
Darren, siswa SMP dengan passion besar di dance, menghadapi penolakan dari kepala sekolah dan orang tua untuk ikut lomba Pump it Up. Meski kecewa, Darren tetap nekat mengambil risiko besar demi mengejar impiannya. Akankah tekadnya cukup untuk melawan semua rintangan?
Saat ini, telah muncul seri terbaru Pump it Up bernama NX Absolute. Setiap kali seri baru dirilis, banyak orang, termasuk Darren, akan mulai mencari tahu kapan seri tersebut akan masuk ke Indonesia. Darren rutin memantau grup Facebook Pump it Up Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini seputar game tersebut.
Bagi Darren, seorang pumper freestyle, mengetahui daftar lagu di seri terbaru serta lagu-lagu yang dihapus sangatlah penting. Ia berharap mesin Pump it Up di tempat langganannya segera diperbarui dengan seri NX Absolute.
Seperti akhir pekan biasanya, Darren mengunjungi game center untuk menjalani latihan rutinnya setelah latihan breakdance bersama teman-temannya. Kali ini, ia menghampiri salah satu staf yang sedang berkeliling di area tersebut.
“Mas, sudah tahu belum kalau Pump it Up ada seri terbaru setelah yang ini?” tanya Darren.
“Wah, saya kurang tahu, Mas. Bukannya ini sudah yang paling baru, ya?” jawab staf tersebut, tampak bingung. Darren merasa mungkin ia bertanya pada orang yang kurang tepat.
“Kalau boleh, mungkin bisa coba ditanyakan ke atasan Mas soal seri baru ini. Siapa tahu mereka punya informasi, termasuk kapan seri barunya akan datang ke sini,” saran Darren.
“Baik, nanti kami akan tanyakan ke atasan kami,” jawab staf itu sopan.
Darren tahu bahwa hal itu akan memakan waktu lama. Selama ini, game center tempat ia biasa bermain memperbarui seri mesin Pump it Up paling cepat setahun setelah seri baru diluncurkan di Indonesia. Ia menghela napas pelan sambil memandang mesin di depannya, yang terasa semakin usang dibandingkan seri-seri terbaru.
“Hai, Darren.”
Gita tiba-tiba muncul dari belakang, menepuk bahu Darren dengan ringan. Suaranya ceria, seperti biasa.
“Hai, Git,” jawab Darren, menoleh dan tersenyum kecil.
“Ngobrol apa tadi sama staf?” tanya Gita sambil melirik ke arah staf yang baru saja berlalu.
Darren menyandarkan punggungnya ke dinding di dekat mesin. “Iseng aja, nanya kapan seri Phoenix masuk ke sini.”
Gita menaikkan alisnya, lalu tertawa kecil. “Hmm… tempat main kita ini responnya lambat banget.” Dia menyilangkan tangan di dada sambil berpikir. “Masih ingat kasus waktu anak-anak protes? Siapa namanya, ya?”
“Mabel,” jawab Darren sambil memutar matanya, seolah sudah mendengar nama itu terlalu sering.
“Ya! Itu aja sampai sekarang, meskipun kita udah kasih solusi, tetap gak ada respon. Ditolak enggak, disetujui juga enggak,” kata Gita, menggelengkan kepala dengan kesal.
Darren mendesah, lalu menatap Gita. “Memang susah sih kalau prosesnya berlapis-lapis. Kita ngomong sama staf di level paling bawah, mereka harus sampaikan ke atasan lapis pertama. Kita juga gak tahu ada berapa lapis atasan di atas mereka. Bisa aja pendapat kita diubah, atau malah berhenti di tengah jalan karena dianggap gak menguntungkan.”
Gita mengerutkan keningnya. “Gak menguntungkan?”
“Iya,” jawab Darren, mencondongkan badannya sedikit. “Beli hardisk itu gak murah. Kamu tahu sendiri.”
Gita mendengarkan dengan serius sambil mengangguk pelan. Ia menatap mesin di depannya dengan ekspresi berpikir. “Lagi pula, game center kita ini kan punya banyak cabang. Harusnya dari pusat…”
“Kalau pusat mau beli,” potong Darren, mengangkat bahu, “ada baiknya survei dulu komunitas mana yang besar. Jadi, kalau beli, gak akan sia-sia.”
Gita menatap Darren dengan ragu. “Memang mereka sampai memperhatikan hal-hal kayak gitu?”
Darren mendengus, setengah tertawa. “Entahlah… stafnya aja gak tahu kalau main ini bisa freestyle.” Ia menoleh ke arah Gita, matanya berbinar dengan sedikit kesal. “Masih inget gak waktu aku minta tolong ke staf buat jaga area sekitar mesin karena aku mau latihan backflip di sini? Malah dimarahin balik.”
Gita menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan tawa. “Iya ya, beda banget sama yang di Bekasi. Dulu ada legend yang jago freestyle di sana, dan dia staf game center juga. Jadi enak banget.” Wajahnya berubah penuh nostalgia. “Posisi mesin aja dia yang atur, karena dia tahu main freestyle di Pump it Up itu butuh ruang. Gak ada tuh, game center lain yang pakai pagar pengaman, kecuali di cabang Happy Fun Bekasi.”
Darren tertawa kecil. “Ya, memang mereka beda kelas. Kalau tempat kita, rasanya cuma fokus sama pemain biasa, gak pernah mikirin komunitas atau freestyle player kayak kita.” Ia menghela napas lagi, menatap mesin Pump it Up di depannya dengan pandangan kosong.
Gita menepuk bahunya sekali lagi, kali ini lebih kuat, mencoba menyemangatinya. “Sabar, Dar. Mungkin nanti, siapa tahu? Tapi, ya… jangan terlalu berharap banyak dari tempat ini.”
Darren tersenyum kecil, meski matanya masih menyiratkan kelelahan. “Iya, aku tahu… Kita cuma bisa nunggu dan lihat nanti.”
Pembicaraan panjang antara Darren dan Gita membuat mereka tidak sadar bahwa ada orang lain yang ingin bermain di mesin Pump it Up. Saat melihat pemain lain berdiri menunggu di belakang mereka, Darren dengan cepat melangkah mundur sambil mengangkat tangan.
“Silakan duluan, Mas,” katanya dengan senyuman kecil, sementara Gita juga memberi jalan dengan sedikit rasa bersalah.
Setelah itu, mereka melanjutkan obrolan di tempat duduk dekat mesin, membahas berbagai hal lain seputar game center.
Beberapa hari kemudian Darren mendapatkan kabar dari grup Facebook Pump it Up Indonesia bahwa mesin seri terbaru akan datang ke Surabaya. Dengan antusias, ia langsung membagikan informasi tersebut kepada Gita dan Nita melalui Facebook Messenger. Tak disangka, mereka sudah tahu lebih dulu dari sumber yang sama.
Gita mengirim pesan lewat Messenger kepada Darren.
“Bulan depan, hari Sabtu di minggu pertama, aku bisa datang pagi. Tapi event-nya di Surabaya ya? Rencananya aku mungkin berangkat hari Jumat. Pengen ikut lombanya juga nih. Kamu Sabtu libur sekolah, kan?”
Darren mengetik dengan cepat.
“Di sekolahku, Sabtu masuk sampai jam 1. Kamu libur ya? Enak banget.”
“Iya, aku libur,” balas Gita.
Darren mendesah sambil menatap layar ponselnya. Baginya, menghadiri launching seri baru di kota sejauh Surabaya bukanlah perkara mudah. Selain harus bolos sekolah, ia juga harus mendapat izin dari orang tuanya—yang jelas bukan hal yang sederhana. Namun, ia yakin bahwa jika tidak mencoba, ia tak akan pernah tahu.
Sore itu, Darren memutuskan untuk membicarakan rencananya dengan orang tuanya. Setelah makan malam, ia memberanikan diri.
“Pak, Bu, di Surabaya ada launching mesin Pump baru. Aku mau datang, ya. Kalian mau nemenin gak? Hari Sabtu di minggu pertama.”
Jawaban ibunya sudah bisa ia tebak.
“Hari Sabtu kan kamu sekolah. Gak bisa dong kamu ikut.”
Darren menghela napas, mencoba tetap tenang. Ia tahu ini akan sulit, tetapi ia tak ingin menyerah begitu saja.
“Kali ini aja, Bu. Soalnya ini acara launching, dan itu sekali seumur hidup.”
Seperti dugaan Darren, ibunya menjawab dengan nada tegas.
“Lagian ini kan cuma launching mesin pertama kali. Toh, kamu juga bisa main nanti-nanti kalau sudah ada di mall.”
Darren mencoba pendekatan lain.
“Di sana nanti juga ada lombanya, Bu. Aku mau ikut lomba. Pengen ngerasain momennya.”
Namun, ibunya tetap kukuh.
“Udah, kamu fokus sama sekolah dulu aja.”
Darren terdiam sejenak, memikirkan strategi lain. Apa yang dikatakan ibunya memang ada benarnya, tetapi ia juga yakin bahwa keinginannya ikut lomba adalah sesuatu yang positif. Ia lalu bertanya dengan hati-hati.
“Tapi sebenarnya, kalian mengizinkan gak kalau seandainya aku libur?”
Ibunya terlihat ragu sejenak sebelum menjawab.
“Kalau libur, mungkin kami mau anterin kamu ke lomba.”
Ayahnya yang sedari tadi diam, akhirnya buka suara dengan nada ketus.
“Lagipula, ngapain juga dance-dance segala. Itu cuma buat cewek. Kamu cowok, main begituan. Ayah sih gak akan dukung. Terserah kamu, nanti juga kamu bakal sadar sendiri.”
Darren menggertakkan giginya, berusaha menahan diri. Pemikiran sempit ayahnya soal dance selalu menjadi penghalang terbesar dalam perjalanan Darren. Ia tahu ayahnya tidak pernah memberi reaksi positif terhadap hobinya, tetapi itu tidak membuatnya menyerah.
“Bagaimana kalau aku minta izin dari sekolah, Pak? Jadi aku legal gak masuk sekolah, dan aku bisa ikut lomba,” kata Darren, mencoba mencari celah lain.
Namun, respons ayahnya semakin keras.
“Gak usah bikin aneh-aneh lah.”
Darren mulai merasa frustrasi, tetapi ia tetap mencoba menenangkan dirinya. Ibunya, meskipun lebih pengertian, juga terlihat lelah dengan pembicaraan itu.
“Kalau kamu dapat izin dari sekolah, Ibu masih mau anterin kamu,” ujar ibunya akhirnya, sebelum beranjak dari kursinya dan masuk ke kamar.
Darren menatap punggung ibunya dengan campuran harapan dan kekecewaan. Ia menyadari bahwa kedua orang tuanya tidak kompak dalam mendukung keinginannya. Namun, ia tidak ingin berhenti di sini.
“Oke,” gumamnya pada dirinya sendiri, matanya bersinar penuh tekad. “Aku pastikan bisa dapat izin dari sekolah, sebisa mungkin.”
Ia tahu perjuangan belum selesai, tetapi ini adalah langkah pertama yang harus ia ambil untuk mewujudkan mimpinya.
Malam sebelum hari sekolah berikutnya Darren duduk di meja belajarnya dengan serius, menulis surat izin untuk mengikuti lomba di hari Sabtu mendatang. Surat itu ia tulis dengan hati-hati, mencoba menjelaskan alasannya sebaik mungkin. Setelah selesai, ia membawa surat itu ke ruang keluarga untuk meminta tanda tangan ibunya.
“Kamu gak perlu maksain sampai kayak gini,” ucap ibunya dengan nada pelan, sambil memegang surat yang diberikan Darren.
Darren menatap ibunya dengan tekad yang kuat. “Aku cuma mengusahakan yang terbaik di bidang yang aku suka.”
Ibunya menghela napas. “Kamu tahu, kan, ayah gak suka kamu kayak gini?”
Darren menundukkan sedikit wajahnya, lalu menjawab dengan nada tegas, “Dance itu hal positif, Bu. Bukan narkoba atau sesuatu yang buruk. Harusnya ini gak dianggap kegiatan negatif.”
Ibunya terdiam sejenak, tak ingin memperpanjang pembicaraan. Setelah menandatangani surat tersebut, ia menyerahkannya kembali kepada Darren sambil berkata, “Sudah, sekarang kamu tidur. Besok kan sekolah.”
Darren mengangguk, menerima surat itu dengan hati-hati. “Makasih, Bu,” ucapnya pelan sebelum masuk ke kamarnya untuk mempersiapkan hari berikutnya.
Keesokan harinya Darren tiba di sekolah pagi itu dengan perasaan campur aduk. Surat izin yang sudah ditandatangani ibunya ia simpan di dalam tas, sementara pikirannya terus memikirkan apa yang akan terjadi saat ia menyerahkannya ke kepala sekolah. Biasanya, ia langsung menuju kelas, tetapi kali ini ia berjalan menuju ruang kepala sekolah lebih dulu.
Setibanya di depan ruang kepala sekolah, ia menghela napas dalam-dalam dan mengetuk pintu dengan hati-hati.
“Permisi, Bu,” ucap Darren, suaranya sedikit gemetar.
“Iya, Darren, ada apa?” Kepala sekolah keluar dari ruangannya, berjalan ke meja kerja yang berada di teras ruangan. Ia menatap Darren dengan penasaran.
“Ini, Bu. Saya mau meminta izin untuk mengikuti perlombaan di hari Sabtu,” kata Darren, menyerahkan suratnya dengan hati-hati.
Kepala sekolah mengambil surat itu, membuka amplopnya, dan mulai membacanya perlahan. Setelah selesai, ia menatap Darren dengan alis yang sedikit terangkat.
“Sejak kapan kamu suka dance?” tanyanya.
“Baru, Bu. Ini lomba pertama saya,” jawab Darren dengan suara penuh harapan. Ia benar-benar berharap kepala sekolah memberikan izin untuk ini.
Kepala sekolah menatap Darren dengan ragu. “Kamu yakin ini kesempatan yang bagus? Kalau tidak, lebih baik gak usah ikut.” Nada suaranya terdengar skeptis, seperti orang tua atau guru lain yang selama ini Darren temui.
“Kesempatan ini sangat bagus, Bu,” jawab Darren dengan penuh semangat. “Karena di sini saya bisa melihat launching produk baru dari mesin dance…”
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, kepala sekolah memotong dengan nada tajam. “Apa? Mesin… dance? Kamu lomba dance atau game?”
“Ini dance, Bu… tapi di atas mesin,” jelas Darren, berusaha tetap tenang meski tahu penjelasannya akan sulit diterima.
Kepala sekolah mengerutkan kening, tampak bingung. “Dance di atas mesin? Kok kamu gak jelas. Udah, saya tidak bisa kasih kamu izin untuk lomba.”
Darren terdiam, terkejut dengan keputusan yang langsung keluar dari mulut kepala sekolah. Ia mencoba bicara lagi. “Tapi… Bu—”
“Pokoknya saya tidak bisa kasih izin kamu untuk lomba permainan seperti itu,” potong kepala sekolah dengan nada tegas.
Darren menundukkan kepalanya, merasa seluruh perjuangannya sia-sia. Ia ingin membantah, ingin menjelaskan lebih jauh, tetapi ia tahu bahwa kepala sekolah tidak benar-benar memahami apa yang ia maksud. Mengajukan diskusi lebih lanjut hanya akan menimbulkan keributan yang tidak perlu.
“Baik, Bu,” ucap Darren pelan, suaranya hampir berbisik. Ia berbalik dan berjalan pergi dari ruangan dengan langkah yang berat, membawa rasa kecewa yang tak bisa ia ungkapkan.
Saat ia berjalan menuju kelas, Darren mengepalkan tangannya di dalam saku. Tekadnya semakin kuat meski ia tahu rintangannya belum berakhir. “Kalau mereka gak mendukung, aku akan cari cara lain,” gumamnya dalam hati. Ia menatap ke depan, mencoba fokus pada langkah berikutnya untuk mewujudkan mimpinya.
Darren kembali ke kelas dengan langkah pelan, pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia harus menemukan cara agar tetap bisa mengikuti lomba di Surabaya. Setelah sampai di tempat duduknya, ia melepaskan tas dari punggungnya dan duduk dengan lesu. Pandangannya kosong menatap meja, tapi di dalam hatinya, ia berusaha mencari jalan keluar.
Sepanjang pelajaran berlangsung, Darren tidak sepenuhnya fokus. Ketika guru menerangkan di depan kelas, ia membuka buku catatannya, namun yang ia tulis bukan pelajaran, melainkan pola stepchart untuk lagu-lagu favoritnya di Pump it Up. Setiap garis dan panah ia buat dengan rapi, seolah sedang menyusun koreografi di pikirannya.
Saat jam istirahat tiba, Darren tidak bergabung dengan teman-temannya. Ia mengambil langkah menjauh, mencari tempat sepi di sudut sekolah. Sebuah area kosong di belakang aula menjadi pilihannya. Di sana, ia mulai bergerak, mencoba menghafalkan stepchart yang sudah ia catat sebelumnya. Kakinya mengikuti ritme imajinernya, dan gerakannya semakin percaya diri.
Namun, di tengah-tengah latihan itu, sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di pikirannya, menghentikan gerakannya sejenak.
“Lombanya pakai mesin jenis apa, ya?” tanyanya dalam hati. Wajahnya berubah sedikit tegang.
Ia menyadari bahwa jenis mesin Pump it Up sangat memengaruhi lagu-lagu yang tersedia. Jika mesin yang digunakan tidak sesuai dengan ekspektasinya, bisa saja lagu favoritnya tidak ada. Ini membuat Darren sedikit cemas.
Sepulang sekolah, Darren langsung pulang ke rumah, menaruh tasnya di meja, dan membuka ponsel. Ia buru-buru memeriksa informasi lebih rinci tentang lomba di event launching NX Absolute. Jari-jarinya cepat menggulir layar, mencari spesifikasi mesin yang akan digunakan.
“NX 2…” gumamnya, membaca informasi tersebut. Wajahnya langsung berubah lega. Lagu favoritnya, Don’t Bother Me, masih ada di seri NX 2. Darren tersenyum tipis. “Untunglah, berarti aku gak perlu khawatir soal lagu.”
Rasa cemasnya perlahan hilang, digantikan oleh semangat baru. Darren memutuskan untuk terus melatih koreografinya dengan lebih serius. Baginya, rintangan seperti izin sekolah dan dukungan orang tua hanyalah hambatan kecil dibandingkan mimpinya untuk tampil di lomba dan menunjukkan kemampuannya. Ia percaya bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
Dengan langkah optimis, Darren menutup ponselnya dan mengambil catatan koreografi yang tadi ia buat. Latihan harus terus berlanjut, karena baginya, kesuksesan dimulai dari persiapan yang matang.
Saat jam pulang sekolah, Darren duduk sendirian di salah satu sudut aula sekolah, memikirkan bagaimana caranya bisa mengikuti lomba di Surabaya. Darren mengajak Gita bertemu lagi di mall tempat biasa bermain untuk sekedar ngobrol saja, tanpa main.
“Gimana, Darren? Kamu jadi ikut lomba hari Sabtu nanti?” tanya Gita dengan penuh kekhawatiran
Darren menghela napas berat sebelum menjawab. “Aku gak disetujui sama kepala sekolah buat ikut lomba. Kalau sekolah gak kasih izin, orangtuaku juga gak bakal mengizinkan.”
Gita menatap Darren dengan raut prihatin. “Hmm… sulit ya. Mau aku coba bantu ngomong ke orangtua kamu?” tawarnya dengan tulus.
Darren tersenyum tipis, tapi raut wajahnya masih murung. “Kamu sendiri gimana? Udah izin sama orangtuamu?”
“Udah sih,” jawab Gita sambil mengangguk. “Cuman, kalau aku gak menang, orangtuaku bilang aku gak boleh ikut lomba lagi.”
Darren mendesah lagi, kali ini lebih dalam. “Kenapa ya, orangtua malah sering gak mendukung hobi anak-anaknya? Padahal ini kan sesuatu yang positif…” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Meskipun kecewa, Darren mulai memikirkan alternatif lain. Ia menatap Gita dengan ekspresi serius. “Mungkin… kalau sekolah dan orangtuaku gak kasih izin, aku bakal bolos aja.”
Gita menatapnya terkejut. “Kamu yakin?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran.
Darren mengangguk perlahan, tekadnya sudah bulat. “Aku harus yakin. Aku harus datang ke acara itu. Soal hukuman nanti dari sekolah atau orangtua, aku udah siap terima konsekuensinya.”
Gita terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Atau… gimana kalau kamu coba yakinkan lagi kepala sekolah atau orangtuamu? Jelaskan kalau lomba ini bukan lomba yang gak berbobot. Ini juga bisa jadi prestasi yang bagus.”
Darren tersenyum tipis, tapi matanya menunjukkan kelelahan. “Orangtuaku, terutama ayah, gak pernah mendukung aku untuk dance. Kepala sekolah tadi aja langsung nolak pas denger aku bilang dance di mesin. Kayaknya orang-orang seumuran mereka gak ngerti konsep dance di mesin, soalnya ini kan baru masuk ke Indonesia tahun 2000-an.”
“Ya, aku ngerti sih,” balas Gita, mengangguk setuju. “Mereka perlu diedukasi. Tapi kepala sekolah mana yang mau diedukasi sama anak kecil kayak kita?” Ia mengangkat bahunya, menunjukkan bahwa ia memahami frustrasi Darren.
Darren tertawa kecil, meski nadanya sarkastik. “Benar juga. Tapi aku coba lagi besok, ya. Hari Selasa sekarang masih ada beberapa hari lagi.”
“Oh iya, infonya udah lama banget kan ya?” tanya Darren sambil mengingat-ingat.
“Kalau dari postingannya sih udah 6 bulan yang lalu,” jawab Gita sambil membuka ponselnya untuk memastikan. “Tapi aku baru tahu soal akun komunitas Indonesia ini belakangan.”
Darren mengangguk pelan. “Ternyata kita baru tahu belakangan, ya. Aku juga baru lihat pas kebetulan masuk timeline.”
Percakapan mereka diakhiri dengan keheningan sejenak. Masing-masing dari mereka merenungkan betapa sulitnya mengejar sesuatu yang mereka sukai, terutama ketika harus menghadapi orang-orang yang tidak memahami atau mendukungnya. Namun, Darren tetap bertekad untuk mencari cara agar mimpinya tidak berhenti di sini.
Malam sebelum tidur Darren duduk di lantai kamarnya, masih sibuk memutar ulang video stepchart lagu Don’t Bother Me di laptopnya. Tangannya bergerak mengikuti pola panah di layar, mencoba menyempurnakan setiap detail koreografinya. Meski belum pasti bisa mengikuti lomba, Darren tetap melatih dirinya seolah-olah ia akan tampil.
Pintu kamarnya perlahan terbuka, dan ibunya masuk dengan langkah pelan.
“Kamu belum tidur, Nak?” tanyanya lembut, melihat laptop Darren masih menyala.
Darren menghentikan gerakannya dan duduk di atas kasur, menatap ibunya yang berdiri di pintu. “Belum terlalu ngantuk, Bu,” jawabnya singkat.
Ibunya mengamati putranya dengan tatapan prihatin. Dia tahu Darren baru saja melatih koreografinya, terlihat dari posisi laptop dan ruangan yang sedikit berantakan.
“Kamu udah dapat kabar dari sekolah?” tanyanya sambil mendekat.
