Catch Me If You Can

0
0
Deskripsi

Today Playlist: Lily Allen - Fück You

Botty 2 | Nggak mungkin aku pacaran sama Iblis!

Mulut aku sudah nggak tahan buat cerita soal Mas Felix ke Clique banci aku. Aku mau kasih tahu mereka kalau aku ngobrol langsung sama Mas Felix dan melihat dengan mata kepala aku sendiri betapa kokohnya punggung cowok itu. Tapi, setelah aku pikir-pikir... nggak, ah! Aku mau jadi egois dengan menyimpan kenangan itu sendirian aja. Aku nggak mau ngasih tahu mereka soal betapa indahnya pemandangan yang aku lihat. Nanti mereka ikutan horny terus pergi ke van-nya Mas Felix di Taman Kota. Nggak sudi cowok aku dibagi-bagi sama mereka.

Iya, iya, aku tahu Mas Felix itu bukan cowok aku. Dan dia memang STRAIGHT.

Bagaimana aku bisa tahu? Aku sudah browsing soal Mas Felix lebih dalam lagi tadi malam. Aku nemu berita-berita yang menyakitkan hati. Di umurnya yang ke dua puluh empat, Mas Felix sudah tunangan sama salah satu anak kolongmerat. Cewek, lho. Cantik menurut pandangan girly yang ada di sisi lain diri aku. Terus mereka menghentikan pertunangan itu karena Mas Felix nggak jadi anaknya Pak Rediandinata lagi. Cewek mata duitan, uh! Intinya, ya, dia straight. Track record-nya bilang begitu. Dia selalu dekat sama cewek. 

Di Instagramnya aja... di bagian profil: woman is like air, without them man will die.

Uh! Aku nggak butuh cewek kok buat bernapas. Aku butuh cowok ganteng. Kayak Mas Felix.

Atau Damon deh! 

Ew! Nggak, ih. Aku nggak mau sama Damon. Kalau sisa Aliando sama Damon di dunia ini, aku bakal lebih milih Aliando. Biarin aja Damon ngentot pohon pisang. Soalnya dia nyebelin, jadi dia nggak akan pernah dapat pantat aku.

Well, dia juga nggak bakal mau sih entot pantat. Dia kan straight. Phobia lagi sama homo kayak aku. Makanya dia benci banget setiap ngelihat aku. Anehnya, meski dia benci, pasti dia selalu ada di depan rumahnya kalau aku baru pulang dari mana-mana. Pas aku jalan ke arah pagar, dia bakal ngehampirin aku terus ngajak aku berantem.

Itu terjadi mungkin karena namanya juga. Damon Atandi Tomas. Dia selalu dipanggil Tom sama teman-temannya. Aku aja yang panggil Damon. Poinnya, dia Tom dan aku Jerry. Yes, Tom and Jerry. Gara-gara itu mungkin kami suka saling hina. Tom dan Jerry kan nggak pernah akrab. Ada sih bagian akrabnya. Persis kami juga. Kalau Mama-nya si Iblis buat acara barbecue party, kami berdua harus terlihat akrab biar nggak dipanggang sama Mama si Iblis. 

Pokoknya, Damon itu nyebelin. Dia sangat-sangat ganteng, maksud aku jelek, dan brengsek.

Tuh, lihat! Kalau aku ngomong soal Damon di hati kayak gini, aku pasti langsung kesal. Sampai-sampai gelas plastik yang lagi aku pegang remuk. 

"I hate Science!" seru Lady di sebelah aku, tiba-tiba aja gitu dia muncul kayak Sadako. Dia meraih salad buah yang baru aku makan setengahnya. Kata Tante India, salad buah bagus untuk sistem pencernaan dan kulit. “Aku pengen bunuh diri aja kalo udah disuruh bedah kodok. Jijik. Tangan cantik aku kan khusus buat mainin disco stick.”

"I know. Everybody in this world hate Science." Marilyn duduk di sebelah aku yang satu lagi. “Oh, Cinta. Kami punya berita yang oh-so-wow, lho.”

Lady terkikik, dia menepuk tangan aku dengan centil. “Iya. We both so paparazzi kemarin. Kamu pasti bakal kaget dan excited at the same time.”

Aku mengernyit, menatap wajah Lady yang cantik. Waktu aku bilang cantik, dia memang cantik, lho. Dia punya mata bulat besar bagai Barbie. Tulang pipinya itu berlekuk indah. Bibirnya warna pink cerah. Itu dia nggak pakek lipgloss kaya Marilyn. Rambutnya bergaya Mullet. Alisnya tipis, dibentuk naik ke atas. Dia mirip Cruella. Versi baik dan binal. Dia juga anak orang kaya, jadi selalu bisa perawatan kulit. Makanya kulit dia putih bersih. Lady juga mengasuransikan kakinya lho. Berapa puluh juta gitu, karena dia kan suka nari-nari ala Lady Gaga kalau lagi manggung di Luv Papi. Tarian standar, sih. Nggak seheboh aku. Lady pretty kewl.

Marilyn juga begitu. Pertama kali aku kenalan sama dia, aku panggil dia Ridwan. Dia langsung marah besar sama aku. Dia maunya dipanggil Ri, not pakek Dwan. Dia leader Clique kami. Well, kalau cowok-cowok sebenarnya bukan Clique sih, itu untuk cewek. Cowok itu kalau punya geng namanya Flocks. Yah, karena kami setengah cowok setengah cewek, kami lebih suka pakek Clique. Itu lebih keren aja. Lebih anggun dan elegan.

Marilyn sama sekali nggak cantik. Dia itu mempesona. Rambutnya mirip Tyra Banks. Bergaya dan diwarna honeycomb. Aku yang nemenin dia warnain rambut hari itu, sampai dua jam tahu nggak. Karena harus dikasih vitamin, pijat rambut, keramas dua kali, etc. Aku lupa, pokoknya banyak deh. Untung hasilnya memang luar biasa. Hidung Marilyn itu mancung, mirip perosotan. Bibir Marilyn mirip bibirnya Marilyn Monreo. Tebal di bawah, dan agak terbelah. 

Hanya aku yang jelek di antara mereka. Aku sadar itu kok.

Untungnya mereka berdua nerima aku pas aku bilang mau gabung sama Clique mereka berdua. Dan aku nggak dijadiin DUFF, lho. Aku dijadiin sahabat baik sama mereka. Marilyn dan Lady nggak pernah ngomong yang jelek soal aku di belakang. 

Sejauh ini ya.

"Emang apa?" tanya aku sembari mengangkat tangan untuk memanggil Mbak Ena, penjual salad buah. Uh! Punya aku sudah dihabisin sama Lady. 

Marilyn dan Lady merapatkan tubuh mereka ke dekat aku. Marilyn yang ngasih tahu aku berita oh-so-wow itu. Nadanya menggebu-gebu persis seperti pas dia cerita soal pengalaman ngentot for the first time-nya.

"Luca is gay." Marilyn dan Lady menjerit tertahan. “Like so gay-gay.”

"What?" tanya aku bingung. Luca? Gay?

"Otaknya lagi lemot tuh, Mari." Lady memutar bola mata. Aku masih memproses berita itu di dalam otak aku. Luca itu cowok yang sudah lama aku taksir. Aku memang selalu mikir dia gay sih. Meski dia pemain sepak bola sekolah. “Bitch, kamu udah selesai belum proses berita itu di otak kamu yang kecil mirip buah zakar adek aku?”

Aku mengangkat tangan ke depan wajah Lady. “Serius dia gay?”

“Iya lah, bitch! Masa aku sama Lady bercanda, sih!”

Ya, ampun! LUCA GAY!!! Aku ingin menjerit rasanya. Tapi, aku nggak melakukannya karena aku lagi ada di VisCaf. Aku nggak mau didelik sebal sama orang-orang iri yang ada di sini. Aku nggak pernah di-bully kok. Sekolah ini peraturannya cukup keras, kalau ada yang ketahuan nge-bully langsung dikeluarin. Yah, ada sih beberapa yang di-bully. Kalau aku nggak bakalan karena aku sahabatan sama Marilyn dan Lady. Mereka berdua kan anak-anak dewan sekolah. 

"Kalian tau dari mana dia gay?" tanya aku, nggak bisa menyembunyikan senyum lebar.

Marilyn terkikik cantik. "Kemarin kami ketemu sama dia di Venus. Dia mau Sauna gitu, but guess what? Ayo, guess what!" Aku baru mau jawab, Marilyn sudah jawab duluan. Puhlease, deh! “Dia mau nyariin kamu, baby. Dia tau kalo kamu suka ke sana sama kami.”

Aku kipas-kipas pakek kipas gratis yang aku dapat dari kondangan sepupu aku. “Serius?”

"He-eh," angguk Lady dan Marilyn bersamaan.

“Dia kan udah tau tuh kita gay. Terus dia kemarin lusa denger percakapan kita soal mau jalan-jalan ke Venus itu. Makanya dia pergi ke sana, mau tusbol pantat kamu. Itu yang dia bilang ke aku sama Marilyn. Well, setelah kami ketahuan lagi jadi paparazzi-nya dia.”

Aku melayang. Aku kayak lagi punya sayap dan mau menembus awan-awan. “Aku nggak tau kalo dia mau tusbol pantat aku. Aku kira dia tipe gay yang suka sama cowok not-so banci kayak aku. Ohmahgad! Aku masih nggak nyangka.”

"You wanna know something, Dahling?" tanya Marilyn, memegang tangan aku erat. Aku pun mengangguk pelan sebagai jawaban. “Kamu nggak so banci, lho. Kamu masih suka keceplosan makan nasi pakek tangan, nggak kayak aku sama Lady, makan harus pakek sendok dan garpu kayak Ratu Beatrix dari Belanda. Terus kamu kalo kunyah permen karet berisik, nggak gemulai sama sekali. Aku kadang punya niat bunuh kamu kalo kamu nggak sengaja ngelakuin gay manly di beberapa hal. Kamu nggak terlalu banci kayak kami berdua.”

Aku gugup. Aku ketahuan. Aku tahu kok kalau aku memang nggak banci-banci banget. Aku nggak suka perawatan kayak mereka. Aku benci meni pedi bareng mereka. Aku nggak suka lama-lama duduk di salon. Aku lebih suka main dance di TimeZone. Aku pakek blush on sama mascara itu karena mereka yang paksa.

"Please, don't kick me out from this clique," mohon aku. “I don't have any gay friends.”

Lady memukul lengan aku pelan. Waktu aku bilang pelan, benar-benar pelan, ya. “Reel cool, honey. Kami nggak mungkin kick you out. You pretty paper gangsta kok.”

"Thank God!" Saking bersyukurnya aku sujud kecil gitu di atas meja VisCaf. Marilyn dan Lady mendengus menahan tawa. “Kalo tau begitu, kemarin aku ikut kalian aja ke Venus. Daripada lihat—eh, latihan. Kesempatan aku hilang—”

"No, Dahling." Marilyn memotong ucapan aku. “Nanti malem kita mau pergi party ke tempatnya Delilah. Fujo sinting itu buat party lagi malem ini. Aku udah undang Luca ke sana, aku bilang ke dia kalo kamu bakal dateng. Kamu bisa main anyam-anyaman sama dia nanti malem.”

Kami bertiga menjerit kecil, membuat dua ekor cowok nyebelin melirik kami ngeri. Jangan lihat kami pakek tatapan begitu, ya! Kami mungkin kayak banci, tapi kalau kami berantem muka kamu bisa rusak kami cakar. Uh! 

“Aku harus tampil mempesona malem ini. Aku bakal meraih impian aku. Isep kontol Luca!”

Marilyn dan Lady menatap aku dengan pandangan... good girl! Yoohoo!

***

Hari ini aku nggak jadi orang creepy lagi kayak kemarin. Aku cuma datang sebentar ke sana. Untuk menyapa Mas Felix gitu. Sama beli Es Tebu-nya yang enak. Tadi aku beli yang pakek taburan kiwi. Rasanya lebih nano-nano. Pas aku datang ke sana, Mas Felix masih ingat sama aku. Dia bahkan manggil aku Adek. Muka aku udah merah aja gitu pas dia kasih aku senyuman diagonalnya. Senyuman yang aku asumsikan hanya untuk aku seorang.

Tapi hanya sampai di situ aja. Setelah aku dapat Es Tebu dan Mini Pancake aku, aku langsung nyari taksi dan pulang ke rumah. Malam ini aku bakal ketemu sama Luca. Kalau Dewa dan Dewi di surga mengizinkan, aku bisa main anyam-anyaman—ambil istilah Marilyn—sama dia. Aku mau Yoga sebentar, supaya tubuh aku bisa rileks kalau Luca mau ngajak aku pakek banyak gaya. Itu penting, lho. Supaya nggak salah urat atau sakit pinggang besok paginya. Sebab itu, daripada aku menghabiskan waktu dengan menatap wajah Mas Felix yang sayangnya straight, mending aku bersiap-siap untuk ketemu sama Luca. Mending aku melempar diri ke cowok yang jelas-jelas mau sama aku ketimbang sama Mas Felix yang sangat-sangat madesu untuk aku.

Setelah aku sampai di rumah, aku ganti baju lalu langsung ambil underlayment Yoga aku. Tante India sama Om Alfred belum pulang, jadi aku nggak bisa ajak mereka Yoga bareng aku. Tante India punya butik di Sudirman. Sedangkan Om Alfred punya toko peralatan olahraga di Senayan City. Mereka bisa pulang kapan aja kalau mereka mau. Aduh, itu kan nggak penting. Yang penting itu aku sekarang udah harus ada di taman belakang rumah, mempraktekkan Yoga yang sudah aku pelajari dari kelas Yoga di Gold's Gym.

Aku menggelar underlayment aku di atas rumput Cina yang selalu Tante India rawat. Bunga-bunga mawar yang ada di depan aku menguarkan aroma wangi. Ah, sempurna! Aku bisa Yoga dengan tenang di sini. Aku baru aja duduk di underlayment aku, pop gitu bunyi pantat aku pas mendarat di sana, tiba-tiba aja tenggorokkan aku kayak tersedak gitu.

Pasti Iblis itu ada di sekitar aku. Makanya aku bisa tersedak kayak tadi.

Tuh, benar, kan! Dia ada di sana. Sedang menggoyang-goyangkan jari-jari tangannya. Uh! Dia kenapa harus ada di situ, sih? Memangnya dia nggak pergi syuting atau pulang sebentar ke neraka buat nakutin orang lain gitu, hem? Oh, aku tahu! Pasti dia udah nggak laku lagi. Songong, sih! Jadi si Iblis a.k.a Damon itu memang artis muda Indonesia. Lumayan terkenal. Oke, oke, dia terkenal pakek banget. Aliando kalah, deh. Tapi dia beda dari Aliando. Damon nggak akan pernah mau main sinetron. Dia bilang gitu waktu Tante India nanya dia kapan tahu itu. Dia cuma mau main film layar lebar. Makanya dia jadi salah satu artis atau aktor Indonesia yang dicap mewah. Setara lah nasibnya sama Dian Sastro dan Nicholas Saputra.

Actually, aku sama Damon dulu berteman. Nggak berteman kayak Dora dan Diego. Aku yang jadi Dora, ya! Pokoknya, akur dan suka main tepuk kartu Yugioh. Waktu itu umur kami delapan tahun. Kami sama-sama pergi ke salah satu audisi iklan. Iklan Pop Mie. Di audisi itu sedang cari lima anak yang bakal nari sama Joshua buat mamerin itu Pop Mie. Aku dapat peran utama, yang nanti bakal nari sama Joshua. Ceritanya nanti aku bakal rebutan Pop Mie sama Joshua terus kami akhirnya baikkan dan makan Pop Mie bareng sambil nari nggak jelas.

Aku udah senang, nggak sabar bakal masuk TV. Eh, sayangnya aku langsung digusur. Iya, itu, gara-gara Damon. Dia ternyata lebih hebat dari aku. Bukan dalam tarian, ya. Dia sih nggak bisa nari. Dia lebih hebat dalam bentuk wajah. Ternyata yang paling penting itu wajah ganteng. Dan aku nggak ganteng. Huhuhuhuhu, aku mau nangis kalau ingat itu. Gara-gara Damon aku nggak dapat peran utama di iklan Pop Mie. Kalau aku dapat peran utama kan, stasiun TV bakal cinta sama aku dan aku diangkat jadi artis cilik.

Yah, ternyata aku tetap dapat peran, sih. Aku jadi penari di belakang tubuh Damon. Aku udah nggak marah lagi sama Damon soal dia ambil peran utama aku. Kami syuting iklan Pop Mie itu selama dua hari. Pas ke Sekolah, aku kasih tahu semua teman aku kalau aku masuk TV dan mereka harus nonton iklan Pop Mie.

But, guess what! Yang disyuting ternyata cuma kaki aku aja! Iya, cuma KAKI aku aja. Bukan wajah. Soalnya Damon nutupin muka aku. Hiks. Aku marah lagi sama dia dan kami jadi musuh semenjak itu. Terus dia tahu aku punya teman-teman bencong, dia juga mergokin aku ciuman di depan pagar sama Jet. Dia makin benci aku. Soalnya dia homophobia. Gitu katanya.

Aku juga benci dia kok. Meski dia ganteng banget. Eh, nggak. Dia jelek!

Oh, oh, Damon buka kausnya sekarang. Ya, ampun! Terakhir kali aku ngelihat dia shirtless itu tiga tahun yang lalu. Sekarang tubuh Damon bagus, ya! Ah, itu sudah pasti! Dia kan artis terkenal dan punya banyak waktu kalau lagi nggak syuting. Dia juga home schooling. Dia bisa nge-gym kapanpun dia mau. Terus—astaga! Sekarang Damon mengangkat kedua tangannya ke udara.

Wow, bulu ketiaknya tipis-tipis menggoda gitu, deh. Ew! Aku bohong. Bulu ketiaknya gross!

Aku buang muka, nggak mau natap pemandangan indah... jelek maksud aku, itu. Aku lebih baik konsentrasi dan menghirup udara sore yang menyejukkan. Ingat, habis ini bergerak empat puluh lima derajat dengan posisi nungging. Melakukan hal itu bisa membuat pinggang dan lekuk bokong lebih kencang, supaya kalau Luca mau ngajak aku doggy style aku siap. 

"Hati-hati kentut! Kentut lo bisa bunuh peradaban manusia!" ejek Iblis keras, membuat kedua tangan aku yang menjadi penopang bergeser sedikit ke kanan dan membuat aku terjatuh. Si Iblis ketawa bahagia sekarang. Uh! Kenapa dia nggak diambil aja nyawanya sama Tuhan, sih?

"MYOB, bitch!" sentak aku marah. Jantung aku deg-degan saat Damon berjalan ke dinding pembatas rumah kami. Ih, kenapa dulu yang bangun rumah ini nggak masang dinding pembatas tinggi-tinggi, sih? Aku kan nggak mau berhadap-hadapan sama Iblis di sore yang indah ini. “Apa sih yang lo tau dari Yoga, em?! Nothing. So, back off!”

Di dada Damon yang sebelah kiri—ya ampun, dadanya kebentuk indah gitu—ada tato. Entah itu bentuk apa. Aku nggak tahu jenis-jenis tato. Pokoknya tato itu bagus, melingkar setengah, lalu bergerak lurus hingga lenyap di sela-sela ketiaknya. Aku penasaran, kalau aku jilat tato itu, bakal kehapus nggak tintanya? Pasti—astaga! Aku tadi mikir apa, ya? Aku kok jadi menjijikan begini. Yang lagi aku lihat kan Iblis. Iblis itu harus diusir ke neraka, bukan malah jatuh sama pesonanya. Dasar Damon sialan! Ngapain dia punya badan seksi begitu?!

Maksud perkataan aku, ngapain dia punya badan beraura mistis begitu?! Jelek. Nyeremin!

"Oh, lo lagi Yoga?" Nada suaranya membuat aku sebal. Mana cobek, aku mau lempar ke kepalanya dia. “Gue kira lo lagi mau nyembuhin sembelit lo. Saking seringnya tuh pantat dipakek cowok-cowok homo.”

Ish! Damon ugly! “Dasar muka babi!”

Hanya itu pertahanan yang aku punya.

"Ckckckck, lo itu ya, Jurig—" Jurig itu plesetan nama aku yang dia buat. Kan nama aku Jerry. Dasar madafaka! “Udah homo, pantat lo tepos, gigi lo tonggos, tukang bohong lagi. Nenek-nenek rabun juga tau kalo muka gue ganteng.”

Aku mendidih. Kalau tingkat keki aku tadi hanya delapan puluh persen, sekarang udah nyampe tujuh ratus enam puluh tiga koma sembilan puluh sembilan persen. Aku menunduk, menarik napas panjang yang banyak. Sudah lah, Jerry. Dia itu jerk. Nggak usah ladenin Iblis. Lihat nasib Adam dan Hawa pas mereka ngeladenin Iblis, mereka diusir dari surga. Iblis itu tukang goda, jangan sampai terbuai dengan kata-katanya yang kejam. Breath in, breath out.

Aku kembali buang muka. Duduk lagi di underlayment Yoga aku. Silangkan kaki dalam posisi berbeda. Taruh kedua tangan di lingkaran lutut, pejamkan mata dan bayangkan sebuah kenangan indah. Misalnya seperti aku yang nanti bakal dientot sama Luca. Terus kami bakal pacaran. Aku bakal diajak liburan ke Paris dan kami bakal ngentot di puncak menara Eiffel. Oh, itu keren. Aku bahagia lagi. Aku udah nggak mikirin si Iblis. 

Setelah itu, aku mempraktekkan pose Navasana. Ini cocok buat melatih otot paha dan kaki aku. Jadi kalau nanti Luca nyuruh aku ngangkang, aku bisa melakukannya dengan benar dan lebar. Supaya kontolnya langsung nemu lubang pantat aku dan hap, masuk ke lubang pantat aku yang indah dan sempit. Hihihi, kalau Marilyn sama Lady pakek lulur sari mawar untuk membuat lubang pantat mereka selalu sempit, aku pakek lulur sari lily. Lebih bagus, lebih wangi dan membuat pantat yang sudah agak tertarik ke samping mirip bibir dower jadi unyu lagi. Luca pasti langsung melotot matanya pas lihat pantat aku yang legit. Aduh, aku makin nggak sabar!

"Ngapain lo begitu? Mau ngelahirin lo?" ejek Iblis itu lagi. Ya, ampun! Dia masih aja di dunia. Kenapa dia belum minggat, sih?! Pergi ke mana gitu. Ke jamban kalau perlu. “Palingan juga anak lo anak alien. Giginya besar dan tonggos kayak lo.”

Aku mendelik sebal. Aku mau marah—oh, Tuhan! Damon lagi pull up. Aku bisa lihat otot punggungnya dari sini. Lihat itu keringat yang turun dari lehernya, mengalir di perutnya yang kotak-kotak, bermuara di pusar dan bulu-bulu halus di sekitarnya. Lalu masuk ke dalam celana karetnya. Aku juga penasaran, bulu-bulu halus yang tumbuh di bawah pusarnya itu bakal nyambung sama jembutnya nggak, ya? Badan aku mulus kayak Taylor Swift, jadi aku nggak tahu. Aku rasa-rasanya mau nurunin celana karetnya supaya aku tahu jawabannya.

Ew, ew, nggak usah lah ya! Aku nggak mau tahu aja deh. Nggak penting. Palingan kontol Damon bentuknya kayak tongkat Iblis. Dia kan Iblis. Huek!

"Gue tau tugas Iblis itu buat mengganggu manusia, tapi bisa nggak lo cari manusia yang lain?" tanya aku kesal. “Misalnya Miranda gitu. Cewek yang udah nyelingkuhin lo. Kasihan deh.”

Sial! Aku salah ngomong. Kenapa aku nyebut-nyebut nama cewek itu? Lihat wajah Damon sekarang, dia kesal dan terluka. Miranda itu sahabat aku SMP. Dia pacaran sama Damon. Terus... udah, ah! Aku malas bahas itu. Kasihan Damon. Aku udah keterlaluan.

Tapi aku nggak mau minta maaf. Damon kan yang cari masalah duluan sama aku. Aku kan banci nyinyir mirip Lady. Harga diri aku itu harus setinggi Ratu Monte Carlo, begitu saran Lady. 

"Seenggaknya gue normal," kata Damon, dia udah nemu lagi suaranya. Paling dia nemunya di tong sampah. “Nggak kayak lo. Punya kontol, tapi tertarik sama kontol cowok lain. Otak lo udah nggak waras. Lo harus diterapi di rumah sakit.”

Mulut aku ternganga lebar. Kurang ajar! Jadi maksud dia aku gila gitu karena aku gay?

"Fuck you!" teriak aku histeris. Aku bangkit dari underlayment aku dan melangkah marah ke dinding pembatas rumah. Aku berkacak pinggang penuh amarah. Dia sudah menyulut emosi laki-laki di dalam diri aku. Aku benci Damon! Benci, sangat-sangat benci! Dia ngatain aku gila.

"Gue nggak tertarik pengen nge-fuck cowok. Apalagi lo." Damon ikut-ikutan berdiri di depan dinding pembatas rumahnya. Kami saling melempar pelototan mirip kayak di film Mak Lampir episode Misteri si Grandong. 

Nggak ada yang mau berhenti melotot. Ngapain aku kalah dari dia! Nggak lah, ya! Aku seterong kalau sudah jadi laki-laki. Aku bisa kalahin dia kalau dia mau adu panco sama aku. Meski aku bakal dibunuh sama Marilyn karena jadi gay guy manly. Marilyn sama Lady maunya aku mirip mereka, anggun, elegan dan gemulai. Aku kadang bisa, yah, cuma jadi anggun, elegan dan gemulai itu kan susah. Aku masih suka ngelakuin hal-hal cowok. 

"Percuma debat sama lo," kata aku bosan, aku mundur selangkah. “Buang-buang tenaga!”

“Alah, bilang aja lo takut sama gue! Lo kan bencong. Semua bencong kan pengecut!”

Aku sakit hati. Literally sakit hati. Seperti ada yang meremas hati aku di dalam sana. Aku pun maju, meloncati pagar pembatas. Damon ikut-ikutan, dia juga meloncat. Sekarang kami berdiri hadap-hadapan, kedua lutut kami saling bertabrakan. Aku baru mau marah-marah, mau cakar wajah ganteng, eh jeleknya. Tapi aku sadar kalau jarak kami sangat dekat. Aku bahkan bisa mencium aroma keringatnya yang... yang... yang enak. Tangan aku bahkan nempel di tangannya.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
BoyxboyLgbt
Selanjutnya My Not So Old Sugar Daddy
3
2
Kapitel 1 - Call Me
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan