
Sebelum Berpisah | Part 39
Agnita mulai berani mengutarakan perasaaannya secara terang-terangan kepada Sankara, dan berpikir bahwa pria itu juga merasakan hal yang sama dengannya.
Bagian Tiga Puluh Sembilan

"Semua hal itu butuh rencana, begitu pula dengan pernikahan. Harus ada perencanaan yang matang agar ia dapat terealisasikan dengan seharusnya."
"Jadi sebelum berpisah, mari kembali berencana."
***
Kalian pernah tidak, merasa sangat bahagia setelah bangun tidur di pagi hari? Rasanya seperti itu adalah hari terbahagia yang pernah kalian rasakan. Nah, Agnita saat ini sedang merasakaannya. Dia bangun lebih awal dari Sankara —ini adalah sebuah rekor, dan sebagai hadiahnya, dia bisa menyaksikan wajah tampan suaminya itu yang terlihat masih begitu tenang dalam tidurnya.
Berbeda dengan hari hari biasanya, semalam tak hanya Sankara yang memeluk Agnita dalam tidurnya, melainkan Agnita juga membalas pelukan pria itu, sembari menenggelamkan kepalanya di dada bidang Sankara. Beberapa kali juga dia bermain nakal untuk menggoda pria itu, karena memang Agnita tidak mengantuk efek tidur siangnya, namun Sankara tetap kukuh mendisiplinkan Agnita agar tidur tepat waktu. Padahal Agnita sudah beberapa kali dengan sengaja menyenggol milik sang pria dengan dengkulnya, menggesek di sana dengan perlahan berharap sang empunya kembali terjaga. Dia lebih memilih untuk melakukan hubungan dengan Sankara ketimbang dipaksa tidur.
Namun namanya juga Sankara, mau Agnita telanjang bulat di hadapannya pun, memohon sampai menangis, kalau Sankara bilang tidak ya tidak. Pria itu sangat teguh dengan perkataannya. Jadilah Agnita menyerah sebab Sankara tidak memberi respon, selain mengusap lembut kepala perempuan itu, sembari berbisik pelan, "Tidur Tanisha, jangan bandel kamu."
"Gue ngga bandel tau, tapi lo nya yang kaku." Agnita bergumam, membalas perkataan Sankara semalam sembari menatap pria yang masih tidur pulas di sampingnya. Lengan Sankara bahkan masih dengan erat memeluknya, akibat Agnita yang tidak bisa diam saat sedang tidur. Jari telunjuk Agnita terulur untuk menelusuri wajah Sankara. Dimulai dari kedua alis pria itu, "Tebel banget, gue jadi iri," celetuknya. Kemudian dilanjutkan ke area mata, "Ini juga kok bulu mata lo lentik sih? Ngga sinkron sama tatapan lo yang tajem," ujar Agnita. "Tapi ngga papa deh, mata lo bagus soalnya, gue suka."
Jari wanita itu kemudian semakin turun, kini menelusuri batang hidung sang pria. "Ini not bad sih, ngga mancung tapi setindaknya bentuknya tegas kalau dilihat dari samping." Tanpa sada tubuh Agnita semakin menyondong ke arah Sankara. "Terus ... bibirnya ..." Suara Agnita terhenti kala jarinya telah sanpai di atas bibir pria itu, terlebih ketika ia menyadari bahwa gerakannya itu sudah berhasil membuat Sankara membuka matanya.
Agnita tersenyum, "Good morning," sapanya dengan kedua pipi yang bersemu, setelah tiba-tiba mendaratkan sebuah kecupan di bibir Sankara.
"Good morning," jawab Sankara. Suara pria itu masih begitu serak. Tatapannya pun masih belum begitu fokus, tetapi tangan kirinya sudah bergerak naik merapikan rambut perempuan di hadapannya. "Udah bangun daritadi kamu?"
"Baru bangun," jawab Agnita.
"Gimana tidurnya? Lebih nyenyak, kan?" tanya pria itu lagi.
Agnita mengangguk, "Terus juga kepala gue ngga pusing pas bangun, kerasa fresh aja gitu," terangnya.
"Biasanya kamu bangun tidur ngerasa pusing?"
"Iya, kerasa capek juga."
"Nah, itu karena kamu tidurnya ngga konsisten, dan sering ngelewatin jam tidur seharusnya. Jam tidur malam itu ngga bisa diganti, karena regenerasi sel terjadi pada malam hari. Jadi kalau kamu ngerasa capek atau pusing setelah bangun tidur, itu artinya tidur kamu kurang berkualitas, terlebih kalau jam tidur kamu ngga konsisten dan suka begadang."
Agnita tertawa geli.
"Kenapa?" tanya Sankara.
"Lo tuh ... suka banget ya, ceramah. Padahal baru banget bangun loh ini," celetuknya. "Tapi ngga papa deh, gue udah mulai suka dengernya. Lo jadi keliatan pinter banget kalau udah serius. Terus juga ..." Perkataan Agnita terhenti kala tatapannya jatuh pada bibir pria itu sejenak.
"Terus apa, hm?"
"Lo jadi lebih hot," bisiknya pelan.
Sankara menaikan sebelah alisnya, "Jadi kamu sering mikir kemana-mana waktu saya ngasi tahu?"
"Mmm ... kurang lebih gitu sih, apalagi kalau lo pakai kacamata, terus beneran kayak marah gitu tatapannya." Agnita jadi senyum-senyum sendiri membayangkan visualisasi Sankara yang seperti itu. "Ditambah lagi kalau lo marahin gue nya pas baru pulang kantor, masih capek, belum ganti kemeja. Lo cuma naikin lengan kemeja aja." Perempuan itu menambahi. "God, you look so sexy with those veins in your arms," celetuknya.
"Pantesan, saya kasi tahu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, kamunya ngga beneran dengerin," ujar Sankara.
"Siapa suruh mengundang hawa nafsu?" balas Agnita tanpa malu.
"Saya ngga ngundang, kamunya aja yang nafsuan."
"Ngga suka?" tanya Agnita.
"Iya, suka," ucapnya. "Udah ayo sini bangun, jogging dulu bareng saya. Ini udah jam—"
"Eeumm ..." Agnita menggeleng sembari bergumam pelan, tangannya menahan lengan Sankara yang hendak bangkit dari atas ranjang.
"Udah jam lima, Tanisha, kalau diundur nanti ngga tepat waktu jadinya. Mau kamu telat ke kantor?"
"Masih mager tau, masa udah harus olahraga aja?"
"Kebiasaan kamu malesan gini, ayo!"
"Ngga mau, ini kasurnya masih enak banget. Daripada jogging, mending kita have fun di ranjang, San, morning sex, gimana?" tanya perempuan itu dengan nada yang manja.
Sankara menggeleng, "Mentality sama stamina kayak kamu ini, masih belum cocok buat diajak sex. Belum apa-apa juga kamu udah nangis minta berhenti, atau ngga udah keluar duluan terus lemes."
"Heh! Mulut lo tuh!" Agnita mengubah posisinya menjadi duduk, melipat tangannya di depan dada.
"Memang gitu kamu," jawab Sankara dengan nada kelewat lempeng, ikut mengubah posisinya menjadi duduk juga.
"Ngga! Gue ngga terima lo katain gitu! Take it back!"
"Ngga ngatain, Tanisha. Udah ayo bangun, siap-siap olahraga," ajak Sankara.
"Ngga mau. Sialan, lo ngatain gue! Enak aja dibilang gampang lemes! Kalau mau buktiin—"
Sankara memotong ucapan Agnita dengan mengecup bibir wanita itu, cukup lama sampai ia merasa Agnita sudah lebih tenang, baru setelahnya Sankara memberi jarak. "Bukan ngatain, maksud saya itu kalau gampang capek itu artinya staminamu kurang oke, makanya sekarang saya ajak olahraga biar stamina kamu meningkat. Biar ngga gampang lemes, ngga cuma pas di ranjang, tapi pas aktivitas juga," terang Sankara.
Sebelum pembicaraan ini jadi panjang, dan berujung kemana-mana, Sankara sudah lebih dulu menambahkan, "Kamu enak kok, saya suka," ucapnya yang berhasil membuat pipi Agnita bersemu. "Udah ayo, siap siap!"
Agnita mengulurkan tangannya kepada Sankara yang sudah terlebih dahulu turun. "Gendong!"
"Manja banget, ini tanggal bulanan kamu udah deket ya?" Sankara berkata sembari mengangkat tubuh Agnita dari atas kasur.
"Iya, tapi kayaknya mulai sekarang gue mau kayak gini terus," ucap Agnita. "Mau dimanjain terus sama lo, pokoknya gue mau diurusin terus. Boleh kan?"
"Kalau saya ada waktu, pasti saya sisihkan buat kamu," jawab pria itu. Sankara kemudian menurunkan tubuh Agnita untuk duduk di sisi samping wastafel.
"Gue maunya diurus terus, bukan disisihkan gitu. Katanya lo sayang sama gue?"
Sankara menyodorkan sikat gigi milik Agnita yang baru saja ia berikan odol di atasnya. "Sayang kan, ngga harus selalu dimanja. Saya latih kamu jadi mandiri juga bentuk rasa sayang. Biar kamu juga bisa sendiri, tanpa saya."
"Gue udah mutusin, buat sama lo terus, kan?" Agnita berkata sebelum mulai menyikat giginya, bersamaan dengan Sankara yang melakukan hal yang sama. "Emangnya lo mau ninggalin gue?"
Selama beberapa detik Sankara tak memberi jawaban, masih sibuk dengan kegiatannya sendiri. Baru setelah selesai berkumur, pria itu menjawab, "Ngga, tapi saya juga punya banyak kesibukan, ngga bisa selalu temenin kamu kayak gini."
"Ngga mau, gue maunya ditemenin terus."
"Memangnya kamu ngga kerja?" tanya Sankara.
"Kerja," jawab Agnita. Perempuan itu menaruh sikat giginya yang telah bersih ke tempatnya. "Tapi kalau kerjaannya ganggu, gue bisa oper ke Tian aja, biar waktu gue sama lo ngga keganggu."
Sankara mengernyitkan dahinya. Cukup heran dengan perkataan Agnita barusan. Bukankah perempuan itu paling suka dengan pekerjaannya?
"Kamu sesuka itu main bareng saya?" tanya Sankara.
Agnita mengangguk tanpa ragu. Kakinya sejak tadi tak berhenti mengayun, dengan senyum yang masih bertengger di bibirnya. "Suka, kan udah gue bilang."
"Sesuka itu kamu sama saya, sampai kamu mau ninggalin kerjaan kamu cuma buat main bareng saya?" tanya Sankara, sekali lagi untuk memastikan.
Dan ya, tanpa ragu Agnita kembali mengangguk. "Quality time bareng lo sekarang udah jadi kegiatan nomor satu yang paling gue suka, ngalahin kerjaan gue," ujar Agnita. Perempuan itu kemudian turun dari atas wastafel. "Gue mau ganti baju dulu."
"Rambut kamu diikat ya? Biar nanti ngga ganggu waktu jogging."
"Lo kan tau gue ngga suka iket rambut, lagian ngga ganggu kok," ujar Agnita.
Sekali lagi, Sankara hanya ingin memastikan apakah yang dia pikirkan, sesuai dengan yang realitanya. "Padahal kamu cantik sekali kalau rambutnya diikat." Sankara hanya berkata pelan, bahkan ketika berkata ia sudah tak lagi memandang Agnita.
Namun perempuan itu dengan cepat membalas, "Ya udah deh, gue iket aja," jawabnya sebelum akhirnya pergi dari sana, meninggalkan Sankara yang masih bergelut dalam pikirannya.
Ternyata benar seperti perkiraannya di awal, bahwa membuat perempuan itu jatuh cinta adalah cara paling efektif untuk mempertahankan pernikahan ini. Lihat saja, bagaimana Agnita dalam waktu cepat melupakan keinginannya untuk bercerai, dan lebih dari itu, wanita itu bahkan kini lebih mementingkan penilaian Sankara ketimbang keinginannya sendiri. Walaupun itu hasil akhir yang sejak awal direncanakan oleh Sankara, namun pria itu tidak menyangka bahwa menimbulkan rasa tersebut pada Agnita akan membuat perempuan itu jadi hilang arah. Ia jadi terlalu ingin bergantung kepada Sankara, dan rela kehilangan semuanya demi bersama Sankara. Dan tentu Sankara tidak akan membiarkan hal tersebut berkembang dalam diri Agnita, dia tidak mau Agnita jadi kacau hanya karena perasaan semu itu. Selain itu juga kondisi Agnita yang seperti ini cepat atau lambat pasti akan mengganggu ke depannya, jadi Sankara harus memikirkan cara untuk menghindari konflik lain kedepannya.
Sankara perlu memikirkan cara agar Agnita bisa lebih dewasa dari sebelumnya. Karena tidak selamanya Sankara akan bersikap seluang sekarang. Ayolah, kehidupan pria itu tak hanya soal pernikahan, masih banyak hal lain yang perlu dia urus.
***
"Sank, seriusan deh, gue kenapa ya? Kayak seneng banget gitu." Sepanjang kegiatan lari mereka, Agnita benar-benar tak berhenti mengoceh. Perempuan itu seolah tak kehabisan energi untuk berbicara, padahal Sankara beberapa kali mempercepat laju larinya agar Agnita kewalahan mengejarnya, namun tetap saja perempuan itu bisa mengimbangi. "Kayak rasanya tuh, berbunga-bunga banget tau! Lo juga gitu ngga sih, Sank?"
Sankara tak begitu memerhatikan perkataan Agnita. Dibanding mendengarkan celotehan sang perempuan, ia lebih fokus mengawasi langkah serta sisi belakang Agnita. "Kamu lari yang bener dulu coba, jangan hadap saya, nanti jatuh," tegur Sankara.
"Kan sengaja biar bisa liatin lo. Dibilangin gue lagi suka banget ngeliat lo. Gatau kenapa rasanya gue pengen matengin lo seharian. Padahal dulu jangankan seharian, satu detik aja gue eneg pengen nonjok," celetuk Agnita. Wanita itu tampaknya masih kekeh untuk berlari mundur. "Gue tuh—"
Hampir saja Agnita terjatuh akibat tersandung ranting pohon, jika Sankara tidak secara sigap menangkap tubuh wanita itu dengan tangan kirinya. "Sudah saya bilang, nanti jatuh," ujar pria itu.
Namun bukannya menanggapi perkataan Sankara, Agnita justru membeku di tempatnya. Selama beberapa saat ia hanya diam dengan kedua matanya yang berbinar, menatap ke arah Sankara.
"Ayo lari lagi, kenapa diem? Kaki kamu ada yang sakit?" tanya Sankara.
"Coba ulang lagi," pinta perempuan itu.
"Apa?"
"Yang tadi, ulang lagi." Karena Sankara tak kunjung memberikan yang dia mau, alhasil Agnita menarik tangan pria itu dan meletakannya di pinggangnya, sama seperti tadi. "Denger ngga lo?"
"Dengar apa?" Sungguh Sankara makin tak mengerti dengan maksud wanita di hadapannya.
Senyumnya tiba-tiba kembali mengembang bersamaan dengan semburat merah di pipinya. "Jantung gue, deg deg an parah," ucapnya. "Coba deh, rasain." Agnita meletakan telapak tangan Sankara di dadanya. "Kerasa, kan?"
Sankara mendelik. Pria itu seketika langsung menarik kedua bahu Agnita agar berhenti melangkah.
"Sank lo kena—"
"Tarik napas dulu," potong Sankara sembari menarik tangan Agnita, melirik ke arah smart watch yang perempuan itu kenakan. Ketegangannya sedikit berkurang tatkala mendapati angka denyut jantung Agnita yang masih normal.
"Lo kenapa sih?" tanya Agnita kebingungan.
"Saya bilang tarik napas dulu, terus buang perlahan," ujar Sankara. Pria itu tampak begitu serius saat berkata, seakan apa yang baru saja terjadi berhasil menjadi trigger baginya.
Agnita menurut. Perempuan itu mengikuti apa yang Sankara minta kepadanya. "Udah," ujarnya.
"Masih deg-deg an nya?" tanya Sankara. Pria itu menatap cemas ke arah Agnita.
Agnita menggeleng, lebih tepatnya wanita itu berbohong, karena melihat Sankara yang sebegitunya khawatir membuat jantungnya semakin berdebar. Terlebih kala Sankara memeriksa detak jantungnya kembali. "Kamu deg-degan bukan karena terlalu capek olahraga?" tanya Sankara. Tadinya pria itu benar-benar khawatir lantaran detak jantug Agnita yang meningkat dratis. Dia takut perempuan itu terlalu memaksakan diri.
"Ya, bukan lah," jawab Agnita pelan.
"Terus?" Sankara menahan kalimatnya sejenak, sebelum melanjutkan, "Karena saya?"
Kepala perempuan itu mengangguk. Lagi-lagi semburat merah nampak menghiasi wajahnya.
"Pipi kamu juga, daritadi merah gitu. Itu bukan karena capek, tapi karena saya?" Sankara kembali bertanya.
"Emang merah, ya?" Agnita refleks menyentuh kedua pipinya. "Anjir, malu banget!" umpat Agnita sembari membalikan badannya.
Sankara terkekeh. Sepertinya untuk sejenak ia perlu mengenyampingkan dulu perihal rencananya ke depan, dan memilih untuk meladeni fase jatuh cintanya Agnita saat ini. Paling tidak Sankara harus bisa memahami serta mengimbangi apa yang perempuan itu rasakan. Sankara tidak mau Agnita berpikir bahwa hanya dia yang merasakan perasaan itu di sini, itu pasti akan menyakiti perempuan tersebut.
Tidak akan sulit bagi Sankara untuk setidaknya ikut mendalami apa yang Agnita rasakan. Sebelumnya pun demikian, Sankara sudah pernah melakukannya. Jadi dia sudah cukup paham dengan bagaimana cara perempuan itu bekerja. Lagipula Sankara juga cukup menikmati momen-momen seperti ini.
"Udah ngga usah balik badan gitu, saya udah lihat kok," ucap Sankara. Pria itu membalikan pundak Agnita, "Kamu kayak anak kecil ya, kalau lagi suka sesuatu. Transparan banget, ngga bisa ditutupin sama sekali."
Agnita terlihat cemberut karenanya. "Lo sukanya cewek yang gitu ya? Yang cool cool, gitu? Gue ngga bisa lagi. Tapi boleh deh, gue coba."
Sankara tersenyum, diusapnya puncak kepala perempuan itu. "Ngga kok, saya suka kamu yang kayak gini. Jadi ngga usah tutupin apapun di depan saya, saya ngerasa lebih tenang kalau kamunya gini."
"Tapi kalau semisalnya gue berubah jadi cewek cool gitu di depan lo, lo suka ngga?" Agnita bertanya sembari mengimbangi langkah Sankara.
"Memangnya bisa?"
"Bisa, kan waktu gue sebel sama lo, pas liat foto mantan itu, gue jadi dingin."
"Dingin versi kamu, gitu?" tanya Sankara yang dibalas anggukan oleh Agnita. "Marah dong, berarti?"
"Iya, tapi versi ngga marahnya. Kayak gue nanti jadi ngga manja sama lo, terus juga ngga suka teriak-teriak, pokoknya kayak cewek-cewek berkelas ala-ala istri pejabat di luar sana deh," ujar Agnita.
"Saya ngga yakin kamu bisa gitu," celetuk Sankara.
"Bisa, kalau lo sukanya kayak gitu, gue bisa."
"Berarti demi saya? Bukan kamu yang mau?" tanya Sankara.
Agnita lagi-lagi mengangguk. "Mulai sekarang apapun yang lo mau, gue usahain pokoknya, sebagai tanda balas budi karena lo udah baik banget sama gue," ucap Agnita tanpa beban.
"Beneran kamu?"
"Iya."
"Apapun?" ulang Sankara.
"Apapun!" ucap Agnita. "Eh, asalkan lo ngga minta poligami ya tapi, gue ngga mau," ujarnya.
"Ngga berminat juga. Kamu aja udah cukup buat kepala saya pening," ujarnya.
"Ya udah, ayo cepetan bilang, lo mau apa?" tanya Agnita lagi. "Masa sih, ngga ada yang lo pengenin dari gue, Sank? Padahal gue pengen banyak dari lo."
"Saya lagi ngga pengen apa-apa sekarang. Memangnya kamu pengen apa?"
"Gue pengen bareng lo hari ini, seharian," ujar Agnita.
"Lagi? Emang kemarin ngga cukup?"
"Ngga, masih pengen bareng lo. Gue punya banyak list kegiatan buat dilakuin berdua."
"Ya udah, nanti kalau bisa saya usahain pulang cepet. Tapi ngga bisa janji ya? Saya kerja soalnya," ujar Sankara.
"Iya tau, itu kan cuma contoh doang, gue ngga minta beneran," ujar Agnita. "Sekarang lo, buruan, bilang mau apa?"
"Saya ngga pengen apa-apa, Tanisha."
"Satu pun gitu, ngga ada? Ngga ada yang bisa gue lakuin buat lo?" ulang Agnita lagi.
"Ini ngga bisa di keep dulu aja? Nanti saya kasi tau kamu kalau udah pengen sesuatu," ujar Sankara.
Agnita menggeleng, "Ngga mau, harus ada pokoknya," ucap perempuan itu. "Lagian aneh, masa satu pun ngga ada keinginan lo buat gue. Jadi berasa cuma gue doang yang jatuh cinta di sini," ujar Agnita.
Mendengar hal tersebut membuat Sankara putar otak. "Ya udah, sebentar, saya coba pikir dulu."
"You better think properly," celetuk Agnita sembari memasang ekspresi seakan siap mencecar Sankara jika pria itu memberikan jawaban yang tak memuaskan lagi.
"Ini kamu mau balas budi, apa nodong sih?" balas Sankara.
"Cepetan ih!"
"Ya udah, sabtu besok bisa luangin waktu kamu sebentar ngga?" tanya Sankara. "Saya pengen bawa kamu ke rumah utama."
Agnita menghentikan langkahnya, "Ada acara keluarga?" Perempuan itu nampak menegang.
"Ngga, bukan acara keluarga. Eyang Putri kan, udah beberapa kali minta ketemu sama kamu. Kemarin Mas Dewan juga bilang, kan? Eyang udah sampai minta segitunya, saya ngga tega kalau harus nolak kali ini," terang Sankara. Pria itu memerhatikan raut perempuan di depannya selama beberapa saat, sebelum melanjut. "Tapi kalau kamu ngga mau, ngga papa, saya ngga bakal maksa. Saya ngerti kalau kamu ngga nyaman. Lagi pula dulu di awal pernikahan, saya udah pernah janji kan, kalau kamu ngga akan bersinggungan sama keluarga saya," ujar Sankara menambahi.
"Gue sebenernya bukan ngga mau, cuma gue takut ngga kuat kalau diteken sama keluarga lo nanti," ujar Agnita pelan. "Rumah utama itu, tempat tinggal keluarga besar lo, kan?"
"Iya, tapi kamu ngga bakal ketemu sama semua anggota keluarga saya, ngga perlu juga. Nanti langsung ke Eyang Putri aja," ujar Sankara. "Saya jamin Eyang Putri ngga akan nekan kamu. Beliau bahkan lebih halus dari ibu saya, kamu udah pernah ngobrol kan sama ibu?"
"Iya, pernah, cuma sebentar."
"Nah, Eyang Putri lebih lembut lagi kalau bicara."
"Tapi kata Mas Dewan—"
"Ngga usah didengerin dibilangin. Dia itu memang begitu. Yang ada justru malah Mas Dewan yang ngga disenangi sama Eyang Putri. Dari dulu dia yang paling sering dimarah. Padahal Eyang Putri sabara banget."
"Emang dia ngapain? Sampe ngga disenengin sama Eyang?" tanya Agnita.
"Banyak, tapi salah satu yang paling fatal ya itu, dia cerai tanpa izin keluarga," ujar Sankara. "Eyang Putri paling ngga suka sama yang namanya perceraian. Makanya di keluarga saya, ngga ada satu pun yang pisah, karena ngga bakalan diizinin sama Eyang Putri. Ya, kecuali Mas Dewan, karena cerainya sembunyi sembunyi."
"Terus kenapa lo gampang banget ngeiyain syarat yang gue ajuin di awal?" tanya Agnita. "Padahal lo tau kalau itu impossible buat lo wujudin."
Sankara tak langsung menjawab. Ia berusaha menyusun kalimat agar tidak ada celah bagi Agnita untuk menyerangnya lagi. Namun belum sempat ia menjawab, Agnita justru malah kembali berkata.
"Jangan bilang lo dari awal ngga ada niatan buat cerai sama gue? Lo ngeiyain itu biar bisa nikah aja sama gue, alias lo udah suka sama gue dari awal?"
Bukannya menjawab pertanyaan Agnita, Sankara justru lebih memilih untuk membuka pagar rumahnya.
"Iya, kan, Sank?" Agnita menyusul. "Dih, ngga usah ngehindar gitu kali, kalau emang udah suka sama gue dari awal ya ngga papa, ngga usah malu. Kan, sekarang gue udah balik suka sama lo," ujar Agnita lagi.
Sankara masih belum memberi respon. Bukan karena dia tak bisa menjawab, melainkan dia tak mau merusak kebahagiaan kecil dari Agnita yang memiliki ekspetasi tinggi tentangnya. Jadi biarkanlah wanita itu merasa menang dengan caranya sendiri.
"Ngaku ngga lo?!" Bosan diabaikan, Agnita menarik dagu Sankara menghadapnya. Lalu kakinya berjinjit untuk berusaha menyamai tinggi pria itu. "Lo itu udah suka gue dari awal, Sankara. Keliatan tau, ngga usah ditutup-tutupin segala!" Tanpa pikir panjang, Agnita langsung mendaratkan ciumannya di bibir pria itu.
Tentu hal tersebut cukup membuat Sankara terkejut, terlebih lagi saat itu posisi mereka masih berdiri di depan rumah. Segera pria itu memarik pinggang wanitanya, membawa Agnita masuk dan menyembunyikannya di balik pagar rumah mereka. Kemudian dilayaninya ciuman Agnita itu dengan baik. Sankara membalas sebanyak Agnita memberikannya.
"Sankara, mau ngga?" tanya perempuan itu di sela-sela pangutannya.
"Di sini? Di garasi?" tanya Sankara.
"Kan sepi," ujar Agnita.
Sankara menggeleng, "Ngga kalau di sini, kamu jangan aneh-aneh."
"Ihh, kata lo biar ada variasi. Ini variasi loh, di outdoor," celetuk Agnita.
"Ngga boleh, nanti kamunya ngga nyaman."
"Nyaman kok."
"Ngga, Tanisha, kamu ngga bakal nyaman, apalagi after sex-nya nanti," terang pria itu. Ia kemudian mengangkat tubuh wanita tersebut tanpa izin. "Kalau mau di dalem aja," kata Sankara sembari melanjutkan langkahnya menuju pintu utama rumahnya.
"Tapi ngga asik tau kalau di dalem."
"Saya buat asik," ucap Sankara. "Memangnya pernah sama saya ngga asik?"
Agnita mengulum senyumnya, teringat akan kegiatan panasnya bersama Sankara kemarin. "Astaga, Sank, gue sayang banget sama lo, gimana dong?" ujar Agnita tiba-tiba. Posisi perempuan itu kini sudah duduk di pangkuan Sankara. "Sankara, lo denger ngga sih, gue sayang banget sama lo," ulangnya.
"Iya, Tanisha." Tangan Sankara terulur untuk mengusap rambut sang perempuan. "Saya juga."
"Tapi gue sayang lo tuh, beneran sayang banget. Kayak rasanya meluap-luap gitu. Ah, susah deh dijelasinnya, intinya lo pasti ngerti, kan?"
Sankara tak lagi menjawab. Ia lebih memilih untuk melanjutkan kegiatan mereka. Menjadikan dinginnya pagi berubah panas di atas sofa tersebut. Apapun yang Agnita rasakan saat ini, apapun itu, Sankara jamin ia akan berusaha untuk membalasnya dengan hal yang setimpal dan sepadan, meskipun dengan cara dan bentuk yang berbeda.
[nonamerahmudaa]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
