
Bagian ketiga dari perjalanan Jupiter dan Audi menemukan makna cinta dan bahagia.
Jupiter menyimpan sebuah rahasia dari Audi. Rahasia yang berhubungan dengan masa lalu mereka dan seseorang yang telah lebih dulu pergi.
Content warning : mild violence, swearing and harsh words, mention of sexual reference
© shalomenulis
Perempuan selalu memiliki tempat yang istimewa dalam hidup gue. Jupiter yang orang-orang kenal saat ini bukan apa-apa tanpa kehadiran mereka. Gue tumbuh bersama tiga perempuan hebat yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda.
Mami yang tegas sekaligus jenaka, selalu menyempatkan diri untuk memasak sarapan atau makan malam meski sibuk bekerja. Venus—kakak gue—yang peka dan kerap menjadi tempat gue bercerita. Dia yang dulu sering gue jahili, tetapi gue sayangi dengan sepenuh hati. Dan Marsha—adik gue—yang dewasa sebelum waktunya. Tetapi di mata gue, dia masih tampak seperti gadis kecil yang selalu merengek minta ditemani bermain rumah-rumahan.
Saat beranjak dewasa, gue kemudian bertemu dengan dua perempuan lain yang nggak kalah hebatnya dari mereka.
Audi yang kerap diremehkan orang-orang karena dianggap memanfaatkan status ayah dan kakaknya, ternyata menjadi yang paling banyak berkontribusi pada sesama. Dia yang menyimpan banyak duka, tetapi nggak pernah absen mendengarkan keluh kesah sahabat-sahabatnya.
Setelah memutuskan resign dari Kementerian dan banting setir menjadi jurnalis, Audi menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menulis—dan menjadi relawan di pelosok Indonesia. Dia sempat mengambil jeda setahun untuk mengikuti program Indonesia Mengajar, sebelum kembali ke Jakarta dan menerbitkan buku pertamanya—kumpulan puisi yang Audi tulis sejak mulai bekerja. Nggak ada yang menyangka puisinya diminati banyak orang dan terjual sampai puluhan ribu eksemplar.
Perempuan berikutnya adalah Yasmin. Dokter gigi kesayangan kami. Dia yang sekilas terlihat paling normal, tetapi justru yang paling gesrek di antara kami berdelapan. Kedua orang tuanya menuntut Yasmin menjadi sosok sempurna, merancang sedemikian rupa setiap milestone dalam hidup perempuan itu, bahkan hingga pekerjaan yang saat ini dia geluti. Nggak ada ruang yang cukup baginya untuk bergerak dan bertumbuh. Nggak heran kalau di dalam tasnya selalu terselip pemantik api dan kotak tembakau—yang sebenarnya lebih sering dipalak Dewa.
Mereka, lima perempuan hebat dalam hidup gue yang membentuk cara pandang gue saat ini. Gue menyayangi mereka dengan porsi yang berbeda, tetapi sama kuatnya. Lima perempuan yang akan gue jaga dengan sepenuh hati. Salah satunya akan menjadi pendamping hidup gue dalam beberapa hari. Gue harap Tuhan memberi gue umur yang panjang untuk mewujudkan janji itu.
***
Di antara kami berdelapan, gue mungkin satu-satunya yang paling jarang menunjukkan kemarahan. Bahkan saat gue benar-benar kesal, gue masih bisa menahan diri untuk nggak mengumpat. Tetapi ada satu peristiwa yang membuat gue marah besar dan hampir kehilangan kendali.
Peristiwa itu terjadi di penghujung tahun 2019. Kala itu gue dan para laki-laki tengah menikmati libur akhir tahun di Bali—sekaligus mengadakan bachelor party kecil-kecilan untuk Hilman yang nggak lama setelah itu menikah. Audi dan Yasmin nggak bisa ikut karena sudah memiliki agenda lain. Kami menyewa sebuah villa di Seminyak. Letaknya nggak begitu jauh dari deretan beach club dan bar yang berjajar di sepanjang jalan.
Karena sehari sebelumnya sudah menghabiskan malam di bar, kami memutuskan untuk melewati malam pergantian tahun dengan mengadakan barbecue party saja di villa. Noel dan Dewa bertugas memasak, Hilman dan Sean menghias taman belakang, sementara gue dan Lucky menyiapkan minuman.
Kami sedang asyik bermain pingpong, saat sebuah kalimat gila tiba-tiba meluncur dari mulut Sean.
"Gue suka sama Audi."
Seluruh kegiatan kami seketika terhenti. Bola pingpong yang semula gue genggam jatuh dan menggelinding sampai kolam renang.
"Bro! Seriously?" seru Lucky.
Gue memilih diam, berharap Sean hanya bercanda—mengingat dia dan Dewa adalah jokester dalam lingkar persahabatan kami. Tetapi jantung gue berdetak dengan cepat, seolah gue baru saja didorong ke tepi jurang dan hanya tinggal menunggu waktu sebelum benar-benar jatuh.
Noel—yang saat itu tengah mengipasi daging di depan alat pemanggang—lantas menoleh ke arah Sean dengan pandangan kesal. "Lu lupa sama janji kita untuk nggak jatuh cinta sama cewek-cewek?"
Janji itu terikrar setahun setelah kami kembali ke Indonesia. Nggak ada yang bisa menyangkal bahwa Audi dan Yasmin adalah dua perempuan yang cantik dan mempesona. Nggak sedikit laki-laki yang mengagumi mereka. Hilman mengusulkan janji itu untuk mengantisipasi terjadinya pertengkaran di antara kami. Karena bukan nggak mungkin suatu saat ada lebih dari satu orang yang akan menyimpan rasa suka pada mereka.
"Terus lo sendiri gimana? Lo juga suka kan sama Yasmin?" Kalimat itu datang bagai sambaran petir di siang hari yang terik. Pandangan kami lantas beralih pada Noel yang seolah kehilangan kata-kata, lalu kembali pada Sean yang kemudian tertawa sumbang. "Nggak usah munafik, No. Gue yakin masing-masing dari kita pernah naksir sama salah satu dari mereka."
"Ngomong apa lo, Njing?!" Dewa yang sejak tadi hanya diam pun ikut tersulut emosi mendengar perkataan Sean.
Hilman mengangkat satu tangannya, mengisyaratkan pada kami semua bahwa saat itu adalah gilirannya bicara. Dengan tenang, laki-laki itu lalu berjalan mendekati Sean.
"Gua paham perasaan lu. Wajar kalau lu diam-diam suka sama Audi. She's lovable," Tangan Hilman lantas bergerak menepuk bahu Sean. "Tapi kita udah janji untuk nggak melibatkan perasaan dalam persahabatan ini. Sebagai laki-laki kita harus bisa menepati janji."
Sean terdiam. Gue nggak tahu apa yang ada di dalam kepalanya sampai pernyataan gila itu tadi bisa terucap dari bibirnya. Gue berusaha untuk nggak menghakimi dia, karena seperti kata Hilman, wajar kalau Sean diam-diam menyukai Audi. She is indeed lovable. Tetapi di saat yang bersamaan, amarah perlahan menyelimuti gue. Amarah yang hingga detik ini masih nggak gue pahami.
Dewa menghela napas panjang, kemudian menambahkan, "Apa lo nggak mikirin perasaan Audi? Dia udah nganggap lo sebagai saudara. Nganggap kita semua sebagai saudara. Apa lo yakin dia punya perasaan yang sama kayak lo? Gimana kalau ternyata nggak, dan perasaan lo bikin dia menjauh? Bukan cuma dari lo, tapi dari kita semua."
"Gua.. emang pernah suka sama Yasmin," Pengakuan Noel membuat kami semua kembali terdiam. "Tapi itu dulu. Gua milih mendam perasaan gua karena gua tahu semua akan jadi kacau kalau gua ngutamain perasaan gua daripada persahabatan kita."
Belum selesai amarah dan keterkejutan kami atas pengakuan Sean dan Noel, Lucky tiba-tiba saja tertawa seperti orang kesetanan. Di kejauhan, semarak menyambut tahun baru terdengar semakin jelas. Musik dan tawa gegap gempita memenuhi sudut-sudut jalan di sekitar villa. Tetapi nggak ada satu pun dari kami berenam yang peduli.
"Fuck friendship! Dari awal emang harusnya kita nggak sahabatan sama mereka. Cowok sama cewek nggak bakal bisa sahabatan tanpa embel-embel cinta tahi anjing!"
