
(Bab 1 dam 2 bisa dibaca gratis!!)
Halo, selamat datang di cerita pertama saya di Karyakarsa. Bos, Cium Lagi Dong adalah cerita romansa kantor yang diharapkan akan membuatmu terbius dan tenggelam dalam alurnya. Bab pertama ini bisa kalian baca secara gratis. Kalau kalian suka, kalian bisa dukung aku dengan purchase bab-bab selanjutnya ya. Terima kasih.
Dara tersentak saat ketukan terdengar beberapa kali di meja kerjanya. Langsung ia angkat wajahnya, kemudian tersipu.
Karena ada wajah Ryuzaki. Salah satu pimpinan di tempatnya bekerja. Pria berdarah setengah Jepang itu tersenyum hangat seperti biasa.
“Kamu harus lembur sampai jam segini, maafkan kakakku, ya,” ucap Zaki dengan alis saling bertaut. Merasa tidak tega melihat perempuan belum pulang ngantor di malam hari seperti ini.
Mata Dara melirik ke arah jam analog di meja kerjanya, sudah jam sepuluh lewat. Tidak heran dia sampai tertidur di atas meja.
“Tidak apa-apa, Pak. Sudah tugas saya tetap di sini sampai Pak Tamada pulang,” jawab Dara sambil ia selipkan sejumput rambut ke belakang telinganya.
Ah! Jangan tersenyum seperti itu, ucap Dara dalam hati saat ia lihat Zaki kembali tersenyum. Kalau saja Zaki ini adalah rekan kerja yang punya kedudukan setara dengannya, mungkin Dara akan tidak ragu memuji parasnya yang tampan.
“Tapi sepertinya aku harus kasih kamu kerjaan lagi, nih,” ungkap Zaki dengan wajah menyesal. “Gak apa-apa, kan?” tanya pria jangkung itu untuk memastikan.
Mata Dara melebar sebelum kepalanya menggeleng. “Gak masalah sama sekali, Pak.”
Wajah Zaki kemudian tertoleh ke arah pintu ruang kerja direktur utama kantor itu. Tempat kakaknya yang masih ada di dalam sana.
“Tamada teler,” ungkap Zaki sambil menyengir lucu. “Dia kalau putus cinta memang begitu. Aku sial banget harus temani dia malam ini. Bisa kamu bantu dia 'kan, Dara? Aku harus buru-buru pergi, ada janji lagi.”
Kepala Dara mengangguk cepat. Saking terkesimanya dia dengan cara bicara Zaki yang lembut tertata.
“Terimakasih. Kalau gitu saya duluan.”
Dara langsung berdiri. Membungkukkan tubuhnya yang sudah menjadi aturan tidak tertulis di kantor ini saat menyapa atasan. “Hati-hati, Pak,” ujar Dara ragu saat Zaki sudah masuk ke dalam lift. Sempat terlihat pria itu tersenyum sebelum pintu lift tertutup.
Wajah Dara langsung menoleh ke arah pintu ruang kerja bos besarnya. Sudah hampir dua tahun, Dara menjadi sekretaris dari pria di dalam ruangan sana.
Tak lama Dara meringis sambil melangkahkan kakinya ragu. “Astaga! Kenapa aku bilang mau aja sih ke Pak Zaki? Malas banget harus ngurusin Pak Tamada.”
Setelah ia berdeham pelan, tangannya mengetuk pintu beberapa kali. Namun tidak ada jawaban dari dalam. Membuat Dara akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintunya sedikit untuk mengintip. “Permisi Pak Tama,” ucapnya pelan.
Agak ia longokkan wajahnya ke dalam ruangan, sebelum akhirnya ia dapati Tama dalam posisi terlentang di atas sofa. Matanya tertutup dengan kemeja yang sudah tidak lagi rapi—dua kancing teratasnya bahkan sudah terbuka.
Dara memberanikan diri mendekat untuk membangunkan bosnya tersebut. Ini semua karena Zaki yang meminta tolong, kalau bukan, mungkin Dara akan memutuskan meninggalkan bosnya ini di sini. Mungkin meminta bantuan pada beberapa karyawan laki-laki yang masih lembur di lantai bawah.
“Pak, bangun. Anda harus pulang,” ucapnya pelan sambil menyentuh bahu Tama sedikit.
Sepertinya itu berhasil, karena sekarang pria itu membuka matanya. Melihat langsung ke arah wajah Dara dengan pandangan sayu, sangat khas selayaknya orang mabuk.
Bukannya bangun dari posisinya, Tamada justru menarik salah satu tangan Dara, membuat perempuan itu memekik kaget. Kekuatannya yang tidak seberapa, akhirnya kalah dengan tarikan kuat tangan Tama. Jatuh tubuhnya kemudian ke atas dada bosnya itu.
Dari jarak sedekat ini, aroma alkohol menguar dengan tajam, menusuk masuk ke indra penciumannya.
“Pak, maaf. Jangan begini,” pinta Dara memohon sambil menoleh-nolehkan kepalanya ke arah pintu ruangan yang masih terbuka.
“Bukannya kita sudah putus? Kenapa kamu datang ke sini, Ryn?” tanya Tama tidak jelas dengan mata makin nanar menatap ke arah Dara.
Belum sempat Dara buka suara untuk meluruskan kesalahpahaman, bibirnya tidak bisa bergerak, saat salah satu tangan Tama menarik kepalanya mendekat ke arah wajah pria itu. Tama, mencium bibirnya.
Dara memejamkan matanya secara spontan saat bibir Tama bergerak-gerak agak kasar.
Ringisan tertahan keluar dari bibir Dara. Sampai kemudian tubuhnya tiba-tiba terpaku, saat secara paksa Tama menarik dagunya agar Dara mau membuka bibir. Lidah pria itu masuk ke rongga mulutnya kemudian.
Tapi yang membuat Dara tiba-tiba membatu bukanlah kenyataan bahwa Tama semakin liar menciuminya. Melainkan rasa manis yang tiba-tiba bisa ia kecap di lidah.
Rasa manis... Yang sudah sangat lama tidak mampu ia rasa. Lidahnya kembali bisa merasakan rasa manis, setelah bertahun-tahun kemampuan itu tidak ia punya.
“Manis,” bisik Dara saat bibirnya dan Tama terpisah.
Tama sendiri hanya tersenyum tipis dengan mata setengah terbuka. “Kamu selalu benci setiap aku ciumi bibirmu. Tapi kenapa sekarang tampaknya kamu suka sekali? Kenapa harus sekarang saat kita sudah putus, Ryn?”
Tapi ... Namaku Dara, aku bukan Ryn. Dara bergumam dalam hati.
Tangannya terkepal di atas dada Tama, melihati balik mata pria itu dalam-dalam. Sampai kemudian, kembali teralih perhatiannya ke arah bibir bosnya itu. Rasa manis tadi ... Membuat Dara ingin mengecapnya lagi.
Hanya dalam kejapan mata, tubuhnya sudah ada di bawah tubuh Tama saat pria itu bergerak cepat. Mengurung Dara dengan kedua tangannya yang menumpu.
Yang Dara bisa lakukan hanya diam, saat Tama menegakkan badannya, menarik kemejanya kasar sampai kancing-kancingnya terpental. Kemudian barulah perempuan manis itu sadar kalau situasinya sangat bahaya, ketika Tama membuka tali pinggang dan ritsleting celananya dengan terburu-buru.
“Pak! Pak! Jangan!” panik Dara saat kembali ditindih tubuhnya oleh Tama yang sudah setengah tidak berbusana.
“Nikmati seperti biasanya, Ryn!” bisik Tama di samping telinga Dara, sebelum ia beri banyak kecupan di belakang leher perempuan itu.
Mata Dara melebar saat ia rasakan tangan Tama meraba-raba ke bagian bawah tubuhnya, menarik roknya agak tidak sabar.
“Astaga, Pak!” pekik Dara sambil mencoba mendorong tubuh Tama dan merapatkan pahanya kuat-kuat, takut bosnya itu melakukan hal lebih jauh.
Namun lagi-lagi, terdiam tubuhnya. Mematung seperti dihipnotis. Ketika Tama menyatukan kembali bibir mereka. Rasa manis tadi, menyebar cepat di indra pengecapan Dara. Dan rasanya luar biasa.
Dia terpana dengan mata mengawang-awang. Seperti diterbangkan dia ke langit.
Sudah lama aku mau merasakan rasa manis lagi, ucap Dara dalam hati.
Namun rasa manis nan nikmat itu, tiba-tiba berubah jadi mengerikan. Ketika Tama dengan keras menghentak pinggulnya. Kini, bukan hanya bibir mereka yang menyatu, tapi juga tubuh mereka.
Kepala Dara langsung mendongak dengan mata melebar, napasnya tercekat. Punggungnya bahkan terangkat saking tak kuasa menahan dorongan tubuh Tama.
“S-Sakit!!!” pekik Dara merintih. “Pak! Sakit!”
Pandangannya menjadi kabur, saat air mata menetes begitu saja ke pipinya. Samar-samar terdengar desah dari bibir Tama, kadang pria itu bahkan mengerang kuat.
Tubuh Dara lemas, pandangan matanya kosong. Bahkan Dara kesulitan bernapas karena sekarang satu tangan Tama sudah berada di lehernya, seperti mencekik dengan agak kuat.
“Hah! Aku tahu kamu gak serius, Ryn! Hah! Hah!”
Bisa Dara lihat wajah Tama yang berlumur peluh. Matanya memejam sebelum kembali terbuka, mengirim tatapan paling tajam yang pernah Dara terima.
Sebelum akhirnya suara desau keluar dari bibir Tama saat pria itu mencapai puncak. Sedetik kemudian tubuhnya ambruk, ke atas tubuh Dara yang masih diam menatap kosong ke arah langit-langit ruangan itu.
“I love you, Ryn! I mean it!”
Itu adalah kata-kata terakhir yang Dara dengar, sebelum Tama lemas sembari melenguh panjang. Ambruk begitu saja ke atas tubuhnya.
***
“Sakit banget, Ta. Kata lo enak! Engga bener, tuh! Sakit tahu!” rengek Dara.
Dara tidak pulang ke rumahnya hari ini, malah menuju indekos Bonita, teman karibnya sejak masa kuliah. Mengadu dia, karena tidak tahu harus bercerita pada siapapun lagi. Dari dulu, Bonita memang tempat yang selalu Dara datangi setiap ada masalah. Dara menganggap Bonita yang punya pemikiran lugas dan cerdas selalu mampu memberinya masukan.
Bonita terang saja terkejut. Datang-datang, Dara merengek dengan wajah seperti menangis. Mengaku kesakitan. “Apanya yang sakit?”
Karena memang Dara masih merasakannya. Perih di bagian genitalnya yang bahkan sekarang makin menggigit. Kini ditambah dia takut bukan kepalang, saat ingat kalau bosnya tidak memakai pengaman tadi.
Tidak juga mendapat jawaban, mata Bonita jelalatan sampai kemudian mendapati paper bag toko kue di tangan Dara, “Lo beli kue? Bukannya lo gak makan makanan manis?” Pelukan mereka terlepas kemudian. Saat itulah Bonita melihat wajah Dara yang sembab, seperti sedang dirundung masalah besar, “Ah! Kenapa, sih, lo? Jadi khawatir gue, nih.”
Dara menunduk, melihati tas berisi kue yang ia beli di perjalanan. Rasa manis masih bisa ia kecap di lidahnya sekarang, terasa begitu kuat.
Ia senang dengan kenyataan kalau dirinya secara tiba-tiba bisa kembali mengecap rasa manis. Tapi di waktu bersamaan, Dara takut. Malam ini ia kehilangan keperawanannya secara paksa. Direnggut oleh bosnya di kantor dalam keadaan tidak sadar.
Apa yang harus aku lakukan setelah ini?
“Apa gue keluar kerja aja, ya?” tanya Dara dengan mata berlinang air mata.
***
Tubuh Dara kaku, berdiri dengan wajah tertunduk saat sosok Tama baru keluar dari lift pagi ini.
“Selamat pagi, Pak Tama.”
Seperti biasa, sapaannya tidak dijawab. Pria itu berjalan saja tanpa tampak peduli, melewati meja kerja Dara yang hanya berjarak beberapa langkah dari pintu ruang kerjanya.
Mata Dara melirik sinis ke arah punggung bosnya itu. Kemudian teralih pandangannya pada laci meja, dimana surat pengunduran dirinya baru selesai ia masukkan ke dalam amplop.
“Semalam kamu pulang jam berapa?”
Suara berat Tama tiba-tiba masuk ke telinga Dara. Membuat perempuan itu terkejut dengan wajah menegang. Bibirnya mendadak kelu, hampir tidak bisa bergerak.
Kepala Tama menoleh, mendapati Dara yang kepalanya menunduk dengan kedua tangan saling mengepal di depan paha. “Gak kedengaran, ya, suara saya?”
Wajah Dara langsung terangkat, tergagap dia dengan mata melebar, “A-anu...”
“Anu? Anu siapa?” tanya Tama dengan kening mengerut. “Saya tanya, semalam kamu pulang jam berapa?”
“J-jam delapan, Pak. Tak lama setelah Pak Zaki datang semalam, saya pulang.”
Mata Dara terpejam sambil kembali ia tundukkan kepalanya. Hal yang paling ia tidak paham, adalah alasan kenapa baru saja terlontar kebohongan dari bibirnya.
“Serius, kamu?” tanya Tama agak ragu, keningnya mengerut jelas tampak kebingungan.
“Serius, Pak.”
Setelah mendapati jawaban itu, Tama langsung melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Meninggalkan Dara yang terdiam agak lama dengan pandangan mata kosong.
“Mati aku. Aku bahkan gak bisa bicara sambil lihat mata bos sekarang,” gumamnya pelan sebelum kembali duduk.
Seperti dugaannya, Tama pasti lupa apa yang terjadi semalam. Pria itu dikuasai pengaruh alkohol—yang sepengatahuan Dara adalah hal yang paling dihindari Tama karena bosnya itu memiliki toleransi yang rendah akan alkohol.
Yang pasti, semuanya jadi makin menyebalkan. Karena kini, hanya Dara yang ingat semua kejadian kelam semalam.
Tangannya kemudian menarik laci meja, mengambil surat pengunduran diri yang baru selesai ia buat. Menimang-nimang dalam hati, apa harus ia serahkan surat ini ke Tama sekarang?
“Lo tuh diperkosa! Lo harus ngomong lah ke bos lo! Jangan biarin lewat begitu aja. Kalau ada apa-apa sama lo gimana? Kalau bunting lo mau gimana, Dara?”
Masih ia ingat jelas semua perkataan Bonita semalam. Temannya itu menentang keras saat Dara mengatakan memilih menutupi apa yang terjadi semalam, karena terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung.
Mungkin ini akan jadi kali pertama, Dara tidak mengikuti saran dari Bonita saat dia meminta bantuan dari temannya itu.
Tangannya dengan kesal menyambar kantung pelastik dekat komputernya, membuka bungkus roti cokelat yang baru ia beli di kantin kantor sesampainya dia tadi.
Dara masih bisa merasakan manis tadi malam di indekos Bonita. Ia habiskan semua kue yang ia beli secara rakus! Nikmat makanan manis yang sebelumnya ia tidak bisa kecap membuat Dara lupa diri.
Namun sekarang, saat satu gigitan roti cokelat di tangannya itu masuk ke mulut, tubuh Dara menegang dengan tatapan kembali kosong. Tangannya melemas, sampai roti yang ia pegang jatuh begitu saja ke lantai.
“Kok, hambar lagi?” tanyanya pelan dengan tubuh bergidik ngeri.
Sedangkan di dalam ruangannya, Tama masih memusingkan kejadian janggal semalam. Meski samar, dia menduga kalau sesuatu mungkin saja telah terjadi tanpa seingatnya.
Karena rasanya seperti ada bagian yang hilang. Semalam, ia menghabiskan waktu meratapi Ryn, mantan kekasihnya. Tama tidak ingat apa-apa lagi selain telah ia habiskan sebotol scotch whiskey hampir sendirian, seingatnya Zaki—sang adik—hanya minum beberapa sloki sebagai tanda ikut bersimpati.
Lalu kemudian, ia tiba-tiba tersadar sudah di dalam kamarnya.
“Aku harus tanya Ryuzaki, nih,” gumamnya sambil memijat keningnya yang terasa sakit tiba-tiba, sepertinya efek mabuk semalam belum juga pergi.
Brak!
“Pak!”
Tubuh Tama terperanjat saat Dara membuka pintu ruangannya dengan kasar, kemudian suara perempuan itu memanggilnya tadi terdengar seperti memekik.
“Ada apa? Kalau saya jantungan bagaimana?” tanya Tama dengan mata melebar marah. “Saya sudah suruh kamu bikin kopi belum? Saya mau minum kopi.”
Alih-alih melaksanakan perintah Tama, Dara justru berjalan agak tergesa mendekat ke arah bosnya itu. Bahkan tidak cukup sampai di depan meja kerja, perempuan itu memutar melewati meja, berdiri dekat di kursi Tama yang tampak waspada.
“Mau apa kamu? Sana cepat buat kopi!”
Kepala Dara menggeleng samar. “Nanti Pak, itu gampang. Ini lebih penting!”
Jelas saja bantahan Dara itu membuat Tama terperangah. Sekretarisnya itu terkenal menurut, bahkan hampir tidak pernah dia membantah kalau disuruh ini-itu. Sekarang dengan berani, perempuan itu menolak perintahnya dan mengatakan ada hal yang lebih penting?
“Apa yang lebih penting dari tugas yang saya kasih ke kamu?” tanya Tama dengan alis terangkat, tampak berang hampir meledak amarahnya.
“Tolong ciumi saya kayak semalam, Pak. Tolong ciumi saya lagi.”
Mata Tama yang semula sudah melebar, bahkan terbuka lebih lebar lagi. Ternganga mulutnya, tidak percaya dengan permintaan Dara yang baru saja ia dengar.
Dalam hati kemudian ia yakin, kalau memang ada sesuatu yang terjadi semalam.
***
Wajah Dara tampak lesu di mejanya. Setelah dia keluar dari ruangan Tama barulah dia sadar, kalau baru saja tadi dia meminta pada Tama untuk menciuminya secara gamblang. Juga secara tidak langsung, menguak kalau sudah terjadi sesuatu diantara mereka tadi malam.
“Ah! Aku pasti udah gila!” sentak Dara pelan pada dirinya sendiri. “Berani banget aku masuk ke ruang Bos terus minta dicium kayak tadi. Ya ampun, mati aja deh kamu Dara,” lanjutnya sambil memukuli kepalanya sendiri agak keras.
Masih terngiang rasanya di telinga Dara ketika Tama terperangah lumayan lama di kursinya. Sebelum akhirnya, sang bos menggeram. “Apa? Ciumi kamu kayak semalam? Habis kebentur ya kepala kamu?”
Sorot mata Bosnya itu, tidak bisa Dara lupa. Tampak nyalang, bercampur keterkejutan besar dan sedikit menyemburat rona malu di wajahnya.
“Mending kamu siapkan kontrak kerjasama dengan PowerNerf corp sekarang. Astaga! Kamu bahkan gak bacain jadwal saya pagi ini, dan malah minta dicium. Dasar kurang ajar! Penandatanganan kontraknya jam berapa hari ini?”
Yang bisa Dara lakukan tadi hanya merengut sebelum akhir berlari keluar untuk menyelamatkan diri. Seram! Tamada memang dikenal punya tempramen yang buruk. Makanya tidak heran, kalau Dara dikatakan sebagai aset perusahaan paling ajaib. Karena perempuan itu bisa bertahan hampir dua tahun sekarang.
Sebelum Dara, sekretaris Tama sebelumnya paling lama bertahan selama tiga bulan. Bahkan ada yang langsung memohon undur diri setelah baru satu minggu bertugas.
Karena Tama bukanlah pria yang mudah puas.
Suara bel di samping meja Dara berbunyi sekali. Menandakan Sang Bos memanggilnya dari dalam ruangan.
“Aduh! Mau apa lagi, sih? Tadi katanya aku suruh siapin kontrak,” gerutu Dara sebelum ia ketuk pintu ruangan Tama pelan. “Iya, Pak?”
Tangan Tama terangkat saat Dara tampak hendak melangkah masuk lebih dekat, “Disitu saja! Jangan dekat-dekat. Saya serius takut sama kamu.”
Kepala Dara mengangguk patuh, tidak keluar kata apapun dari bibirnya.
“Kirimkan dokumen legal PowerNerf corp ke email saya. Sekalian juga salinan projek game mobile yang mereka tawarkan. Saya mau periksa lagi.”
“Baik, Pak,” jawab Dara pelan sekali.
“Apa?” tanya Tama yang tidak mendengar terlalu jelas.
“Baik, Pak!” ulang Dara jadi agak menyentak.
Sontak saja mata Tama melebar mendengar suara Dara yang meninggi. “Kamu jadi keterlaluan hari ini. Ada masalah pribadi ya di luar kantor? Pulang saja kalau begitu! Saya gak mau kerja sama orang yang gak fokus.”
Bibir Dara mencebik pelan sebelum memaksakan senyum. “Maaf, Pak. Saya bakal lebih fokus lagi. Permisi.”
“Tunggu!” titah Tama menahan sebelum tubuh Dara berbalik menuju kembali ke mejanya. “Kamu hutang penjelasan ke saya. Kenapa bisa tadi kamu dengan kurang ajarnya minta-minta dicium? Setelah pertemuan nanti, kita bicara.”
Di tempatnya Dara termenung agak lama. Pandangan matanya kosong. Sedikit banyak merasa terluka hatinya. Bahkan saat berjalan, rasanya masih tidak nyaman karena apa yang Tama lakukan padanya semalam. Dan pria itu, malah kelihatan tidak ingat sama sekali.
***
“Dampingi aku untuk penandatanganan kontrak dengan PowerNerf corp siang nanti. Bagaimanapun kamu lebih paham tentang game mobile 'kan, Ki?”
Zaki mengangguk paham. “Tapi aku sudah periksa versi beta dari gamenya yang mereka kirim tempo hari kok, Kak. Aku suka.”
“Ya tetap saja. Aku gak mau kelihatan kayak orang dungu di depan mereka nanti. Aku serahkan ke kamu untuk teknisnya. Biar nanti tinggal aku tanda tangan.”
Watanabe Soft merupakan salah satu dari sepuluh perusahaan developer game paling besar di Asia. Pertumbuhan mereka dalam lima tahun terakhir sangatlah pesat. Lebih menarik lagi, perusahaan itu didirikan oleh tiga kakak beradik dari keluarga Watanabe. Yoshirai, Tamada dan Ryuzaki Tedja Watanabe.
Perusahaan ini berbasis di Singapura dan Indonesia. Basis pusat di Jakarta, dipimpin oleh putra kedua dari kakak beradik tersebut, Tamada. Dibantu sang bungsu, Ryuzaki. Sedangkan basis yang baru dikembangkan di Singapura, ditangani oleh kakak tertua mereka, Yoshirai.
“Kemarin Kak Rai telepon aku. Katanya suruh kita cepat-cepat tandatangani kontrak untuk hak paten game mobile ini. Dia kayaknya yakin banget gamenya bakal meledak,” ungkap Zaki sambil menyandarkan punggungnya dengan nyaman. “Naskah kontraknya sudah selesai, kan?”
Mata Tamada melirik ke arah pintu ruang kerjanya. Omong-omong soal kontrak, dia jadi teringat lagi tentang tingkah aneh Dara yang kini tengah menyiapkan naskah kontraknya.
“Omong-omong, semalam kamu pergi dari ruanganku jam berapa?” tanya Tamada terdengar ragu.
Zaki tampak mengingat-ingat sebelum menjawab. “Setengah sebelas, lah. Aku minta tolong Dara buat urus Kak Tama.”
Wajah Tama sontak menegang mendengar itu. Karena jawaban Zaki, jelas berbeda dari apa yang Dara ceritakan padanya. Jelas-jelas perempuan itu tadi pagi bilang, bahwa dia pulang pukul delapan semalam.
Jadi dia berbohong, ucap Tama dalam hati.
“Ada apa?” tanya Zaki yang kebingungan melihat ekspresi sang kakak.
Kepala Tama buru-buru menggeleng. “Enggak. Kamu balik ke ruangan kamu, deh. Kepala aku pusing.”
Meski masih tersisa rasa penasaran, Zaki menurut saja. Izin pamit kemudian pada sang kakak yang hanya menganggukkan kepalanya.
Saat keluar dari ruangan, Zaki terkekeh saat melihat Dara tengah menggerutu seperti bicara sendiri. Sesekali perempuan itu memukuli kepalanya sambil memejamkan mata.
“Gak sakit ya memang? Jangan pukuli kepala kamu kayak begitu.”
Di tempatnya, Dara terlonjak kaget. Langsung berdiri sambil membungkukkan badannya sedikit. Wajahnya bersemu seketika. Dalam hati memuji paras Zaki yang tampan seperti biasanya.
“Untuk tanda tangan kontrak dengan PowerNerf corp nanti, sudah siap?” tanya Zaki dengan senyum tipis terulas di bibirnya.
Wajah Dara menunduk malu. “Sudah, Pak,” jawabnya sambil mengangkat lembaran kertas yang baru ia print.
“Kamu memang bisa diandalkan, ya. Aku jadi iri sama Kak Tama. Rasanya pingin juga punya sekretaris kayak kamu,” puji Zaki sambil matanya menyipit karena senyumnya yang makin melebar. “Jangan lupa kasih ke Kak Tama naskah kontraknya untuk direviu.”
Dara mengangguk paham. “Baik, Pak.”
Sampai Zaki masuk ke dalam lift, Dara masih berdiri di tempatnya. Sebelum akhirnya ia bekap mulutnya dengan lembaran naskah kontrak yang ia pegang. Mengerang senang karena merasa beruntung, bisa melihat wajah Zaki di tengah waktu bekerjanya.
***
Seorang pria setengah baya tengah membaca dengan teliti naskah kontrak sebelum ditandatangani. Di hadapannya, duduk Tama dan Zaki bersisian. Juga ikut mereviu salinan kontraknya.
Di sudut ruang rapat, Dara sudah siap dengan stempel direktur untuk dibubuhkan di atas tanda tangan Tama nantinya.
“Ahhh, Pak Tama ... Maaf, apa memang naskah kontraknya seperti ini?” tanya pria paruh baya itu tiba-tiba.
Tama langsung membuka lembaran-lembaran salinan kontrak yang ia pegang. “Halaman berapa, Pak?”
Pria tadi tidak menjawab, malah dengan agak ragu menyodorkan naskah kontrak yang ia pegang ke hadapan Tama. “Kenapa ada bekas tanda bibir di kertasnya, ya, Pak? Apa memang seperti ini?”
Mata Tama melebar ketika melihat bekas lipstik berwarna merah di sana. Secara spontan matanya melirik ke arah Dara yang malah tengah melamun sekarang. Perempuan itu bahkan mesem-mesem dengan mata terarah kepadanya.
“Astaga! Dia sinting, ya?” tanya Tama berbisik sepelan angin.
Bersambung…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
