Bab 8 : Gegabah

1
0
Deskripsi

Kepulangan Hana ke Indonesia adalah untuk menyaksikan suaminya menikah lagi.

"Kenalin, ini Kinanti, madu kamu."

Hana menyandarkan kepalanya ke kaca jendela, memandang suasana jalan sore hari yang dilewatinya.

Disampingnya ada Bobi yang akhirnya mengantar Hana pulang usai kejadian di tempat golf tadi, pria itu diam menyimak kesunyian di dalam mobil. Tidak berani bersuara karena dibelakang sana ada Dimas yang tengah memijat pelipisnya.

"Belok ke rumah sakit." ujar Dimas dibelakang sana, memerintahkan Bobi untuk tidak belok ke kiri menuju rumah.

Hana tidak ingin banyak merespon, tenaganya habis ia pakai melawan rasa nyerinya beberapa waktu lalu, dipejamkan matanya sebentar, sebelum mobil benar-benar berhenti di parkiran rumah sakit.

Dimas turun lebih dulu, membuka pintu depan agar Hana segera keluar.

"Turun."

"Gausah peduliin aku." Gumamnya menarik kembali pintu mobil untuk ia tutup namun ditahan Dimas.

Hana membuka mata, menarik dirinya keluar dari mobil, berhadapan dengan Dimas.

Hana tertawa pelan mengusap wajahnya, "kamu sejak kapan peduli gini sama aku." Ujarnya.

"Memang kenapa kalau aku sakit? Kamu mau donorin rahim Kinan ke aku? Jangan buang-buang waktu aku capek, ayok pulang." Ujarnya bersiap kembali membuka pintu mobil.

"Kamu kayak gini karna kamu selalu ngegampangin semuanya."

"Yaudah biarin aja! Bukan urusan kamu." Hana memandang suaminya itu, "ga perlu kamu peduli sama perempuan yang kepalanya isinya cuma uang aja. Perempuan ga normal kayak aku, yang ga bisa apa-apa, yang kerjanya cuma minta uang aja, yang kata kamu ga bisa hamil kayak Kinan ga pantes dipeduliin."

"Hana, Kinan ga ada hubungannya sama sakit kamu."

"Bisa tidak mas, diposisi ini kamu berhenti belain Kinan. Bisa tidak sehari aja kamu baca situasi lewat sudut pandang aku. Kinan emang ngerti rasanya nikah tapi ga pernah dianggap ada? Kinan emang ngerti gimana rasaya tiba-tiba di vonis gangguan rahim? Emang Kinan ngerti mas gimana rasanya dibuang ke negara orang, hidup pura-pura bahagia? Kinan bahkan ga bakal ngerti gimana rasanya udah berjuang mati-matian biar bisa sembuh tapi tiba-tiba divonis kanker." Hana membuang muka, dihapusnya kasar air matanya, "Enggakan? Ga ada yang bakal ngerti rasanya, bahkan kamu sekalipun."

Dimas tak lagi bisa berucap sepatah katapun. "Jadi, berhenti banding-bandingin aku sama Kinan."

"Kanker?" Hana mengusap air matanya lagi, memandang raut wajah Dimas, menarik ingus sebentar.

Kanker? Aku tadi emang ada ngomong kanker?

Hana berusaha mengingat ucapannya yang terlewat emosi tadi. "Iya, kanker. Puas? Senengkan kamu denger aku sedikit lagi mati." Ujarnya menarik ingus.

Sebenarnya Hana tidak ingat juga apakah ia ada menyelipkan kata kanker saat emosi tadi, tapi kalau dipikir-pikir sekalian saja ia vonis dirinya di depan Dimas sudah terkena kanker, toh siapa tau Dimas ada keajaiban berhenti membandingkanya dengan si kampung Kinanti yang tentu tidak selevel dengannya.

Hana menyentuh sudut matanya yang basah, mengapus jejak air mata yang berhasil merusak kecantikannya.