Wajah kami semua menegang. Nggak ada satu pun yang menduga Lucky akan berkata demikian. Jantung gue lantas berdetak semakin cepat. Sorot mata gue pun menggelap.
"Lo ngomong apa sih, Luck? Lo pikir kita berenam bisa sahabatan kayak gini karena siapa kalau bukan Audi? Kalau nggak ada dia, lo sama gue mungkin nggak akan saling kenal."
Lucky tertawa meremehkan. "Kuncinya emang di dia, Wa. Dia yang bikin kita sahabatan, tapi dia juga yang ngerusak semuanya."
"Jup! Lo mau ngapain?!"
Teriakan itu samar-samar terdengar bersamaan dengan terjangan gue di tubuh Lucky, hingga kami berdua jatuh di atas rumput dengan posisi tubuh gue berada di atas laki-laki itu. Satu tangan gue kemudian mencengkeram kerah bajunya, sementara tangan yang lain meninju wajahnya dengan amarah yang meluap.
"Bangsat! Ngomong sekali lagi soal Audi kalau lo berani!" teriak gue seraya kembali menghajar Lucky. "Yang suka sama cewek-cewek Sean dan Noel, kenapa lo malah nyalahin Audi yang nggak tahu apa-apa?!"
Tangan gue terus bergerak memukuli Lucky. Persetan dengan semuanya. Yang gue inginkan saat itu hanya menghajar Lucky hingga babak belur supaya dia berhenti bicara omong kosong. Hilman dan Noel sampai harus menarik gue dari atas tubuh Lucky yang sudah terkapar nggak berdaya.
"Jup.. sadar," Hilman berusaha menenangkan gue. "Audi akan sedih lihat lu begini."
"Si bangsat itu ngomong seenak jidatnya, Man." ujar gue frustrasi.
Amarah yang gue rasakan belum hilang. Dada gue masih berkecamuk. Napas gue pun masih memburu. Begitu juga dengan detak jantung gue yang bertalu kencang.
"Iya. Gua tahu. Gua juga marah sama dia. Tapi nggak gini caranya, Jup. You're better than this. Audi nggak akan suka lihat kita berantem kayak gini."
Gue menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan amarah yang masih meluap. Hilman benar. Audi pasti akan sedih kalau melihat gue saat itu. Semarah apapun gue pada Lucky, nggak seharusnya gue menghajar dia. Violence is not the answer. Tetapi saat sudut mata gue menangkap senyum di wajah Sean, amarah gue perlahan kembali.
"Bisa ya lo senyum di saat kayak gini?" ketus gue.
Sean masih tersenyum. Sama sekali nggak ada tanda-tanda penyesalan ataupun rasa bersalah di wajahnya.
"Bajingan!"
Detik berikutnya gue berlari ke arah laki-laki itu, kemudian melayangkan tinju ke wajahnya. Lucky masih terkapar di atas rumput nggak jauh dari kami, sementara tiga sahabat gue yang lain hanya bisa mematung menyaksikan kejadian itu.
Darah langsung mengucur dari hidung Sean. Gue pikir itu akan membuatnya jera dan menyesali perbuatannya malam itu. Tetapi yang gue temukan justru binar bahagia di matanya.
"I knew I was right." gumamnya, tetapi masih bisa gue dengar.
Kening gue mengerut. Sama sekali nggak paham dengan maksud ucapannya.
Bunyi kembang api yang meledak diiringi tiupan terompet mulai terdengar. Tahun sudah berganti, tetapi gue masih terjebak dalam kebingungan dan amarah.
Dengan susah payah, Noel kembali menarik gue dari atas tubuh Sean, kemudian menjatuhkan gue di kolam renang. Dinginnya air kolam seketika menyadarkan gue dari kebodohan yang baru saja gue lakukan. Perih mulai menjalari tangan gue. Saat itulah gue menyadari punggung tangan gue sudah dipenuhi luka. Buku-buku jari gue robek dan berdarah. Gue lantas melarikan pandangan pada mereka berlima. Diam-diam gue bersyukur saat menemukan Lucky tengah dibopong Dewa dan Hilman ke dalam villa, sementara nggak jauh dari mereka, Noel sedang membantu Sean berdiri.
Sampai detik ini, gue nggak tahu apa yang merasuki gue malam itu hingga hampir kehilangan kendali. Lucky dan Sean... Gue nggak tahu apa yang akan terjadi pada mereka saat itu kalau Noel dan Hilman nggak menghentikan gue.
Setelah malam itu, kami berenam seolah sepakat untuk menghindari satu sama lain. Audi dan Yasmin tentu nggak tahu-menahu mengenai peristiwa malam itu—kami sengaja merahasiakannya dari mereka. Kami berdelapan baru bertemu kembali satu bulan kemudian di hari pernikahan Hilman. Tetapi persahabatan kami nggak lagi terasa sama. Semua karena gue terlalu gegabah dan nggak bisa berpikir dengan jernih.
Rasa bersalah dan penyesalan terus menghantui gue. Dan semakin bertambah saat suatu malam di bulan Mei gue menemukan selembar surat dari Sean. Surat yang hingga kini masih menjadi rahasia di antara kami.
***
Minggu nggak pernah terasa sesendu hari itu. Kaki gue seolah nggak mampu lagi menahan beban kala menemukan tubuh nggak bernyawa Sean terbaring di dalam peti kayu. Wajah laki-laki itu tampak tirus dan pucat. Tubuhnya kurus. Jauh lebih kurus dari kali terakhir gue melihatnya di resepsi pernikahan Hilman.
Saat mendapat kabar dari Koh Yohan—kakak Sean—bahwa laki-laki itu baru saja mengembuskan napas terakhir, gue menolak percaya. Seperti Sean, Koh Yohan kerap melontarkan candaan yang sebenarnya nggak lucu. Tetapi pesan WhatsApp Dewa memaksa gue mau nggak mau datang ke rumah duka.
Tangis pilu Audi kemudian terdengar. Dengan langkah terhuyung gue berjalan ke arahnya. Wajah-wajah sedih dan kehilangan memenuhi ruangan. Masker putih yang dikenakan para pelayat nggak mampu menutupi kesedihan dan tangis mereka. Sudut mata gue lantas menangkap Noel yang tengah memeluk Yasmin, berusaha menenangkan perempuan itu. Di sebelahnya, Lucky dan Hilman berdiri mematung menatap tubuh Sean dengan sorot mata kosong. Sementara Dewa berbicara dengan Koh Yohan. Entah apa yang mereka bicarakan. Gue terlalu kalut sehingga memilih melarikan pandangan ke mana saja asal bukan mereka.
"Tsuki.." panggil gue seraya menyentuh bahu Audi.
Perempuan itu nggak langsung menoleh. Audi masih menangisi Sean. Saat gue meremas pelan bahunya, barulah dia menoleh. Matanya sembab. Wajahnya terlihat begitu nelangsa. Audi lantas menenggelamkan wajahnya di dada gue, memeluk gue erat. Gue membalas pelukannya, membiarkan Audi menangis tersedu dalam pelukan gue.
"Sean, Nu.." Pelukan gue di tubuhnya mengerat seiring dengan tangisnya yang terdengar semakin pilu. "Kenapa dia pergi secepat ini? Dia bilang akan jagain gue.. Tapi kenapa dia pergi lebih dulu, Nu?"
Nggak ada yang bisa gue katakan pada Audi untuk menghiburnya. Sama sepertinya, gue pun merasakan duka yang mendalam. Sesal mendera, terlebih ketika mengingat bagaimana gue memukuli Sean malam itu.
Potongan isi surat yang Sean kirimkan pada gue satu minggu sebelumnya tiba-tiba melintas di kepala gue.
Gue titip Audi ya. Tolong jaga dia.
Damnit! Jadi ini maksud Sean meminta gue menjaga Audi.
Perlahan tangan gue bergerak mengusap rambutnya, berharap gestur itu bisa memberi Audi sedikit penghiburan dan kekuatan.
Pandangan gue lantas beralih pada Sean. Wajahnya tampak damai. Sudah nggak ada lagi rasa sakit yang laki-laki itu rasakan. Seharusnya gue bahagia untuknya, tetapi fakta bahwa Sean selama ini menyembunyikan penyakitnya dari kami membuat dada gue terasa sesak. Kami terlalu sibuk dengan hidup masing-masing hingga nggak menyadari salah satu sahabat kami mengidap penyakit kronis.
Kami bertujuh masih berada di rumah duka hingga sore menjelang. Sebelum peti ditutup, satu per satu dari kami mengucapkan salam perpisahan pada Sean. Audi dan Yasmin mengecup kening dan pipi dingin Sean untuk terakhir kali, sementara gue dan yang lain mengusap rambutnya penuh kasih.
Maafin gue, Sean. Maaf lo harus melalui rasa sakit itu sendirian. Gue akan menjaga Audi seperti yang lo minta. Selamat berpulang ke rumah Bapa. Semoga kasih-Nya menerangi jalan lo.
Air mata yang sejak pagi berusaha gue bendung akhirnya jatuh membasahi pipi kala peti kayu berisi jasad Sean terbenam di dalam tanah. Isak tangis kembali terdengar. Sepertinya memang nggak ada yang siap melepas laki-laki itu pergi. Audi meremas pelan tangan gue, mencari kekuatan. Gue lantas merengkuhnya ke dalam pelukan, membiarkannya kembali membasahi kemeja gue. Yasmin nggak lagi menangis. Dia dan Noel hanya bergeming di tempat mereka berdiri. Satu batang rokok yang masih menyala terselip di antara jemari Yasmin, sementara tangannya yang lain menggenggam tangan Noel, berbagi kesedihan sekaligus kekuatan. Sementara nggak jauh dari kami, Hilman dan Dewa tengah merangkul Lucky. Selain Audi, di antara kami, Lucky memang yang terlihat paling terpukul atas kepergian Sean.
Rasanya seperti mimpi menyadari salah satu sahabat gue benar-benar sudah tiada. Sean kami yang ceria sudah kembali ke rumah Bapa. Hanya kenangan bersamanya yang kini masih tersisa.
***
Jakarta, Juli 2023
Rasanya belum ada satu jam gue tidur ketika tiba-tiba mendengar bel apartemen gue berbunyi. Perlahan gue mengerjap, kemudian menggeliat seraya menyibak selimut.
Bel kembali berbunyi. Kali ini diikuti sebuah suara yang familier dan bunyi ketukan pintu.
"Bro! Bukain. Lu ngapain sih?"
Gue bergeser ke tepi kasur, lalu melirik digital clock di atas nakas. Pukul 13.20.
Serius gue tidur selama itu? Gue kira sekarang masih jam 10.
"Bro!" Suara itu kembali terdengar.
Gue lantas turun dari kasur, menyambar kaus yang tersampir di kursi, lalu bergegas membuka pintu. Wajah tengil Noel muncul dari balik pintu tepat ketika gue selesai mengenakan kaus.
"Lama amat buka pintu doang." komentarnya seraya melangkah masuk.
"Sorry," Gue lalu menutup pintu dan beranjak menuju dapur. "Lo tahu dari mana gue di sini?"
Noel menyandarkan punggungnya di sofa, kemudian tersenyum lebar. "Freya."
"Freya teman sekantor gue?" tanya gue dengan alis terangkat.
Noel mengangguk.
"Lo kenal dia dari ma—" Gue buru-buru menggeleng. "Nggak perlu dijawab, gue udah tahu jawabannya,"
Senyumnya semakin lebar, menandakan dugaan gue benar. Freya pasti salah satu teman kencan Noel, partner seks lebih tepatnya. Entah sejak kapan gaya hidup Noel jadi semakin bebas. Kalau saat mahasiswa dulu dia hanya sesekali clubbing bersama kami, kini hampir setiap minggu dia clubbing dan hooking up dengan perempuan random yang dia temui di bar. Gue dan sahabat-sahabat kami yang lain sudah berulang kali menasihatinya. Tetapi karena nggak kunjung didengar kami akhirnya menyerah.
"Terus lo pakai access card siapa? Resepsionis di lobby?"
Untuk bisa menaiki lift dan menggunakan fasilitas di apartemen gue, setiap orang membutuhkan access card yang hanya dimiliki penghuni apartemen. Tamu maupun kurir biasanya nggak diperbolehkan naik, kecuali penghuni apartemen sudah memberi izin. Itu pun masih harus ditemani security.
"Teman kencan gua ada yang tinggal di sini. Gua pinjam punya dia,"
Gue menghela napas pasrah. I should've known.
"Muka lu kenapa kusut gitu? Semalam nggak dikasih jatah sama Audi?" canda Noel sambil meraih remote dan menghidupkan TV.
Gue mendengus. "Emangnya lo. Gue kayak gini karena baru bangun tidur."
"Ah, masa?"
Gue memilih mengabaikannya dan fokus membuat kopi. Selain tidur dan olahraga, hanya minuman berkafein itu yang mampu membuat tubuh dan pikiran gue tetap segar dan waras.
"Sekalian makan sama mandi. Jam empat kita cabut."
Kening gue mengerut. "Cabut ke mana?"
Gue nggak ingat pernah membuat janji dengan Noel hari ini.
"Bachelor party lulah." jawabnya sambil menaik-turunkan alis.
"Apaan? Gue nggak pernah setuju soal itu."
Gue memang nggak berencana mengadakan bachelor party. Kami berenam sudah bertemu beberapa minggu lalu untuk mengobrol dan makan bersama. Seharusnya itu cukup kan?
"Setuju atau nggak, lu tetap harus ikut. Gua sama anak-anak udah nyiapin semuanya."
"Ogah. Kalau nggak clubbing, pasti lo ngundang stripper. Mending gue tidur." ujar gue seraya duduk di bar stool dan menyeruput kopi.
Minuman berkafein ini memang nggak pernah gagal membuat perasaan gue lebih baik.
"Nggak. Tenang aja. Kali ini aman. Hilman kan udah nikah. Nggak mungkin gua sewa stripper. Bisa digebuk Naura gua."
Naura adalah istri Hilman. Junior gue dan Hilman dulu di ITB. Mantan biduan kampus bermulut pedas yang kerap menjadi partner debat laki-laki itu hingga sekarang.
"Siapa aja yang ikut?"
"Yang pasti kita berempat. Koh Yohan sama Bang Ben kayaknya juga mau ikut. Tapi masih tentatif. Lu siap-siap aja dulu. Jam empat kita cabut."
Gue menghela napas pasrah. Sepertinya gue memang harus ikut. Mereka sudah meluangkan waktu untuk datang. Masa gue malah absen.
"Gue mandi dulu. Kalau lo mau kopi tinggal bikin. Terus kalau lapar pesan aja. Nanti biar gue yang bayar."
Noel mengacungkan jempol. "Beres. Santai aja, Bro. Masih lama ini. Take as much time as you need. I'll still be here when you're done."
Gue hanya mengangguk seraya memasukkan mug yang tadi gue pakai ke dalam dishwasher, kemudian beranjak menuju kamar.
***
Gue dan Noel baru meninggalkan apartemen pukul 16.20. Macet tentu nggak terelakkan, mengingat saat ini sudah mendekati jam pulang kantor. Butuh waktu hampir satu jam bagi kami hingga akhirnya tiba di tujuan. Padahal lokasinya nggak terlalu jauh dari apartemen gue.
Dewa, Koh Yohan dan Bang Ben—kakak Audi—sudah menunggu di dalam saat kami memasuki private room Ochanomizu to Kōhii—coffee shop milik Noel yang selama dua tahun terakhir menjadi basecamp kami. Namanya memang terinspirasi dari Stasiun Ochanomizu tempat kami berdelapan pertama kali bertemu, tetapi diplesetkan agar terdengar catchy. Bangunan ini terbagi menjadi dua lantai. Lantai bawah untuk coffee shop dan lantai atas untuk studio foto.
"The groom to be is finally here, guys." ujar Noel seraya menutup pintu.
Dewa, Koh Yohan dan Bang Ben seketika menoleh ke arah kami. Gue tersenyum dan bergegas menghampiri mereka. Di atas meja berjajar tiga box pizza, dua bungkus keripik, satu snack platter, serta belasan kaleng soda dan bir. Gue yakin yang terakhir pasti ulah Noel.
"Udah lama, Bang, Koh?" sapa gue seraya memeluk Bang Ben dan Koh Yohan bergantian.
"Baru aja kok. Dewa nih yang udah nunggu dari tadi." Bang Ben mengedikkan kepala ke arah Dewa yang masih duduk di sofa.
Gue beralih menyapa laki-laki itu, lalu duduk di sebelahnya.
"Tinggal tiga hari lagi nih, Pit, Gimana perasaan lu? Deg-degan, nggak?" tanya Koh Yohan begitu gue menyandarkan punggung di sofa.
Gue menghela napas pasrah.
Pertanyaan itu lagi.
Koh Yohan adalah orang kesekian yang menanyakan itu pada gue minggu ini. Marsha, teman-teman kantor hingga Bapak dan Ibu bos sudah memberondong gue dengan pertanyaan serupa beberapa hari sebelumnya. Kalau boleh jujur, gue sama sekali nggak merasa gugup. Karena gue tahu selain status, nggak akan ada yang berubah dari hubungan gue dan Audi.
Everything will be just fine, right?
Unless I failed to make Audi happy.
Fuck! What should I do?
Gue berusaha tersenyum, seolah nggak ada pikiran negatif yang baru saja melintas di kepala gue. "Ya gitu deh, Koh. Deg-degan dikit pasti adalah. Tapi dibawa santai aja."
Koh Yohan hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Yang deg-degan kayaknya si Au, Han. Itu anak tiap pulang ke Depok pasti minta tidur bareng Nyokap atau gue. Katanya kalau sendirian nggak bisa tidur, ingat persiapan nikah yang seabrek." ujar Bang Ben.
Koh Yohan, Dewa, dan Noel tertawa, sementara gue tersenyum masam, merasa bersalah pada Audi. Seharusnya gue lebih memperhatikan dia. Padahal yang akan menikah kami berdua, tetapi hanya Audi yang sibuk mengurus persiapan pernikahan kami. Gue jadi menyesal sudah menolak ajakannya untuk menemui keluarga gue di hotel.
Diam-diam gue mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu mengirim pesan WhatsApp pada Audi.
"Ya elah. Baru keluar bentar udah laporan aja sama calon istri." cibir Dewa, diikuti tawa empat laki-laki lainnya.
Gue berdecak. Sepertinya Dewa masih kesal karena kami batal mengunjungi Machu Picchu. Sebelum gue melamar Audi, kami berenam memang berencana traveling ke Peru. Audilah yang mengusulkan ide itu sebagai permintaan maaf karena gue dan dia nggak mengajak Dewa dan yang lainnya traveling ke Tokyo awal tahun ini. Awalnya hanya Noel yang ingin ikut—demi menambah koleksi fotonya untuk pameran yang rutin laki-laki itu adakan dua kali dalam setahun—tetapi pada akhirnya kami semua sepakat untuk pergi bersama, termasuk Hilman yang sudah jarang traveling overseas sejak memiliki anak. Sayangnya, rencana itu hanya berakhir menjadi wacana.
Koh Yohan lalu menepuk bahu gue. "Bau-baunya bakal lebih bucin dari Hilman nih."
"Dari dulu juga udah bucin, Han. Au kalau lagi liputan di luar negeri suka tiba-tiba disamperin." Bang Ben ikut meledek gue.
"Hah? Emang iya, Jup?" tanya Dewa nggak percaya.
Noel dan Koh Yohan pun tampak terkejut mendengar cerita Bang Ben.
Kening gue mengerut. Memangnya ada yang salah dengan itu? Gue memang cukup sering dinas di luar negeri. Kebetulan saja destinasi liputan Audi berdekatan dengan negara tempat gue dinas, makanya sebelum pulang gue menyempatkan diri menemui perempuan itu—sekaligus liburan. Sudah hampir satu dekade gue dan Audi bersahabat. Wajar kan kalau gue begitu? Lagipula gue hanya sesekali melakukannya. So it shouldn't be a big deal.
"Iya, Wa. Audi pernah cerita ke gua," Mendengar suara Hilman, kami semua lantas menoleh ke arah pintu. Laki-laki itu baru saja memasuki ruangan. "Sorry telat. Tadi jemput si kembar dulu di daycare."
Si kembar yang dimaksud Hilman adalah Malika dan Mirza, keponakan kesayangan gue. Saat sedang libur, biasanya gue dan Audi mengunjungi rumah Hilman untuk bermain dengan mereka.
"Ini dia yang kita tunggu-tunggu," sapa Koh Yohan sambil menepuk bahu Hilman. "Sehat, Man?"
"Alhamdulillah sehat, Koh. Om sama tante sehat?"
Koh Yohan mengangguk. "Puji Tuhan sehat. Gua malah yang sering encok sekarang."
Bachelor party gue akhirnya dimulai dengan menonton siaran ulang Liga Inggris. Gue sebenarnya nggak terlalu suka sepak bola. Hanya sesekali menonton saat senggang. Terakhir kali gue menonton pertandingan sepak bola adalah saat final Piala Dunia tahun lalu. Argentina lawan Perancis yang tentu saja dimenangkan Argentina. Sambil menonton, kami menikmati makanan dan minuman yang tersaji di meja. Pilihan gue jatuh pada pizza dan soda. Biasanya gue memilih bir, tetapi karena tiga hari lagi akan menikah, gue berusaha menahan diri demi kesehatan—lebih tepatnya karena gue nggak ingin dimarahi Audi.
"Pit," panggil Bang Ben. Gue menoleh, menunggunya menyelesaikan kalimat. "Ngobrol sebentar yuk di luar."
Gue mengangguk, lantas mengikutinya berjalan keluar ruangan. Diam-diam gue menarik napas dalam-dalam, bersiap mendengar apapun yang akan laki-laki itu katakan. Meskipun kami dekat, Bang Ben tetaplah kakak Audi, jadi wajar kalau laki-laki itu merasa perlu mengajak gue bicara sebelum gue resmi menikahi adiknya
"Muka lo biasa aja, Pit. Tegang amat. Kayak lagi sidang skripsi aja." ledek Bang Ben seraya terkekeh.
Gue tersenyum kikuk. Merasa bodoh karena sempat mengira dia akan menceramahi gue.
"Sorry. Jadi mau ngomong apa, Bang?"
"Gue cuma mau bilang makasih karena beberapa tahun ini lo udah gantiin posisi gue dan Bokap jagain Au,"
Seperti mendiang Om Guntur, Bang Ben berprofesi sebagai diplomat dan bekerja jauh dari Indonesia. Dalam setahun mungkin hanya dua atau tiga kali dia pulang. Nggak heran kalau sampai saat ini Bang Ben masih sendiri.
"Jujur aja, gue khawatir Au nggak akan nikah. Lo tahu sendiri anak itu keras kepala. Mantan-mantannya juga banyak yang brengsek,"
Gue tersenyum, mengamini ucapan Bang Ben. Audi memang sering salah memilih pacar. Selain insecure karena kehadiran gue, nggak jarang mereka menyalahkan Audi atas sesuatu yang berada di luar kendalinya. Hanya karena mereka memiliki ego yang fragile.
"Sekarang gue bisa tenang karena sudah ada lo yang akan selalu jagain dia. Au itu the best and worst version dari Bokap Nyokap, jadi lo harus sabar menghadapi dia. Gue nggak akan minta lo untuk bahagiain dia karena kebahagiaan itu tanggung jawab masing-masing. Selama lo selalu ada di sisinya, nggak selingkuh, dan nggak menyakiti hatinya, gue yakin pernikahan kalian akan baik-baik aja."
Bang Ben kemudian menepuk bahu gue, sementara gue hanya diam, merenungi ucapannya.
"Sebelum meninggal, Bokap pernah bilang ke gue. Nikah itu nggak gampang. Ibarat naik rollercoaster, suami dan istri akan melalui track yang berkelok dan naik-turun. Nggak peduli sesiap apapun mereka, akan ada masa di mana mereka merasa nggak nyaman. Pada akhirnya hanya mereka berdua yang bisa menentukan akan seperti apa pernikahan mereka nanti. Menyenangkan dan nggak terlupakan, atau penuh penyesalan dan kekecewaan."
Bahu gue mendadak terasa ringan, seolah beban berat yang beberapa bulan ini gue rasakan perlahan terangkat. Bang Ben benar. Kebahagiaan adalah tanggung jawab masing-masing. Bukan berarti gue nggak akan berusaha membahagiakan Audi. Tetapi kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat personal dan semestinya diusahakan bersama. Kalau gue ingin Audi bahagia, maka gue dan dia harus mengusahakannya bersama. Dan itu dimulai dengan jujur pada perempuan itu soal rahasia gue dan Sean.
The question is.. when should I tell her?
***
Glosarium
Ochanomizu : air seduhan teh (Bahasa Jepang)
To : dan (Bahasa Jepang)
Kohii : kopi (Bahasa Jepang)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