Darren menghela napas panjang, nadanya rendah dan penuh kekecewaan. “Ditolak, Bu. Karena lombanya dianggap cuma game, bukan lomba-lomba pelajaran. Kuno banget kepala sekolahku.” Ia menundukkan kepala, merasa usahanya sia-sia. “Dan sesuai janji Ibu, kalau gak dapat izin dari sekolah, berarti aku gak bisa ikut lomba…”
Ibunya duduk di tepi kasur, menatap Darren yang terlihat kehilangan semangat. Ia tahu betapa besar tekad putranya untuk dance, tetapi situasi memang tidak mudah.
“Ibu yakin nanti kamu bakal dapat kesempatan lagi seperti ini,” ucapnya, mencoba menghibur. “Jadi, kamu ikuti aja aturan sekolah.”
Darren mengangkat kepala, menatap ibunya dengan mata yang mulai memerah. “Yah, ternyata orangtuaku juga gak memihak aku. Ya udahlah, Bu. Aku berjuang sendiri aja,” katanya dengan nada getir.
Ia berdiri, berjalan ke arah saklar lampu, dan memadamkannya meski ibunya masih ada di kamar. Ia langsung merebahkan diri di kasur dan menarik selimut.
“Sudah jelas, Bu. Intinya aku harus berjuang sendiri. Udah ya, aku mau tidur,” ujarnya singkat, lalu memunggungi ibunya.
Ibunya terdiam, hatinya terasa berat melihat Darren yang begitu kecewa. Ia tahu putranya tidak menyerah, tetapi rasa sakit karena kurangnya dukungan sangat terlihat di wajahnya. Setelah beberapa saat, ia keluar dari kamar, meninggalkan Darren dalam gelap.
Pagi-pagi buta, jam 4 Darren terbangun dengan mata yang langsung terbuka lebar. Meski langit masih gelap, pikirannya terasa segar, penuh ide baru. Ia duduk di tempat tidur, menyalakan lampu kamarnya, lalu berjalan ke meja belajar.
Tanpa membuang waktu, ia membuka laptopnya dan mulai mencari artikel tentang manfaat bermain Pump it Up serta berbagai tutorial permainan. Setiap informasi penting ia catat dan simpan. Ia ingin membuktikan bahwa lomba Pump it Up bukan sekadar permainan biasa, melainkan sebuah aktivitas yang mengasah keterampilan fisik dan mental.
Setelah mengumpulkan cukup data, Darren mengambil semua file yang sudah ia simpan dan mencetaknya menggunakan printer di ruang kerja ayahnya. Ia berusaha bergerak sepelan mungkin agar tidak membangunkan orang tuanya.
Ketika hasil cetakan sudah terkumpul, ia menumpuknya dengan rapi dan menatapnya sejenak. Ada rasa lega di wajahnya, meskipun ia tahu bahwa perjuangan ini masih panjang.
“Ini untuk nanti,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.
Darren kembali ke kamarnya dengan tumpukan dokumen di tangan. Ia menatap laptopnya sekali lagi, mematikannya, lalu menyusun rencana di kepala. Data-data ini akan ia tunjukkan kepada kepala sekolah sebagai bukti bahwa Pump it Up adalah aktivitas olahraga yang positif, bukan sekadar permainan biasa.
Ia yakin bahwa usaha ini, meskipun kecil, adalah langkah penting untuk membuktikan bahwa ia pantas mendapatkan kesempatan mengikuti lomba. Dengan semangat yang membara, Darren kembali ke tempat tidur dan berbaring. Ia memejamkan mata, mempersiapkan dirinya untuk hari besar nanti.
30 menit sebelum pelajaran dimulai, Darren berjalan cepat menuju ruang kepala sekolah. Ia membawa map berisi dokumen yang telah ia siapkan semalam. Saat tiba di sana, ruangan masih kosong. Darren berdiri di depan pintu, menunggu dengan gelisah sambil sesekali melirik jam tangannya.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki dan gesekan benda berat terdengar di belakangnya. Ia menoleh dan melihat kepala sekolah datang sambil mengangkut tumpukan buku di kedua tangannya.
“Ada apa lagi, Darren?” tanya kepala sekolah dengan nada datar, sambil berjalan ke meja di teras ruangan.
“Begini, Bu…” Darren berhenti bicara, menunggu kepala sekolah menyelesaikan kesibukannya. Ia berdiri diam sementara kepala sekolah meletakkan buku-buku tersebut di atas meja, lalu duduk di kursinya dengan wajah yang tampak lelah.
Setelah kepala sekolah memberi isyarat dengan pandangannya, Darren melanjutkan, “Ini, saya ada data yang mau saya berikan untuk Ibu. Data ini saya buat untuk meyakinkan Ibu tentang perlombaan ini, supaya Ibu bisa memberikan izin kepada saya untuk mengikutinya. Saya sudah berlatih serius untuk perlombaan ini.”
Kepala sekolah memandang Darren dengan tatapan campuran antara kagum dan heran. Ia mengambil map yang Darren berikan dan membukanya. Lembar demi lembar terlihat rapi, penuh dengan informasi yang ditulis dan dicetak dengan hati-hati. Kepala sekolah membolak-balikkan dokumen tersebut, membaca sekilas beberapa poin.
“Kalau Ibu tidak ada waktu untuk membaca semuanya, saya bisa tunjukkan poin-poin pentingnya,” tambah Darren dengan penuh harap.
Namun, sebelum ia sempat menjelaskan lebih jauh, kepala sekolah langsung memotong dengan nada tegas. “Darren!”
Darren terkejut mendengar bentakan itu. Ia langsung terdiam, menatap kepala sekolah dengan ekspresi bingung.
“Kenapa kamu tetap bersikeras soal ini?” Kepala sekolah menatapnya tajam, seolah ingin mencari alasan yang lebih kuat di balik tekad Darren.
Darren terdiam sesaat, berusaha merangkai kata-kata yang tepat. Akhirnya, dengan suara rendah namun tegas, ia menjawab, “Karena ini passion saya, Bu. Setidaknya, saya ingin meminta izin agar secara legal saya tidak mengikuti pelajaran hari Sabtu.”
Kepala sekolah menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Darren dengan ekspresi datar. “Kalau saya tetap tidak berikan izin?”
Darren menghela napas dalam, merasa pertanyaan ini hanya pancingan. Dengan suara penuh ketegasan, ia menjawab, “Kalau begitu, silakan Ibu gunakan kekuasaan untuk menskors saya. Berapa hari skorsnya, terserah Ibu. Tapi tidak ada yang boleh menghalangi impian saya. Jadi saya mau pastikan sekali lagi. Apakah Ibu memberikan saya izin?”
Kepala sekolah menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada datar, “Kamu sudah tahu jawabannya.”
Darren tersenyum lelah, matanya penuh dengan keletihan dan sedikit rasa kecewa. “Kalau begitu, Bu, Ibu sudah tahu saya akan duduk di sini lagi hari Senin.”
Kepala sekolah hanya memandang Darren tanpa berkata apa-apa. Setelah beberapa saat, Darren menundukkan kepala sedikit sebagai tanda pamit, lalu melangkah keluar dari ruangan tanpa berkata lebih jauh.
Di luar ruangan, Darren berjalan kembali ke kelasnya dengan langkah pelan. Ia tahu keputusan kepala sekolah sudah final, dan ia tidak punya waktu untuk membuang energi lebih banyak di sana. Dalam hati, ia mulai merencanakan langkah selanjutnya: bolos pada hari Sabtu untuk pergi ke Surabaya.
“Aku tahu risikonya,” gumam Darren pelan, setengah berbicara kepada dirinya sendiri. Ia sudah siap dengan kemungkinan terburuk, termasuk skors. Meskipun begitu, ia tetap waspada terhadap apa pun tindakan yang mungkin diambil kepala sekolah nantinya.
Darren menggenggam erat mapnya, merasa bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk lomba, tetapi untuk menunjukkan bahwa passion-nya layak diperjuangkan, terlepas dari dukungan yang ia dapatkan.
( BERSAMBUNG )
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
