sankara dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu boleh berpendapat, saya tidak melarang," ucap Sankara.

Agnita menggeleng, "Gue cuma mikir, lo segitunya banget kalau soal negara. Maksud gue, ya kita semua tau kalau korupsi itu salah. Tapi belum tentu kita bisa beneran berdiri di sisi yang benar, kalau yang ngelakuin orang terdekat, apalagi sampai ngorbanin hal yang penting. Ngelepas Antari kan, ngga mudah."

"Memang ngga mudah, tapi itu yang terbaik. Saya yakin Antari juga akan tersiksa, jika saya paksakan untuk lanjut hubungan. Antari itu dibesarkan penuh dengan kasih sayang kedua orangtuanya, dia tidak mungkin tahan melihat sikap saya yang seperti itu."

"Tapi kalau one day, keluarga gue tiba-tiba korupsi gimana?" tanya Agnita. 

"Ayah kamu maksudnya?" tanya Sankara.

Agnita mengangguk, "Iya, kalau bokap gue korupsi, gimana? Lo bakalan ninggalin gue juga, kayak Antari?"

"Pak Hartanto tidak mungkin korupsi, saya berani jamin soal itu. Ayah kamu itu, salah satu pejabat paling bersih yang pernah saya tahu."

"Ya ... namanya juga hati manusia, ngga ada yang tahu, kan?" celetuk Agnita.

Sankara berdecak, "Ngga boleh ngomong begitu. Walaupun hubungan kamu dengan ayah kamu tidak baik, kamu tidak boleh merendahkan orangtua kamu sendiri," tegurnya.

"Iya ... iya ... maksud gue tuh, misalnya gitu, berandai-andai," ucap Agnita mengoreksi. "Lo bakalan ninggalin gue juga kayak Antari ngga?"

"Ngga, saya ngga akan ninggalin kamu."

"Bohong banget! Orang Antari yang seidaman itu aja lo tinggal, apalagi gue!"

"Situasinya beda. Kamu ngga bisa sama ratakan begitu," ujar Sankara.

"Saat itu, saya dan Antari masih punya pilihan untuk tidak bersama. Sedangkan saat ini, kamu itu sudah menjadi istri saya. Jadi mau bagaimana pun saya pasti akan tetap di samping kamu. Justru harusnya saya yang tanya, memang kamu mau hidup sama saya terus?"

Ditanya mendadak seperti itu membuat Agnita bungkam, bingung harus menjawab seperti apa. Kalau dia jawab, tidak mau, apa tidak terlalu kejam?

Sankara tersenyum. Ia tepuk-tepuk puncak kepala Agnita. "Saya tahu kamu mikirin apa, tapi setidaknya kamu ngga langsung jawab, dipikirin dulu pertanyaan saya," ucap Sankara dengan nada yang terdengar bangga. Setidaknya pelajaran hari ini ada yang masuk, tidak mental semua.

"Bisa ngga, jangan perlakuin gue kayak anak kecil? Dikira gue bocah apa ya?" tanya wanita itu tak suka. "Udah ah, gue ngantuk, mau tidur." Ia kemudian bangkit dari duduknya. Sebenarnya perasaan Agnita saat ini masih begitu campur aduk, bahkan ia sendiri bingung harus bertindak seperti apa. Namun yang terpenting, rasa bersalahnya kini perlahan sudah mulai luruh. Dia bukan perebut calon suami orang ternyata.

"Tidur bareng saya malam ini," ucap Sankara kala Agnita hendak naik ke atas menuju kamarnya. "Kamu udah ngga ada alasan untuk melanggar perjanjian kita."

Agnita mendengus, "Iya, iya, bawel! Gue mau mandi, terus ganti baju sekalian. Baru nanti ke kamar lo." Wanita itu kemudian naik ke atas, namun tak sampai beberapa menit, ia kembali memanggil Sankara. "Sankara, ini punya siapa?" Agnita menunjukan paper bag yang ada di depan kamarnya.

Sankara mendongak, "Punya kamu."

"Gue ngga ngerasa beli bra tadi," ujar Agnita.

"Saya yang beli. Kamu bilang punya kamu ngga nyaman, jadi saya carikan yang nyaman. Katanya itu ngga akan menghambat sirkulasi darah," terang Sankara.

Agnita mengernyit, "Kok gue ngga liat lo beli ini tadi?"

"Udah kemarin saya belinya. Mau langsung kasi kamu, tapi kamu lagi kumat, jadi saya ngga berani kasi."

"Ya udah, oke. Tapi ngga salah ukuran kan?" tanya Agnita lagi. Kali ini wanita itu sudah berbalik, tak lagi pada posisi yang sama, sehingga Sankara hanya bisa menangkap suaranya.

"Harusnya pas," jawab Sankara, yang juga kemudian berlalu menuju kamarnya.

***

Sankara pikir, setelah ia mematikan lampu, ia akan bisa langsung tidur tenang. Apalagi setelah semuanya sudah selesai ia luruskan. Namun ternyata Agnita masih belum puas. Baru lima belas menit, Sankara menutup mata, wanita itu sudah grasak-grusuk. Awalnya Sankara hendak mengabaikan, namun ketika Agnita menoel-noel lengannya dengan jari telunjuknya, Sankara mau tak mau harus menunda kembali waktu tidurnya.

"Pstt ... pstt ... udah tidur belum?" bisik wanita itu. 

Pria itu terpaksa membuka mata, "Saya ngantuk, Tanisha," keluh Sankara.

"Yah ... padahal gue belum," ucap wanita itu. "Ngga asik ah."

"Energi kamu belum habis juga?"

Agnita menggeleng, "Gue pengen nanya deh."

Sankara ingin sekali menolak, namun yang dia lakukan justru menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Apa? Mau tanya apa?" tanya Sankara lembut.

"Lo ... sama Antari ..."

"Antari lagi?" Suara Sankara terdengar frustasi.

"Dengerin dulu ih!"

"Iya, iya, saya sama Antari, kenapa?" 

"Mmm ... gue sempat nanya kan, sama temen lo itu, siapa sih namanya? Bayu?" 

"Banyu," koreksinya. "Banyu bilang apa?"

"Dia bilang lo sama Antari dulu sedeket itu, bahkan sampai lo kasi dia main ke apartemen lo. Padahal kan, lo orangnya ngga se-welcome itu sama semua orang."

Sankara menghela napas. Dalam hati ia berjanji akan membuat Banyu bertanggung jawab karena telah menjadi salah satu alasan, yang membuat Agnita jadi curiga kepadanya. "Iya, saya sama Antari kalau ketemu memang di apartemen. Alasannya karena kami tidak mau dijadikan bahan pembicaraan sebelum benar-benar resmi menikah," jelasnya.

Agnita mengangguk, "Terus lo berdua sama sekali ngga pernah ngapa-ngapain gitu? Maksud gue, lo kan sama dia bener-bener berduaan. Masa iya, ngga kepikiran buat macem-macem?" Sambil bertanya, tangan Agnita terulur, bermain di rambut Sankara.

"Iya, ngga pernah."

"Terus lo kalau berduaan sama dia, ngapain dong?"

"Banyak. Kita ngobrol buat mengenal pola pikir masing-masing dan arah ke depan mau bagaimana. Terus juga, Antari suka bicara soal seni menurut sudut pandang dia. Dan saya sering bicara soal sejarah juga. Tapi paling sering kita sibuk sendiri. Saya biasanya baca buku atau lanjut kerja, sedangkan Antari dia paling tidak bisa diganggu kalau sudah mulai melukis."

Agnita berdecak, "Cupu banget, ngga kebayang semembosankan apa hidup kalian kalau beneran nikah," celetuk Agnita. "Aneh banget, berduaan ngga ngapa-ngapain. Minimal cipokan kek."

Sankara mendengus, "Antari itu orangnya paham sopan santun. Ngga kayak kamu yang suka seenaknya pegang sana sini," sindir Sankara yang membuat Agnita berhenti merecoki rambut pria itu.

"Ya udah sih! Kalau gitu nikah sama dia aja, jangan gue!" serunya jengkel.

"Udah terlanjur, mau gimana lagi?" balas Sankara.

"Jadi kalau misalnya bisa diputer ulang lagi, lo bakal milih Antari?" tanya Agnita.

"Ngga."

"Kalau misalnya bokap dia ngga korupsi?"

"Kalau kayak gitu, saya ngga akan kenal kamu."

Agnita merengut, tak suka dengan jawaban Sankara.

"Tapi itu dulu, kalau sekarang kan, saya udah ngga ada pilihan lain lagi."

Masih, Agnita tetap tak suka jawaban Sankara. Seolah pria itu terpaksa memilihnya ketimbang Antari. Tentu di sini harga diri Agnita tergores. 

"Cantikan gue apa Antari?" tanyanya tiba-tiba.

Sankara mengernyitkan dahinya.

"Jawab cepet!"

"Kamu sama dia sama-sama cantik," jawab Sankara.

"Kalau pinter, pinteran siapa?" Agnita masih belum mau mengalah. Dirinya harus menemukan setidaknya satu saja kelebihannya dibanding Antari. Agnita memang percaya diri, namun kali ini dia butuh validasi.

"Kalian sama-sama pintar di bidang masing-masing," jawab Sankara lagi. "Ini kenapa kamu jadi banding-bandingin begitu?"

"Kalau sukses, suksesan siapa?" Agnita malah menjawab dengan pertanyaan lagi.

"Kamu sama dia sama-sama sukses."

"Kok lo jadi bela Antari sih? Jelas-jelas suksesan gue!" seru Agnita tak setuju.

"Antari juga sukses. Banyak penghargaan yang dia dapat atas karyanya. Dia juga sering menjadi pembicara. Banyak yang dia kerjakan yang membanggakan negara ini," jelas Sankara. Ia kemudian melanjut, "Walaupun kamu istri saya, saya ngga akan merendahkan orang lain untuk meninggikan kamu. Kamu itu cantik, pintar, sukses, tidak perlu dibandingkan dengan siapapun."

"Iya, gue tau, tapi gue harus ada lebihnya dibanding dia!" seru Agnita bersikukuh.

"Kenapa?" tanya Sankara.

"Ya, biar gue seneng aja! Gue udah nerima bekasannya dia semua, masa gue minta gini doang lo ngga bisa kasi?" dengus Agnita kesal. "Satu doang loh, San, masa ngga ada banget?"

Sankara nampak menimang-nimang, kelebihan yang Agnita yang tidak Antari miliki. Dan jawaban yang dia temukan hanya satu, "Dada kamu lebih besar dari dia." ceplosnya.

"Kok tau? Lo pernah pegang punya dia?" tanya Agnita penuh selidik.

"Ngga pernah."

"Terus? Kok tau? Lo ngintipin dia?" tuduh Agnita.

"Ngga, Tanisha. Kan waktu nyoba wedding dress, kamu sesek di sana," jawab Sankara.

Tadinya Sankara pikir ia akan dihadiahi pukulan oleh Agnita karena berkata demikian, namun nyatanya perempuan itu malah manggut-manggut, tampak puas dengan jawaban Sankara.

"Udah ya? Saya mau tidur sekarang," pinta Sankara.

Agnita mengangguk, "Ya udah, tidur aja, gue ngga bakalan ganggu," jawab wanita itu.

"Kamu juga tidur," ucap Sankara. Ia sempat mengusap lembut rambut Agnita, sebelum akhirnya memejamkan matanya terlebih dulu.

Hari ini tidak ada adegan lain lagi. Sankara tidak memeluk Agnita seperti biasanya, bahkan pria itu justru menjaga jarak dengan menarik tubuhnya menjauh. Ini bukan karena dia marah, melainkan karena pria itu benar-benar butuh tidur. Dia tidak akan sanggup jika tiba-tiba Agnita memintanya melakukan sesuatu yang membutuhkan tenaga.


 

[nonamerahmudaa]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sebelum Berpisah | Part 26
79
2
Sebelum Berpisah | Part 26Agnita mulai mempertanyakan kembali keputusannya. Memikirkan kembali sebenarnya seberapa bergantungannya dia dengan Sankara selama ini. Sementara Agnita bimbang, Sankara terus menerus bergerak mendekat. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan