
Hallo, aku Jerry! Nice to meet you cewek/bencong jablay yang klik cerita hidup aku.
Today Playlist: Lady Gaga - Manicure
Botty 1 | Bibir aku siap untuk menghisap, lho! Hisap apa? Coba tebak!
Di Twitter lagi heboh sama cowok kece dan seksi penjual Es Tebu.
Karena aku kepo, aku buka aja link yang tersebar luas di Twitter. Mata aku langsung melotot lebar gitu pas ternyata penjual Es Tebu itu beneran kece dan seksi. Aku makin semangat, aku browsing lagi sampai dapat detail-detail pentingnya. Aku nggak mau ketinggalan berita heboh itu. Dulu aku dianggap kamseupay sama Clique banci aku karena aku nggak tahu soal Gojek ganteng yang jadi langganan Ibu-Ibu Pejabat. Aku nggak mau jadi kamseupay lagi kali ini.
Ketemu. Jadi nama cowok kece dan seksi itu Felix. Ohmahgad banget, kan?! Namanya aja sudah ngasih aura kece dan seksi begitu. Terus kulitnya Mas Felix—dia biasa dipanggil begitu—itu cokelat-cokelat lezat. Pokoknya yang minta dijilat gitu, lho. Kayak yang teriak... aku lelehan cokelat, jilat aku sebelum aku jatuh ke tanah dan dikerubunin kuman. Lidah aku udah melet-melet gitu pengen jilat. Tapi yang kena malah layar iPhone aku. Nyebelin. Umurnya Mas Felix ini udah mapan, lho. Pokoknya sperma-nya dia lagi cocok banget kalo ketemu rahim di dalam pantat aku. Terus aku hamil dan kami berdua punya banyak anak.
Sebelas anak kalau perlu biar bisa bentuk tim sepak bola.
Oke, umurnya sudah dua puluh enam. Dia anaknya Bapak Rediandinata. Itu lho bapak yang paling kaya seantero Indonesia. Yang punya banyak aset di mana-mana. Aku baca deskripsinya, Mas Felix ini lagi berantem hebat sama so called Papa-nya itu. Makanya dia jual Es Tebu. Ohmagad! Aku jatuh hati.
Itu sebabnya aku ada di sini sekarang. Mas Felix itu orang Jakarta, lho. Bukan orang Taiwan atau Hong Kong kayak cowok-cowok cakep penjual Tahu dan Tempe yang terkenal juga di sosial media. Aku senang sekali pas tahu ternyata dia orang Jakarta. Satu kota sama aku, si gay yang butuh cinta dan pelukkan manja dari seorang lelaki kekar seperti dia.
Aku lagi ngantri mau beli Es Tebu. Dia sendiri yang jualan. Aku udah lihat muka gantengnya dari sini. Dia memang amazingly handsome. Tuhan pasti lagi gembira banget pas pahat mukanya dia dulu itu. Nggak kayak muka aku yang... yah, katakanlah biasa aja. Nggak ganteng. Nggak cantik juga. Imut pun nggak. Huh! Aku masih nyoba buat bersyukur, ya. Jangan judge aku!
Yay! Sudah maju lagi. Dua orang lagi aku bisa lihat wajah gantengnya dari dekat. Oh, aku lupa jelasin. Jadi Mas Felix ini jualannya nggak kayak tukang cilok depan SD kok. Dia nggak pakek gerobak sepeda. Dia pakek van. Terus bagian sampingnya dibuat terbuka, persis mirip penjual es krim pinggir jalan yang ada di Amerika sana. Van-nya juga dihias sekeren mungkin. Agak-agak dark doodle supaya terlihat manly dan youth, serta warna-warna cerah supaya nggak terlalu suram. Intinya... aku makin jatuh hati.
Oh, ini dia! Giliran aku yang maju.
“Selamat datang di Sugarcane Calm, mau pesan apa?”
Ya, ampun! Suaranya serak-serak basah menggetarkan jiwa. Aku langsung meleleh kayak lilin. Aku nggak bisa bernapas. Dia mau nggak kasih aku napas buatan kalau aku pura-pura pingsan?
Dari sedekat ini dia memang ganteng. Kalau foto-foto Mas Felix yang ada di Twitter itu keren seratus persen, kalau di depan mata jadi seribu persen. Lihat matanya yang agak menyipit, mirip orang Tionghoa, padahal dia sangat keturunan Indonesia. Bibir bawahnya tebal dan atasnya tipis, enak untuk dicium. Pasti! Aku berani taruhan atas nama jembut Edward Cullen. Rambut Mas Felix nggak sepanjang kayak yang ada di foto Twitter. Ini agak pendekkan dan membuat wajahnya jadi kayak tentara yang baru pulang dari Baghdad. Tapi hidungnya Mas Felix nggak mancung-mancung banget, lho. Agak pesek malah, tapi itu yang buat dia jadi makin perfect. Kekurangan adalah kesempurnaan yang tersembunyi. Gitu kata penulis novel gay yang pernah aku baca. Kiasan itu cocok buat Mas Felix. Ouh-uh!
"Mas?" panggil Mas Felix, dia masih tersenyum diagonal, lho. Aku mau pingsan. Aku bakal pingsan. Dia mau nggak ngajak aku ngentot di dalam van-nya? “Kami jual Es Tebu dengan taburan gula strawberry, kiwi, anggur dan juga melon. Mau pilih yang mana?”
Aku mau pilih kamu Mas Felix. Aku mau kontol kamu ditaburi gula-gula.
Aku nggak bilang begitu sayangnya. “Ehm, lasa—eh, tabulan gula stlawbelly.”
Kalau aku gugup, aku memang suka cadel. I can't help it. Kebawa dari aku kecil soalnya.
Mas Felix tersenyum kontol, aduh salah, konyol maksud aku. Dia pasti merasa lucu mendengar nada cadel aku. Semua orang juga begitu. "Mau sama makanannya juga?" tanya Mas Felix. Dia mengangkat tangannya, mengambil kertas menu yang udah dilaminating.
Ohmahgad! Dia pakek singlet, cyin! Otot tangannya kelihatan kekar dan... aku bakalan pingsan bentar lagi. Aku bakal nyuruh cewek yang di belakang aku buat nangkep aku biar aku nggak jatuh ke tanah. Aku nggak mau seragam aku kotor, besok masih dipakek soalnya. “Ada Mini Pancake, ada Pudding Vanilla, ada Pisang Cokelat-Keju, dan Terang Bulan isi kacang. Satu porsi hanya sepuluh ribu? Minat?”
Aku minat dientot sama kamu Mas Felix. Obok-obok pantat aku, aku bosan obok-obok air terus.
"Iya. Ehm, Telang Bulan isi kacang deh sepolsi." Aku nggak berani nyuruh dia obok-obok aku, lay. Aku takut dia malah ngelempar aku pakek gilingan tebu yang ada di samping tangannya itu. Kalau gilingan itu kena muka aku, nanti aku diusir dari Clique banci aku karena aku udah nggak menarik lagi. Nggak mau.
"Tunggu lima menit, ya." Mas Felix nyuruh aku ke samping. Aku bayar, pesanan aku tadi. Cuma lima belas ribu, lho. Murah, ya! Padahal Es Tebu-nya pakek gelas bentuk Grande kayak di Starbucks gitu. Oh, senangnya. “Ini, Es-nya Mas.”
Jangan panggil aku Mas, dong! Panggil aku Madam. Ew. Nggak deh. Kedengerannya kayak germo gembrot bermuka butek. Ah, panggil aku Lovely.
Aku meyedot Es Tebu aku. Rasanya enak. Manis, terus agak asam dari taburan gula strawberry. Ah, aku jatuh hati sama minuman ini, persis seperti aku yang makin jatuh hati sama Mas Felix. Aku punya tempat nongkrong favorit sekarang. Aku nggak bakal ke Starbucks lagi. Tiap pulang sekolah aku bakal ke Sugarcane Calm aja. Sekalian lihatin lekuk kekar tangannya Mas Felix.
"Ini Terang Bulan-nya. Selamat menikmati." Mas Felix tersenyum diagonal lagi. “Dan semoga bisa datang lagi ke sini.”
Aku balas tersenyum. Aku berjalan mundur sambil sesekali melirik ke arah Mas Felix. Dia lagi fokus ngelayanin pelanggan yang lain. Uh. Sebal. Kan aku nggak dilihat lagi sama Mas Felix. Nggak apa-apa deh. Sekarang aku duduk di sini aja, di kursi taman yang langsung menghadap ke van-nya Mas Felix. Dari tempat duduk ini aku bisa melihat jelas wajah gantengnya. Gerak-gerik tangan kekarnya. Aw! Dia manis, keren, ganteng, seksi dan charming sekali, lay! Aku mau dia!
Terlebih lagi dia mandiri. Desas-desus yang aku baca di Twitter sih dia berantem sama Papa-nya karena dia mau jadi cowok mandiri. Nggak mau bergantung sama orang tua. Hebat, kan? Mas Felix ini benar-benar tipe aku deh. Aku suka cowok mandiri yang nggak bergantung uang orang tua. Supaya kalau kami kencan dia bisa bayarin aku makanan mahal. Tapi setahun belakangan ini aku selalu pacaran sama anak kuliahan. Yang kere dan stres. Maksud aku, mereka suka stres kalau sudah mau sidang. Terus aku dilupain. Aku putusin aja. Uh!
Selagi menyantap Terang Bulan aku yang ukurannya mini, aku membayangkan kalau Mas Felix bakal jalan ke arah aku dan ngelapin jejak minyak yang menempel di pinggir bibir aku. Terus nanti aku bakal ngusap kepalanya dan kami ciuman. Mas Felix bakal meraba dada aku yang rata tapi bisa memberi kenikmatan. Terus aku bakal cium dagunya, mencium tangan kekarnya—
That boy is the Monster, mo mo mo Monster.
That boy is the Monster, mo mo mo Monster.
Ini kenapa Lady Gaga ngatain aku Monster, sih? Oh, itu kan nada dering aku, ya!
"Hallo?" sapa aku dengan nada ceria, mirip Dora. Kata Tante India, aku harus jadi cowok ceria. Biar rasa sedih nggak sering bersarang di hati aku.
"Eh, Bencong! Yey dimandose?" tanya Marilyn, nada suaranya nggak sabaran. “Ik samorse Lady udin nungguin yey disindang. Yey pestong tulitong legong, deh! Cepirit kesindang, bitch! Mupeng pengunjungnya cemong sirkuit.”
Aku mencibir sebal. “Aku masih nggak bisa ngomong bahasa banci, Marilyn. Pakek bahasa manusia aja, dong.”
"Aduh, aku lupa kalo kamu belum upgrade bahasa banci kamu. Nanti aku buatin kamus banci buat kamu, deh." Marilyn pasti lagi putar bola mata sekarang.
"Percuma keleus. Diana nehong bekelong biskuit bahasa banci," kata Lady ke Marilyn. Iya, aku langsung ditelpon dua orang. Clique banci aku. “Tadi, Marilyn bilang—aduh, aku lupa. Kamu aja yang ngomong ulang pakek bahasa manusia Marilyn.”
“Aku tadi ngomong: kamu di mana? Aku sama Lady udah nungguin kamu di sini. Kamu pasti telat lagi, deh. Cepetan ke sini, bitch. Mumpung pengunjungnya cuma sedikit.”
"Ke mana?" tanya aku bingung. Kayaknya aku nggak punya janji apa-apa sama mereka hari ini.
"Kan hari ini jadwal kita membinal ke Venus. Remembuh?" Aku bisa mendengar nada menuduh Marilyn. Uh! Aku lupa kalau hari ini kami mau ke Venus saking aku excited-nya mau ketemu sama Mas Felix. Venus yang aku bicarain bukan planet Venus di luar Bumi, ya. Venus itu tempat Sauna buat anak-anak muda. Dari umur tujuh belas sampai dua puluh lima tahun. Mirip 9M gitu, deh. Pokoknya tempat esek-esek. Tempat favorit Marilyn sama Lady kalau lagi jomblo. Pantat mereka itu kan suka menggatal kayak pantat aku. Jadi kami butuh kontol buat minta digaruk. “Sudah aku duga kamu lupa! Kebiasaan kamu banget, Cinta!”
Oke. Mungkin kalian bingung kenapa aku manggil mereka Marilyn dan Lady. Penjelasan singkat aja, ya. Aku sahabatan sama mereka semenjak kelas sebelas. Pas aku baru putus dari Jet. Waktu itu aku putus asa dan patah hati. Gay yang nyangkut di aku cuma Jet, itu pun ketemunya di JackD. Aku bilang ke Jet kalau aku mau tetap perawan sampai umur delapan belas tahun. Supaya dapat penghargaan gitu mirip Britney Spears. Britney kan dapat medali karena dia bisa perawan sampai umur tujuh belas, nah aku mau sampai delapan belas. Jet nggak mau ngerti. Dia mau entot pantat aku terus tiap dia nginep di rumah aku.
Aku nolak, terus kami putus. Aku mau cari teman gay aja gitu ceritanya. Nah, di sekolah aku yang gay discreet semua. Terus aku ketemu sama Marilyn dan Lady. Aku gabung sama mereka, tapi syaratnya aku harus kayak banci. Aku nggak banci, lho. Gara-gara mereka aja aku jadi banci kayak sekarang. Tapi tenang aja, aku masih kelihatan kayak cowok normal kok kalau diam dan duduk santai. Semenjak aku sahabatan dan gabung sama Clique mereka, aku punya banyak teman gay. Punya banyak pengalaman soal seks. Aku jadi urung buat perawan sampai umur delapan belas tahun. Aku ikut Marilyn dan Lady ke Venus, terus aku dientot sama dua orang sekaligus. Rasanya enak. Pantat aku kayak dimanjain dan disayang-sayang.
Eh, tapi nama asli mereka bukan itu. Marilyn itu nama aslinya Ridwan. Kalau Lady nama aslinya Anggara. Sedangkan aku Jerry, bukan Cinta. Yah, Ridwan dengan kurang ajarnya ganti-ganti nama aku. Supaya terdengar amazeball dan magnificent, begitu katanya.
Ridwan pilih Marilyn karena dia bilang wajahnya dia itu kayak simbol seks buat para gay. Nama panjangnya jadi Marilyn Homoroe. Bukan Marilyn Monroe. Kalau Anggara milih nama Lady Gaygay. Plesetan dari Lady Gaga. Karena dia suka sama Lady Gaga dan suka pakek istilah-istilah Lady Gaga kalau ngomong. Si Anggara juga suka manggung jadi drag queen pakek kostum Lady Gaga di Luv Papi klub. Klub gay khusus bapak-bapak yang udah nikah dan rindu belaian lelaki. Ew. Aku nggak suka tempatnya. Aku nggak akan ke sana lagi.
Aku bisa dipanggil Cinta karena kalau aku ngomong cadel aku mirip Cinta Laura. Padahal aku maunya dipanggil Marimar. Atau Rosalinda. Tapi dua bencong itu bilang kulit aku kayak tai ayam, nggak eksotis kayak pemain telanovela favorit aku itu. Sebab itu nama Cinta nempel di aku. Nama panjang aku Cinta Laubencong. Uh! Curang! Nama aku aja yang nggak keren.
Kami manggil nama-nama amazeball kami kalau cuma ngumpul bertiga aja kok. Nggak pas lagi di keramaian. Kami nggak se-freak itu tauk!
"Hari ini aku nggak bisa ikut kalian ke Venus," kata aku akhirnya. “Kalian aja yang Sauna, aku kapan-kapan aja.”
"Bukannya pantat kamu udah nggak ditusbol selama enam minggu, Cinta?" seru Lady histeris. “Otak kamu nggak lagi mi mi bella, kan? Kamu harus ikut kita, Cinta. Supaya pantat kamu nggak jamuran kayak bangkai busuk. Hari ini kita bakal so Mary Jane Holland.”
Aku menghembuskan napas panjang. “Pass deh jadi Mary Jane Holland-nya.”
"Kenapa nggak bisa ikut?" tanya Marilyn.
Aku memutar otak. Aku nggak mungkin bilang mau ngelihatin Mas Felix sampai Sugarcane Calm-nya tutup, kan! Nanti aku dihina loony sama mereka. “Aku ada latihan Modern Dance hari ini. Dua bulan lagi kan udah mau lomba.”
Itu bohong kok. Aku sudah hapal gerakkanku. Kan yang buat gerakkan itu aku sendiri. Dengan lagu Worth It-nya Fifth Harmony lagi. Oh, iya! Nanti aku nge-dance-nya pakek high heels, lho. Aku tiga bulan latihannya, kaki aku tujuh kali terkilir. Tapi aku udah bisa, bahkan lebih hebat dari Nina. Konsep nge-dance pakek high heels tujuh belas sentimeter itu bisa aku dapat pas selesai nonton video-nya Kazaky. Tahun lalu pakek konsep aku juga dan kami menang, makanya aku dipercaya lagi ngasih konsep buat tim Modern Dance aku tahun ini.
Coba tanya anak-anak Jakarta, sekolah Internasional mana yang punya Modern Dance paling keren. Mereka semua pasti bilang Vogue International School. Yah, meski begitu aku nggak populer karena aku bukan leader-nya. Orang tahunya paling... oh, si Jerry. Iya, dia cowok sendiri di klub Modern Dance. Nggak kayak Nina, leader-nya. Oh, si Nina. Iya, dia cantik dan keren banget tariannya. Film-film Step Up kalah kalau disandingin sama Nina. Uh! Bitch!
"Ya udah, deh!" ujar Marilyn di seberang sana. “Have fun, ya.”
"Bye money honey," sahut Lady setelah itu. “Doain aku dapet cowok kece di dalem.”
Aku terkikik. “Iya, semoga yang kontolnya besar, ya. Biar pantat kamu nggak bisa napas terus kamu mati. Nanti aku titip salam sama Iblis di Neraka kalo kamu ke akhirat.”
"Jahara!" sahut mereka berdua. “Dadah, Cinta!”
Aku mematikan sambungan telpon. Memasukkan iPhone-ku ke dalam saku celana. Aku melirik lagi ke arah Mas Felix. Ya, ampun! Antriannya masih panjang aja. Aku mendongak, langit sudah mulai oranye. Aku ke sini tadi jam setengah empat. Aku ngantri panjang juga tadi. Aku baru bisa mesan pas setengah lima. Ini sudah jam lima. Kata orang-orang di Twitter Mas Felix tutup kedai Es Tebu-nya jam delapan malam. Berarti masih lama. Yay! Aku mau muas-muasin mata aku, ah!
Mungkin ini yang dinamakan, mata muas memandang, jam berlalu pun tak masalah. Aku nggak sadar kalau sekarang sudah jam delapan. Aku mandangin wajahnya Mas Felix sambil dengerin lagu-lagunya Lady Gaga sama Nicki Minaj. Sekarang, tante Gaga lagi teriak-teriak di lagu Manicure-nya. Aku bangkit dari tempat aku duduk. Mas Felix lagi sibuk ngelap van-nya. Jantung aku deg-degan hebat saat mendekat ke arahnya. Aku berhenti melangkah sebentar, mengeluarkan iPod Nano aku, mematikan teriakkan tante Gaga lalu kembali melangkah. Ini dia, kata Marilyn jadi homo itu nggak boleh takut. Harus berani ngomong sama orang yang ditaksir.
"Hai, Mas Felix," sapa aku dari belakang tubuhnya. Mas Felix terlonjak kaget. Ya, ampun! Gaya kagetnya aja manly. Pundak kanannya bergerak naik dengan kasar. Dia benar-benar cowok impian aku. Kalau aku dapat Mas Felix, aku nggak bakal lepasin deh. Sumpah.
Mas Felix berbalik, dahinya mengerut sedikit saat matanya bertatapan dengan mata aku. Aduh, jantung kamu jangan norak dong! Ngapain sih deg-degan kamu keras banget?! Nanti Mas Felix bisa dengar, lho. Shut up, Jantung! Maksud aku, jangan shut up terus aku mati. Aku kan masih mau ngelihat Mas Felix versi telanjang. Pokoknya tenang gitu jantung!
"Kita udah tutup, Mas," ucap Mas Felix. Suaranya itu benar-benar seksi tauk! So american pie!
"Aku tau." Aku mengangguk dua kali. Kata Lady, kalau ngomong aku nggak boleh buka mulut lebar-lebar. Soalnya gigi aku yang di depan, yang dua biji itu besar. Gigi aku gigi kelinci. Aku benci banget sama gigi aku, uh! Terus kata Marilyn kalau mau kelihatan unyu meski muka aku nggak unyu, kalau ngomong kedua tangan harus digenggam di belakang tubuh. Biar kelihatan imut dan santai. “Aku mau ngoblol, ehem, ngobrol sama Mas Felix.”
Dia mengernyit sekarang. “Ngobrol? Ngobrol apa?”
"Ehm—" Aku berpikir dulu. Aku mau ngobrol apa, ya? Aha! Otak homo aku dapat ide. “Aku amaze sama kehebatan Mas Felix buat usaha ini. Aku punya PL, PR maksud aku, dari sekolah, tentang anak-anak muda yang sukses di Indonesia.”
Mas Felix sekarang tertawa renyah. Mirip Astor. Aw! “Maaf, Mas. Usaha saya masih baru, saya belum sukses sama sekali. Maaf kalau saya nggak bisa bantu, Mas.”
"Jangan panggil aku Mas, aku masih tujuh belas tahun."
“Terus mau dipanggil apa? Adek?”
Aku tersenyum. "Iya, adek aja."
Mas Felix tersenyum singkat sebelum akhirnya berbalik lagi untuk menutup sisi van-nya. Tempat dia membuka kedai Sugarcane Calm-nya. Aku mendekat ke sisi satu lagi, mencoba melepas gagang penahan yang satu lagi. Uh, berat! Aku harus kuat. Ingat, aku ini laki-laki. Nah, bisa kan! Sudah terlepas. Aku memang seterong, meski aku suka nonton acara tutorial make up di Health and Beauty.
"Makasih, Dek." Mas Felix tersenyum sambil merapatkan penutup van-nya. “Tapi, beneran lho. Saya nggak bisa bantu kamu. Saya sama sekali belum sukses. Usaha saya ini baru jalan dua bulan. Penghasilan yang saya dapet aja belum bisa balikkin modal awal saya.”
“Oh, nggak apa-apa Mas Felix. Aku bisa cari orang lain aja nanti.”
Kami saling bertatapan sekarang. Mas Felix tingginya paling hanya seratus tujuh puluhan deh. Soalnya tinggi kami nggak terpaut jauh. Bibir dia sejajar sama kening aku. Dia mau nggak ya cium kening aku sebelum aku nyari taksi buat pulang ke rumah?
“Karena kamu udah bantu saya nutup kedai, saya traktir kamu Es Tebu. Mau?”
Mata aku berbinar-binar. “Mau!”
"Ikut saya," katanya. Aku baru mau melangkah mengikuti Mas Felix, namun urung saat Mas Felix membuka singlet-nya. Ya, ampun! Lihat itu punggungnya, penuh otot dan sangat perkasa. Ketika tertimpa cahaya, punggung itu keemasan. Kulit cokelatnya yang berbaur dengan keringat lah yang menjadikan punggung itu look so firm. Aku mau memeluknya. Dia keberatan nggak kalau aku peluk dari belakang? Aku suka punggung cowok kekar kayak punya dia itu.
Mas Felix menyempilkan singlet-nya ke pinggir celana jeans yang dia kenakkan. Aku sudah panas dingin dibuatnya. Saat Mas Felix masuk ke dalam van-nya melalui pintu belakang, aku cepat-cepat mengeluarkan cermin Panda aku dari dalam saku postman bag. Aku menjilat bagian bibir aku yang terlihat kering, menekan-nekan bibir aku dengan jari supaya merah. Biar saat Mas Felix menatap bibir aku, dia bakal bilang dalam hati…
“Wow, bibir Adek satu ini merah dan terlihat menggoda. Saya penasaran bakal kayak apa bibir itu main-main sama kontol saya.”
Pokoknya kayak gitu, deh! Top kan suka lihat pantat sama bibir bot. Terus mereka suka mikir yang aneh-aneh. Aku tahu itu karena aku sudah belajar langsung dari mantan-mantan aku.
Eh, tapi Mas Felix gay bukan, sih?! Aku gregetan, uh!
"Ini buat kamu, Dek." Mas Felix memberi aku satu gelas Es Tebu. Oh, lihat! Taburan gula strawberry. Berarti Mas Felix ingat aku siapa. Meski dia nggak tahu nama aku. “Makasih udah bantuin tadi. Dan maaf nggak bisa nolong kamu.”
"Iya, nggak apa-apa. Dan sama-sama." Aku menyedot Es Tebu aku. Enak! Dingin. Segar!
“Oke, kalo gitu. Saya mau pulang dulu. Gerah. Jakarta tiap hari makin panas.”
Aku mendesah kecewa. Dia nggak natap bibir merah aku. Kayaknya dia bukan gay deh. Aku mau nangis aja rasanya. "Oke," kata aku lesu, memain-mainkan sedotan. “Hati-hati Mas Felix.”
Dia tersenyum diagonal. Itu kayaknya senyuman khasnya. “Kamu juga, Dek. Hati-hati.”
Kemudian van-nya berlalu. Kayak nggak sedih gitu pisah sama aku. Huhu! Tahu begini aku pergi ke Venus aja sama Marilyn dan Lady. Di sana aku bisa memanjakan diri di dark room. Terus nanti aku bakal digerepe-gerepe. Tenang aja. Aku sudah nggak sebodoh dulu kok. Kalau dulu itu aku nggak lihat siapa yang ngentot aku. Aku sudah diajarin sama Lady. Kalau dapat cowok dibawa dulu ke bawah lampu, sebentar aja, buat lihat wajahnya. Kalau oke, cusss. Minta ditusuk. Berdoa aja dia bukan sesama botty, kalau sama-sama botty bakal awkward. Masa nanti sama-sama nungging, terus siapa yang bakal nusuknya, lay. Aku nggak sudi—
Aduh, kelewat lagi! Aku angkat tangan buat berhentiin Blue Bird berikutnya. Berhenti. Aku langsung masuk ke dalam taksi sambil meminum pelan-pelan Es Tebu aku. Di pikiran aku masih ada wajah Marilyn sama Lady. Pasti mereka berdua udah ada di rumah dan lagi lulurin pantat mereka dengan sari mawar deh. Biar lubang pantatnya kencang lagi kayak perawan. Uh! Aku iri. Aku menyesal. Mas Felix jahat! Aku kan berharap dia bawa aku pulang ke rumahnya terus dia sodomi pantat aku sampai aku lelah dan jatuh tertidur mirip Aurora. Sebal. Sebal!
Mas Felix jelek. Uh! Itu nggak benar. Dia ganteng, tapi dia bukan gay. Hermit the frog, hiks!
"Bumi Senayan Sentosa apa Bumi Permai Semanggi tadi Mas?" tanya Pak Taksi. Aduh, aku pasti dibawa muter-muter deh. Trik tukang taksi Jakarta gitu. Biar dapat uang banyak. Tuh, lihat aja! Di argo sudah mencapai tujuh puluh lima ribu.
“Bumi Senayan Sentosa, Pak. Area Red Shoes, nomor tiga enam.”
Aku nggak boleh lengah lagi kali ini. Uang aku sisa dua ratus ribu di dalam mini tote bag. Nggak sampai setengah jam, aku sudah sampai di rumah. Oh, ngomong-ngomong, aku nggak tinggal sama Papa dan Mama. Mereka meninggal pas aku masih umur empat tahun. Kecelakaan mobil. That's why aku tinggal sama Tante India dan Om Alfred. Mereka sudah anggap aku anak. Mungkin karena mereka nggak bisa punya anak, yah aku tahu kok penyebabnya.
Tante India itu transgender. Dia dulunya laki-laki. Adik Mama aku. Namanya dulu Indra, pas dia jadi cewek di umur sembilan belas, dia rubah nama jadi India. Suaminya, Om Alfred, itu sama juga kayak Tante India. Om Alfred juga transgender. Dia dulu cewek, terus ganti kelamin jadi cowok. Dulu namanya Alfri. Tante India sama Om Alfred sudah nikah selama empat belas tahun. Dulu mereka maunya adopsi anak, tapi karena Papa-Mama aku meninggal dan Tante India sama Om Alfred orang tua baptis aku, aku diasuh sama mereka.
Makanya aku santai-santai aja kalau pakek blush on Tante India buat pergi party bareng Lady. Pakek blush on itu penting, lho. Supaya tulang pipi kita terlihat lebih tegas dan indah. Seperti itu.
Setelah membayar taksi, aku keluar dengan anggun. Baru aja aku menghirup udara malam, tiba-tiba aku merasakan sensasi seperti tercekik di leher. Bukan karena ada kuntilanak bencong yang dendam sama aku. Ini gara-gara aura cowok nyebelin alias tetangga aku. Damon. Itu namanya, tapi suka aku plesetin jadi Demon. Soalnya mukanya jelek kayak iblis.
"Habis pulang mangkal, ya?" ejeknya, tangan aku yang lagi buka kunci pagar langsung terhenti. Aku melirik jengkel wajah ganteng—nggak ih, dia itu iblis—jeleknya dengan mata menyipit penuh kesumat. “Dapet berapa malem ini?”
"Bukan urusan lo!" bentak aku. Aku menarik kunci pagar dan membukanya sedikit agar aku bisa masuk. Sayangnya, Iblis itu tembus pandang, jadi aku masih berhadapan sama dia. Oke, itu karena dinding pembatas rumah kami hanya sepinggang. Bukan karena dia Iblis sungguhan.
"Ah, gue bisa tebak," katanya sotoy. Aku baru tahu kalau Iblis suka sotoy juga. Tiap lihat muka Demon aku langsung keki. “Pasti cuma seribu. Hahaha! Iya, kan?!”
Aku mendelik sebal. Aku berkacak pinggang. “Enak aja! Muka lo itu juga kalo jadi gigolo paling cuma dapet lima ratus perak, atau cuma dapet satu bungkus permen Relaxa. Hihihihi!”
Nah, si Iblis tanduknya mulai keluar. "Cih! Lo paling gratis." Aku memutar bola mata, aku udah malas nanggapin Demon. “Atau lo nggak dapet pelanggan malam ini. Wajar lah, muka lo jelek gitu kayak kelinci mati. Terus pantat lo kurus kayak papan tulis. Mana ada yang mau.”
"Enak aja lo!" Aku tambah keki. “Pantat gue itu mulus dan indah tauk.”
“Kalo mulus dan indah, gue pasti udah terangsang dan bakal gue sodomi pantat lo. Buktinya, nggak tuh. Gue malah jijik lihatnya.”
Aku membuang muka ala banci elegan. "Tak usah lah, ya! Mending gue diperkosa sama Aliando daripada sama lo." Aku bilang begitu soalnya Demon lebih ganteng dari Aliando. Tapi aku nggak bakal akui itu meski dia siksa aku pakek alat BDSM-nya Christian Grey. “Udah ah, lama-lama gue deket lo, makin besar juga peluang gue masuk neraka. Tiap kali gue ngomong sama lo juga bulu kuduk gue merinding. Lo punya aura setan dan iblis digabungin jadi satu. Ew!”
"Dasar bencong sialan!" serunya. Aku sebal dia ngatain aku bencong. Aku ambil selang yang ada di bawah kaki aku, terus aku siram muka Iblis-nya supaya dia balik lagi ke neraka. “Fuck!”
"HAHAHAHAHAHA!" Aku tertawa penuh drama, bahkan aku menutup mulut saat tertawa. Biar dia tahu rasa. “Pulang sana ke akhirat! Temenin dajjal di bawah tanah.”
Aku berbalik. Damon berbalik. Kami saling banting pintu rumah masing-masing. Uh, I hate him!
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