"Hana..." Hana menoleh ke arah kanan.

"Mama?"

🥂🥂🥂
 

Hana memang dilahirkan tidak untuk bahagia, siang tadi saat sedang bersemangat mendukung pangerannya melawan suaminya, penyakit Hana malah tiba-tiba kambuh, sejam lalu, saat wajahnya masih berantakan usai mengeluarkan emosinya pada Dimas, Sang mama malah muncul. 

Dan disinilah dia, duduk di dalam kamar rawat mamanya yang sudah seperti hotel berbintang. Walau Hana hari-harinya hanya berkeliaran menguras uang Dimas, bukan berarti dia wanita mata duitan yang berusaha naik kelas sosial. Bahkan dari dalam kandungan, Hana sudah diberi asupan bermutu yang tidak janin-janin lain dapatkan.  

Sang Mama, Iryawati, tidak jauh dari para wanita lanjut usia lainnya, begitu sang papa meninggal usai berhasil menikahkan Hana, kesehatan mamanya pun juga turut menurun. Sebenarnya mamanya ini masih sehat-sehat saja, ia bahkan tidak berbaring seharian dengan selang infus di tangan, penyakitnyapun hanya penyakit cepat lelah sama seperti para orang tua lainnya, hanya saja perempuan paruh baya itu terlalu enggan meninggalkan rumah sakit yang sudah seperti rumah keduanya. Ia lebih senang menghabiskan waktu dengan para ibu-ibu lain dibanding seharian di dalam rumah besar.  

"Seneng banget liat kalian berdua kayak gini." Hana melirik Dimas yang tersenyum ramah di depan mamanya. Dasar iblis! Di depan Hana bersikap kurang ajar, di depan mamanya bersikap seperti anak baik-baik.  

"Hana?" Hana menoleh pada sang mama yang ternyata menyadari lirikannya pada suaminya sendiri.  

Hana tertawa kikuk lalu menyeruput teh hangat yang dibuatkan oleh pelayan khusus yang dipekerjakan sang mama di rumah sakit. "Kamu lagi flu nak? Kok sembab gitu mukanya?" 

Hana terdiam, separah itukah mukanya? "Iy-ya mah humhum...," jawabnya sembari mengaruk kecil hidungnya.  

"Ohh..makanya ke rumah sakit ya? Mama kirain ada apa sampai ke rumah sakit segala."  

Iya ma, anakmu ini lagi sekarat mah. 

Hana menyeruput teh hangatnya lagi, jika dipikir-pikir enak juga rasanya habis menangis disuguhkan teh hangat. 

"Mama kamu gimana kabarnya Dimas?" 

"Mama sehat-sehat aja, iyakan say--yang?"  

"Hm? Oh si Ayumi." Dimas memelototinya segera menyadarkan ucapan ceplas-ceplos Hana, "eh? Mama, iya mama baik-baik aja kok, sehat, sehat banget malah." Ralatnya kembali tersenyum. 

Sang mama mengangguk, bahagia mendengar keluarga putrinya baik-baik saja. 

"Mama, yang ngisi rumah sekarang siapa?" Tanyanya mengingat sepeninggal dirinya, sang papa meninggal, dan sang mama menetap dirawat di rumah sakit. Hana tidak memiliki saudara kandung lain untuk mengisi rumah besar itu. 

"Nggak ada, tapi masih dibersihin sama pekerja di sana." 

Hana mengangguk-angguk. Sejam lebih ia habiskan menemani sang mama bercerita, begitupun Dimas yang pandai sekali berakting menjadi suami teladan di depan mertuanya. 

🥂🥂🥂
  

Satu bulan berlalu, Hana masih juga belum kembali ke Jepang. Sebenarnya tidak ada alasan mengapa ia harus tinggal lebih lama lagi di Indo. Andai saja Tama tidak menakut-nakutinya akan kanker dan mengharuskannya untuk kembali terapi rutin dibawah pengawasannya, Hana sudah lama meninggalkan tempat ini. Hanya tidak baik dengan kondisi penyakitan parah Hana kembali ke Jepang sendirian, terlebih kali ini nyerinya tidak lagi bisa ia tahan seperti tahun-tahun sebelumnya. Hana akan menunggu sampai terapinya benar-benar selesai dan akan betul-betul kembali ke Jepang.  

Sedangkan, Kinanti, usia kandungan wanita itu sudah menginjak satu bulan sepuluh hari. Ayumi yang sangat antusias menyambut sang cucu, sekarang sangat protektif terhadap Kinanti, ia bahkan memilihkan makanan-makanan baik untuk dikonsumsi Kinan, dan yang lebih utama menjauhkan Kinan minimal lima meter dari Hana yang katanya kapan saja bisa mencelakakan dirinya. Tidak dipungkiri, mertuanya yang satu itu memang tidak akan pernah akur dengannya. 

Hana juga sadar diri, ia tidak mau repot-repot melibatkan diri dimasa-masa kehamilan Kinan. Toh yang penting perempuan itu sudah tau bahwasanya, seberapa banyakpun anak yang Kinan lahirkan, yang hanya akan diakui sebagai istri Dimas hanyalah Hana. Bukan salah takdir, tapi salah Kinan yang berlaku ceroboh memilih pasangan hidup tanpa melihat status. Kinan pikir, dengan menikahi Dimas seorang pria dari kalangan atas mampu membuat status sosialnya turut naik. Oh tidak semudah itu. 

Hana sekalipun yang dari bebuyutnya sudah kaya raya masih sangat bersusah payah mempertahankan agar kastanya tidak tertandingi, apalagi Kinan yang ingin naik status hanya bermodalkan merebut suami orang. Jangan berharap ia akan diterima. 

"Oh ya? Mas Yuda beneren suka? Berarti gak sia-sia dong Hana ikut kelas masak kemaren." Hana tersenyum lebar dibalik telpon mendengar bahwa Yuda benar-benar menyukai masakan kirimannya. 

"...."  

"Tapi beneren dihabisinkan mas?" Tanya Hana memainkan jari telunjuknya di atas meja dapur sembari menunggu coklat panasnya selesai menetes dari mesin mini di depannya.  

"..."

Hana tersenyum malu mendengar pujian yang dilontarkan Yuda atas masakannya, lalu menoleh kala gelasnya dipindahkan diganti dengan gelas lain oleh Dimas.  

"Mas udah dulu ya Mas, nanti Hana telpon lagi." ucapnya menyudahi percakapan karena kahadiran Dimas.  

Hana menyinisi pria itu, lalu berbalik menuju kulkas, mengambil es batu untuk mendinginkan sedikit coklat panasnya. 

"Minggu depan aku bakal bikin acara keluarga sekaligus umumin soal kandungan Kinan."

Hana melirik Dimas, menoleh kanan kiri, memastikan pria itu sedang berbicara padanya.

"Terus? Hubungannya sama aku?" Hana menyeruput coklat dinginnya, memandanng Dimas yang diam saja di depan mesin pembuat kopi. "Oh si Kinan udah siap mental dihujat, ga takut keguguran denger omongan orang-orang." ujarnya memandang kuku-kuku tangannya yang baru kemarin ia ganti warnanya.

Hana jadi teringat sesuatu, buru-buru ditinggalkannya coklat dingin yang baru beberapa kali ia seruput, segera memanggil Fira untuk menyiapkan pakaiannya.

Hari ini, jadwal terapi pertamanya.

🥂🥂🥂
 

Terimakasih sudah membaca ❤️

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 9 : Kinan
1
0
Kepulangan Hana ke Indonesia adalah untuk menyaksikan suaminya menikah lagi.Kenalin, ini Kinanti, madu kamu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan