
Angka lima puluh pada bungkus indomie beberapa pekan terakhir ini, kembali mengingatkanku kepada ibu. Semerbak aroma martabak indomie buatannya masih teringat jelas dalam benakku.
Pagi ini, langit masih terlihat gelap. Udara dingin terasa begitu menusuk sekujur tubuh. Beberapa orang mungkin akan enggan beranjak kemana-mana, tapi tidak dengan ibuku yang sedari tadi sedang sibuk memasak di dapur. Ibu terlihat begitu antuasias memasakkan bekal untukku hari ini. Karena hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah di kelas empat sd, setelah berpuas menikmati libur semester selama dua minggu lamanya. Aku tau ibu sedang memasak indomie, karena semerbak aromanya tercium ke seluruh penjuru ruangan rumah ini.
Mula-mula aku memperhatikan ibu memasak indomie goreng seperti orang pada umumnya, merebus mie di dalam panci, kemudian menuangkan bumbu ke atas piring dan setelah mie matang. Mie akan dipindahkan ke piring yang telah berisi bumbu tadi. Sepiring indomie pun sudah tersaji dan siap untuk di makan. Tapi karena aku meminta kepada ibu untuk dibuatkan martabak indomie, maka ibu akan mencampurkan telur ke piring yang telah berisi indomie tadi. Kemudian mie tersebut akan digoreng di atas kompor dengan api yang sedang.
"Udah laper to lhe?" tanya ibu yang sekejap membuyarkan konsenstrasiku memperhatikan ibu yang sedang memasak. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum polos, seperti anak kecil pada umumnya.
"Ibuk sudah buatkan teh, diminum dulu mumpung masih hangat. Habis itu mandi, baru sarapan ya" ucap ibu yang masih kalang kabut memasak martabak indomie untukku.
Jika boleh jujur, aku ingin segera memakan sarapanku hari ini. Siapa yang akan menolak untuk memakan kelezatan indomie yang bercampur dengan gurihnya telur?. Membayangkannya saja membuat perutku menjadi keroncongan. Jadi aku segera menghabiskan teh buatan ibuku dan langsung bergegas mandi.
Udara dingin yang belum kunjung hilang, membuat air di bak mandi menjadi lebih dingin dari biasanya. Tapi itu semua tak menyurutkanku, demi sepiring martabak indomie buatan ibu. Tak masalah jika hanya sedikit merasa kedinginan. Seusai mandi, aku beranjak menuju dapur. Di atas meja makan, sudah tersaji sepiring nasi dengan lauk martabak indomie yang tadi dibuat oleh ibu. Dengan begitu bersemangat aku menikmati martabak indomie ini, rasa luarnya begitu renyah dan gurih. Sedangkan bagian dalamnya masih terasa empuk, lengkap dengan bumbu indomie yang begitu enak.
"Gimana lhe rasanya? enak?" tanya ibu seusai mencuci peralatan memasaknya.
"Enak buk, kayak biasanya" jawabku dengan senyum yang begitu sumringah.
Memang bukan pertama kalinya aku meminta ibu untuk dibuatkan martabak indomie. Entah sudah berapa kali ibu memasakkannya, tapi aku tak pernah merasa bosan sedikitpun dan selalu bersemangat untuk memakannya. Lagi pula, selain masakan ibu yang memang enak. Aku juga gemar memakan indomie, baik yang rebus maupun goreng. Semuanya bagiku terasa lezat.
Aku melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Dengan begitu, aku segera bersiap untuk berangkat menuju sekolah. Aku pergi meninggalkan rumah dengan menaiki sepeda, sebuah kado dari ibuku saat aku berulang tahun di umur sembilan tahun.
Belum genap lima puluh meter aku mengayuh sepeda. Aku tertabrak sebuah motor di perempatan jalan. Pengemudinya adalah seorang anak perempuan, dari seragam yang ia kenakan. Sudah dapat dipastikan jika ia adalah anak SMA. Beruntung, kami berdua tidak apa-apa. Hanya sedikit luka kecil yang kami dapatkan. Mungkin karena hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, kakak itu sedikit terburu-buru. Dan aku juga kurang memperhatikan jalan karena masih terbawa suasana gembira di rumah.
Berulang kali kakak itu meminta maaf kepadaku, mungkin saja ia takut jika aku akan menangis kencang. Dan melaporkannya kepada orang tuaku. Meski sebenarnya aku bahkan tak terlihat kesakitan sedikitpun. Beberapa warga yang menolong kami, juga turut menawarkan bantuan untuk mengantarkanku pulang. Tapi aku menolaknya, aku tidak mungkin kembali pulang ke rumah setelah ibu bersusah payah menyiapkan bekal untukku hari ini.
Untungnya, nasib burukku hari ini hanya berakhir sampai disitu saja. Di sekolah begitu banyak kegembiraan yang kurasakan, setelah lama tidak bertemu dengan teman-teman. Hari ini aku melepas rindu dengan mereka. Canda tawa yang tak dapat terhindarkan, menjadi penghias pertemuan kami. Pada jam istirahat pun, rasanya begitu menyenagkan dapat berbagi martabak indomie kepada teman-teman. Kata mereka masakan ibu begitu enak, bahkan lebih enak dari penjual martabak yang ada di pasar malam. Aku pun tidak dapat mengelak, karena itu memang benar pikirku.
Waktu berputar terasa begitu cepat dari hari-hari biasanya, mungkin karena hari ini aku sedang bersenang-senang. Jadi tak terasa bel pulang sekolah sudah terdengar nyaring saja. Dan kamipun pulang berhamburan ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, aku tak mengira ibu akan tau jika aku tertabrak montor tadi pagi. Terlihat begitu jelas, mimik wajah ibu yang begitu cemas dan khawatir.
"Lhe kamu nggak kenapa-napa kan? Tadi ibu di telfon sama Bu Nur. Katanya kamu habis di tabrak montor waktu berangkat sekolah?" ucap ibu yang sedang panik melihat keadaanku.
"Alhamdulillah, nggak papa kok buk. Cuma kegores sedikit aja kok. Lagian juga udah di obati sama Bu Nur" jawabku berusaha menenangkan ibu.
Aku baru teringat jika tadi meminta bantuan Bu Nur, wali kelasku di kelas empat ini untuk mengobati lukaku. Jadi tidak heran, jika Bu Nur akan memberitahu keadaanku kepada ibu. Mungkin jika aku tau akan begini, aku tak perlu repot-repot mengobati lukaku. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Aku hanya perlu meyakinkan ibu bahwa aku baik-baik saja, agar ibu tidak merasa cemas lagi.
Bahkan hingga kini, aku masih mengingat dengan jelas raut wajah ibu yang mencemaskanku. Angka lima puluh pada bungkus indomie di beberapa pekan terakhir ini. Kembali mengingatkanku pada umur ibu, jika masih hidup. Waktu berjalan begitu cepat, memisahkanku dengan ibu yang sekarang telah bahagia bersama bapak di atas sana. Beberapa kali rindu itu menguap bersama rebusan mie yang akan ku masak menjadi martabak indomie seperti buatan ibu. Dan untungnya, meski telah berlalu beberapa tahun lamanya. Tidak ada yang berubah dari cita rasa indomie yang selalu enak, selalu sama seperti buatan ibu pada saat itu.
__
Sebuah cerita spesial untuk 50 tahun Indomie, selamat bertambah usia.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
