Chasing Memories : Extra Chapter - Wrapped in Pride (Jamie POV)

2
0
Deskripsi

Intip sudut pandang Jamie melihat dirinya dan hubungannya

post-image-684b0fb84d8d9.jpg

<<< Klik untuk membaca Extra Chapter 2

***

Jamie sebenarnya tidak begitu berselera untuk sarapan. Bahkan Pincho de Torttila—masakan yang Nora pelajari dari pengasuhnya dulu, yang juga menjadi kesukaan laki-laki itu tidak berhasil menarik minatnya untuk makan. Tapi karena dia tahu Nora sudah sengaja bangun pagi untuk membuatkannya, bagaimana Nora diam-diam bangun, mencoba melepaskan pelukannya tanpa membuat laki-laki itu bangun, mengikat rambutnya walau terlihat masih mengantuk, tentu Jamie tidak sampai hati untuk menolak. Nora sudah berusaha keras untuk menghibur Jamie sejak kemarin malam, karena insiden boneka Teddy brengsek yang ternyata seharga dua kali gaji bulanan Jamie di bengkel.

Jamie tidak bermaksud bertingkah seperti anak-anak dan menyulitkan Nora. Ia juga bukannya masih marah pada Jenny karena sikap tantrumnya di depan umum. Sungguh Jamie tidak pernah marah pada putrinya itu. Jamie hanya masih kecewa dengan kegagalannya sendiri. Bagaimana ia dengan percaya dirinya membawa Jenny ke toko mainan yang interiornya saja sudah berteriak mahal, seharusnya Jamie lebih peka dan tidak memberikan Jenny lebih banyak harapan palsu. Gadis kecil itu pasti sangat senang, makanya bisa sekecewa itu saat mainan yang sangat diinginkannya tidak jadi dibeli. 

Atau seharusnya Jamie punya lebih banyak uang agar ia bisa membelikan mainan yang Jenny mau seperti apa yang dijanjikannya pada diri sendiri dulu. Saat menggendong Jenny yang baru lahir untuk pertama kali, Jamie pernah berjanji akan mengusahakan semua kebahagiaan putrinya, bagaimanapun caranya. Sayangnya ia tidak berguna. 

"Sayang," suaranya lembut itu selalu berhasil menarik atensi semua panca indra Jamie. Laki-laki itu berhenti mengunyah, dan langsung menoleh ke satu-satunya orang yang berhasil membuatnya merasa seperti itu. Jenny, ditemani Nora, ternyata menghampiri ke meja makan. Nora biasanya selalu malu untuk memanggil Jamie dengan pet name selain namanya sendiri, apalagi di depan Jenny atau orang lain. Tapi sejak kemarin malam, panggilan sayang ini sudah beberapa kali muncul. Diucapkan malu-malu, dengan nada pelan, tapi terasa begitu jujur setiap Nora memanggil namanya. Dan Jamie sadar itu. 

"Ada yang ingin Jenny sampaikan." Nora melanjutkan. Jenny menengadah melihat Nora, yang dijawab perempuan itu dengan anggukan dan senyum lembut. 

"Ayah, I'm sorry," kata Jenny kembali menunduk. "Aku sudah nangis-nangis di toko, tidak seperti anak baik. Tidak mendengarkan Ayah. Aku bohong waktu bilang benci Ayah. Aku sayang, Ayah." Kalimat-demi kalimat diucapkan dengan nada yang semakin lama semakin kecil. Kepalan tangan mungil beberapa kali terangkat untuk mengusap pipinya sendiri.
Jamie memperhatikan anak perempuannya, sebelum melirik ke arah Nora yang mengangguk tersenyum kecil ke arah Jamie, sambil mengusap lembut pundak putri mereka.

Jeda beberapa detik kemudian, Jamie meletakkan garpu yang dia pegang dan menggunakan tangannya yang sudah tidak memegang alat makan itu untuk mengangkat dagu anaknya, membuat gadis kecil itu mau tidak mau menatap matanya. Keduanya punya mata yang sama, dan rambut yang sama. Jenny adalah duplikat Jamie versi perempuan, sampai gadis kecil itu tersenyum. Karena dia punya senyum Nora. Dan hati selembut hati ibunya juga.
Dengan ibu jarinya, Jamie mengusap pipi Jenny yang mulai basah sebelum membuka tangannya, mengundang gadis kecil itu untuk masuk ke pelukannya. Jenny tentu saja langsung memeluk ayahnya, menempelkan pipinya ke dada Jamie sembari ayahnya mengusap-usap punggung kecil itu.

“Maaf Ayah.”

“Sudah Ayah maafkan. Jangan menangis lagi ya. Lain kali akan Ayah belikan boneka yang kau mau itu.”

Di luar dugaan, Jenny menggeleng. “Aku sudah tidak mau boneka lagi. Aku kan masih punya yang lain, tidak apa-apa main dengan yang lama dulu.” Jawaban itu tanpa sadar membuat Jamie semakin sulit menelan dan menemukan kata-kata. Karena itu dia hanya diam dan mengangguk.

“Aku akan mengantar Jenny ke penitipan dulu. Kau pulang seperti biasa kan hari ini?” kali ini Nora bertanya. 

“Tidak, aku mungkin lembur. Tidak usah menungguku untuk makan malam.”

“Jamie?” panggilan itu penuh dengan rasa khawatir. Nora sepertinya menyadari sesuatu, yang berusaha mati-matian ditutupi oleh Jamie saat ini. Hal terakhir yang ingin dilakukan Jamie adalah membuat Nora merasa khawatir, tapi sungguh Jamie butuh waktu sendiri. 

Jamie mencoba tersenyum, “Aku baik-baik saja. Hari ini memang jadwal lemburku. Kalian pergi diluan saja, biar aku yang kunci apartemen.”

Nora menatap lekat-lekat ke wajah laki-laki itu, seperti mencari sesuatu. Dia tampaknya masih belum percaya kalau Jamie baik-baik saja, dilihat dari kerutan tipis di kening yang terpisah oleh kedua alisnya.

“Baiklah, tapi aku akan tetap menunggumu pulang. Jangan terlalu memaksakan diri ya. Jangan lupa makan siang.”
Jamie hanya mengangguk. Nora meminta putrinya untuk memakai sepatu di depan, sementara dia berjalan mendekati Jamie, ragu-ragu menangkup wajah laki-laki itu, membuatnya menengadah menatap Nora yang posisinya lebih tinggi karena sedang berdiri.

“Hmm?” karena Nora tidak mengatakan apa pun, Jamie bertanya pelan.

“Matamu bengkak.” Nora mengusap bagian bawah mata Jamie pelan.

“Mungkin karena kurang tidur.” Dusta Jamie, setengah hati. Terlalu lelah untuk mencari kebohongan yang lebih masuk akal. 

Don’t be too harsh on yourself, she loves you so much,” katanya. Kedua ibu jarinya mengusap pipi laki-laki itu lembut, seperti apa yang Jamie lakukan pada Jenny tadi, tapi bukan untuk menghapus air mata. Hanya demi memuaskan keinginan menyentuh orang yang dia sayangi, tapi jarang menyayangi dirinya sendiri.

Jamie memiringkan kepalanya sekilas, membiarkan Nora menahan kepalanya sambil tersenyum tipis. Sebelum akhirnya membiarkan perempuan itu pergi, “Pergilah. Jenny menunggumu.”

Nora menghela napas, tapi kemudian mengangguk. Ia pun berjalan ke pintu depan tepat di mana Jenny ternyata sudah berdiri siap, tapi tidak berani memanggil Ibunya seperti biasa. Dia sabar menunggu.

Begitu sendiri, Jamie langsung menyandarkan punggungnya ke belakang kursi. Dia benar-benar harus segera membenahi suasana hatinya.

***  

 

Hari itu terlewati dengan begitu cepat. Jamie bohong waktu bilang dia punya jadwal lembur hari ini. Karena sebenarnya tidak. Dia hanya ingin menjauh sebentar dari keluarganya, menata kembali perasaan gagal yang menggerogotinya. Karena itu, alih-alih langsung pulang ke rumah, Jamie memutuskan untuk menyalakan sebatang rokok yang sudah lama tidak pernah dia nyalakan lagi sejak Jenny lahir. Sambil duduk di balik meja bar dengan segelas whiskey di depannya.

Setengah jam kemudian, Charlie datang. Menepuk pundaknya dan duduk di sebelah Jamie. Mereka berdua biasa minum seperti ini dulu. Hanya sekedar bersantai, atau sehabis pulang dari pertandingan football wajib yang sudah seperti ritual mereka datangi setiap tahun.

Charlie dengan seragamnya, rambut yang disisir rapi, dan lencana polisi yang mengintip sedikit dari pinggangnya. Dia bahkan masih rapi di jam pulang seperti ini. Berbeda dengan Jamie yang sudah penuh keringat. Meskipun dia sudah berganti pakaian, jeansnya tetap kotor.

“Kenapa melihatiku seperti itu?”

Jamie yang mendadak ditanya begitu seketika tersadar. Dan hanya menggeleng. Mengangkat gelas dan menyesap minumannya.

“Cay tahu kau minum denganku?”

Charlie mengerucutkan bibirnya sebelum menggeleng. “Tidak. Memangnya kau mau dia tahu? Nora pasti tahu setelah itu. Dan tebakanku, kau tidak mau Nora tahu.”

Jamie tersenyum miring karena tebakan temannya benar-benar jitu. Tidak heran dia jadi detektif. “Bagaimana kau bisa menebaknya?”

“Pertama, karena kau mengajak minum di hari kerja. Kedua karena kau merokok sekarang ini. Aku sudah tidak pernah melihatmu menghisap benda itu lagi sejak lama. Kau ada masalah?” Charlie menepuk pundak Jamie, sebelum menyampirkan tangannya di pundak Jamie. Menunggu laki-laki itu menjawab.

Jamie terkekeh, menghela napas dramatis. “Tebakanmu ternyata tidak sedalam itu. Baru saja kupuji dalam hati tadi.”
Charlie mencibir. “Tidak perlu analisa terlalu dalam untuk menebakmu. Jadi ceritakan padaku.”

Charlie benar, dia memang selalu bisa menebak Jamie dengan mudah. Itu wajar karena mereka sudah berteman sejak lama. Dulu Charlie selalu bisa melihat kapan Jamie berbohong. Kemampuan ini sangat berguna waktu Jamie bilang dia bolos latihan sepak bola karena sakit, padahal aslinya habis pergi ke rumah kekasihnya yang banyak itu. Satu orang lagi, tentu saja Nora.

Jamie mengusap rambutnya yang keemasang dengan satu tangan yang tidak memegangi rokok yang masih menyala. “Aku hanya merasa seperti pecundang belakangan ini.”

“Kau bertengkar dengan Nora?”

“Tidak, kami baik-baik saja.”

Charlie tampak berpikir, dia kemudian melepaskan rangkulan tangannya di pundak Jamie dan mulai menyesap minumannya sendiri. “Kalau kalian tidak bertengkar berarti pikiran ini datang dari dalam dirimu. Memang seperti itu kalau kau terus membandingkan dirimu dengan orang lain. Dengar …” Charlie memutar kursinya sampai dia sepenuhnya menghadap Jamie, "You’ve done a good job all this time. Being a dad, a husband— I mean that’s not easy. Especially at our age, still so young. I’m not even sure I could’ve handled it. But you're doing great, man."

Keluargamu yang sekarang, they love you so much. I just know it. Kau sudah melakukan semua yang kau bisa. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain, tapi dengan dirimu sebelumnya. Kalau hidupmu membaik, artinya kau sudah ada di jalur yang tepat.” Charlie menepuk-nepuk pundak sahabatnya.

“Aku benci merasa tidak berdaya.”

“Kau sudah berusaha, Jamie. Kau hanya perlu bersabar. Terburu-buru juga hanya membuatmu masuk ke masalah baru.”
Jamie hanya diam. Tidak menjawab, tapi juga tidak membantah. Perkataan Charlie sedikit banyak mencoba meyakini ucapan teman dekatnya itu. Kalau dia sudah ada di jalur yang benar.  

“Dan kalau kau perlu bantuan, kau selalu punya keluargamu. Aku, bahkan Cay. Minta bantuan sesekali tidak akan membuatmu jadi makhluk lemah.” Adalah kalimat penutup Charlie untuk topik penting mereka malam itu. Karena selanjutnya Jamie memutuskan untuk mengubah topik ke hal yang lebih ringan. Benarkah dia sudah melakukan yang terbaik?

 

***



Ketika jam menunjukkan pukul 11.30 malam, baru lah Jamie memutuskan untuk kembali. Dengan perlahan membuka pintu apartemen mereka dengan kunci cadangan yang dia punya.

Jenny pasti sudah tidur, begitu juga dengan Nora. Hanya saja perempuan keras kepala itu memutuskan untuk tidur di sofa ruang tamu, menggunakan jubah tidur yang diikat rapat. Jamie bahkan sampai berhenti menggantung jaketnya hanya untuk melihat lebih jelas.

Dengan perlahan itu mendekat, mengusap pelan rambut cokelat Nora yang sedikit berantakan. 

“Nora…” Jamie mencoba memanggil nama istrinya itu. Tidak ada jawaban. Jari-jari tangannya mengusap lembut pipi wanita paling cantik dalam hidupnya saat ini. Heran juga kenapa Jamie baru menyadarinya setelah bertahun-tahun mereka jadi tetangga dulu. 

Diam-diam Jamie mendengus sendiri karena pertanyaanya itu. Jawabannya tentu saja karena Jamie yang dulu begitu tolol, terlalu dibutakan rasa cemburu. Cemburu pada kebaikan Nora, pada tujuan hidupnya yang jelas, di saat mereka sama-sama terjebak dalam keluarga yang berantakan. Jamie sempat menganggap Nora penuh sandiwara, tanpa tahu bagaimana perempuan itu sebenarnya. Dia sudah sangat jahat pada Nora, tapi wanita itu tetap mau menemaninya di saat-saat tergelap hidupnya. Saat bunuh diri selalu jadi pilihan di setiap malamnya. 

Sekarang seumur hidup Jamie akan selalu berusaha menebus semua kesalahan itu pada perempuan ini, apa pun yang bisa dia lakukan.  

Jari Jamie bergerak perlahan di tulang hidungnya yang bangir, sekali lagi memanggil nama Nora. Kali ini, perempuan itu mulai mengernyit dan membuka matanya.

“Hai,” sapanya, meski belum terlihat begitu sadar. Matanya mengerjap-ngerjap lucu, membuat Jamie tanpa sadar tersenyum samar. “Sudah pulang? Larut sekali.” Suaranya terdengar parau. Nora meregangkan tangannya. 

“Kenapa tidur di sini? Aku sudah bilang tidak usah menungguku.”

“Aku juga sudah bilang akan menunggu.” Nora dengan keras kepala mengedikkan bahunya, nyawanya sepertinya sudah terkumpul. Dia sekarang duduk lebih tegak di sofa. Jamie hanya mendecak setengah hati. Tidak benar-benar kesal. 

“Kau minum?” tanyanya kemudian mendekatkan kepalanya ke 

Jamie terdiam, sebelum mengangguk. “Tidak banyak. Aku pergi dengan Charlie.”

And you smoke. You’ve stopped for a long time.” Suaranya pelan, terdengar tidak seperti orang marah atau protes hingga Jamie sedikit bingung menanggapinya. Jari-jari tangannya di atas sofa dimainkan sekilas. “Perkataan Jenny benar-benar menyakitimu ya?” Nora memiringkan kepalanya, dengan tatapan sedih ia mencoba mencari jawaban dari air muka Jamie yang tiba-tiba kehilangan kemampuannya untuk menjawab.

“Bukan salah Jenny. Aku memang merasa kurang belakangan ini…” 

Nora menghela napas, jemarinya berhenti memainkan tangan Jamie dan mulai menggenggamnya lebih erat, memindahkannya ke pangkuan perempuan itu.

“Kau sama sekali tidak kurang melakukan apa pun. Kau sudah lakukan semua yang kau bisa demi kami dan itu sudah cukup. Kau bangun pagi setiap hari, kerja sampai larut malam, pulang kelelahan tapi tidak pernah kau tunjukkan padaku atau Jenny.” Nora mencebik, dan mengedik tengil, “Walaupun aku pasti tahu kau kelelahan dari caramu tidur.” Lalu dia memperagakan tidur Jamie dengan menengadahkan kepalanya sedikit, dan membuka mulutnya lebar, sedikit melebih-lebihkan demi memancing tawa laki-laki yang dia cintai di depannya saat ini. Dan benar saja, Jamie mendengus tidak terima.

“Bohong. aku tidak pernah tidur seperti itu.”

“Mana bisa kau tahu, kau kan tidur.”

Jamie memutar bola matanya, tapi senyum tadi masih tinggal di wajahnya dan itu cukup membuat Nora senang. 

"You're a good father and husband. And while you love me and Jenny, please remember to love yourself too.

Jamie mengangguk pelan, menyerap kata-kata itu dengan senyum yang mulai kembali hidup di wajahnya.

“Aku tidak menyangka, kau sejatuh cinta ini padaku Nora.” ujarnya sambil menyandarkan punggung ke sofa, matanya menatap Nora dengan kilat nakal. “Sudah pasti sih, wajahku tampan, bertanggung jawab, penuh cinta… hmm.”

Nora memutar bola matanya. “Narsis.”

Jamie pura-pura tersinggung. “Itu bukan narsis, itu self-love. Kau sendiri yang bilang aku harus belajar menyayangi diri sendiri, kan?”

“Bukan berarti disebut-sebut seperti itu.”

“Tapi kau suka kan?” Jamie merunduk sedikit, mencondongkan wajahnya ke arahnya. Menatap perempuan itu lebih dekat. Jamie tahu betul Nora yang mencoba pura-pura berani saat ini. Jadi dengan nada yang sengaja dibuat lebih rendah dan pelan, dia bertanya lagi tanpa melepas netra cokelat itu kabur dari tatapannya yang memenjarakan, “Suka kan, denganku yang sekarang?

Nora terdiam, di luar dugaan perempuan itu menjawab singkat, “Ya.”

***

Selesai

Terima kasih sudah membaca, kalau kamu suka ceritanya silakan tinggalkan vote atau comment ya <3
- Raa

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Chasing Memories : Extra Chapter 2
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan