
we can't







Author POV
Langit sudah gelap ketika Orm dan Namtan akhirnya tiba di villa yang seharusnya menjadi tempat liburan Orm dan Ling. Orm turun dari mobil dengan perasaan campur aduk—cemas, takut, dan penuh penyesalan. Hatinya terus dipenuhi oleh kekhawatiran tentang Ling.
Matanya menatap sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan kekasihnya. Namun, villa itu tampak sepi, terlalu sunyi untuk tempat yang seharusnya sudah ditempati sejak pagi.
"Namtan, kamu tidak sedang mengerjaiku, kan? Ling tidak ada di sini." suara Orm terdengar sedikit geram, bercampur dengan kepanikan yang makin menjadi-jadi.
Namtan menggeleng cepat. “Benar, Miss. Ini adalah villa kalian. Seharusnya Mrs. Kwong menginap di sini. Saya sendiri yang diminta menyiapkannya.”
Orm menggigit bibirnya, kedua tangannya terkepal. Ia mulai mondar-mandir di halaman villa, pikirannya semakin kacau.
"Apa mungkin Mrs. Kwong ada di pantai sekarang?" tebak Namtan ragu-ragu.
Orm menoleh cepat, ekspresinya penuh pertimbangan. “Sedang apa dia di pantai malam-malam begini?”
“Kita tidak pernah tahu, Miss.”
Orm terdiam sejenak, lalu mengingat sesuatu.
"Tapi itu mungkin benar…" gumamnya pelan. “Dia ingin mengajakku ke pantai… mungkin dia benar-benar di sana.”
Seketika, Orm menjadi lebih antusias. “Ayo kita bergegas, Namtan!”
Tanpa membuang waktu, mereka kembali masuk ke mobil dan melaju ke arah pantai dengan kecepatan tinggi.
Sepanjang perjalanan, Orm tidak bisa berhenti menatap keluar jendela, mencari-cari sosok yang sangat ia rindukan. Namun, sejauh mata memandang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Ling.
"Kamu di mana, sayang…" gumamnya pelan, jemarinya saling meremas, tubuhnya terasa panas dingin.
Namtan menoleh sekilas, melihat betapa khawatirnya Orm. “Tenang, Miss. Mrs. Kwong pasti baik-baik saja.”
Namun, Orm tidak bisa menenangkan hatinya.
Saat akhirnya nereka sampai merasakan angin malam berhembus lembut, membawa aroma asin laut yang bercampur dengan rasa gelisah yang kian menyesakkan dada Orm. Langkahnya semakin tergesa, matanya liar menelusuri setiap sudut pantai yang gelap, berharap menemukan sosok yang sejak tadi dicarinya.
"Kamu di mana, sayang…?" gumamnya pelan, kedua tangannya meremas satu sama lain, jemarinya mulai gemetar tak karuan.
Di sampingnya, Namtan tetap berusaha menenangkan, meski ia tahu seberapa dalam kepanikan yang dirasakan oleh wanita di sebelahnya.
Namtan, yang menyusul di belakang, merasa perih melihat wanita dihadapannya menangis, karena ia tahu seberapa berartinya wanita ini bagi Caponya. “Miss, kita pasti menemukannya. Tolong jangan menangis.”
Namun, ketakutan Orm tak bisa dikendalikan. Ini sudah larut malam, dan Ling masih belum ditemukan. Ia menyesali kebodohannya yang telah melupakan janji mereka—hal yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Saat mereka berjalan semakin jauh ke arah selatan, samar-samar, Orm menangkap percakapan dua orang nelayan tua yang berdiri tak jauh darinya.
"Kau lihat wanita tadi? Dia sudah duduk di sana selama enam jam tanpa bergerak sedikit pun."
Jantung Orm seakan berhenti berdetak. Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat, mendekati mereka dengan wajah penuh kecemasan.
"Permisi… di mana kalian melihat wanita itu?" tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar.
Salah satu dari mereka tampak terkejut, namun tetap mengangkat tangannya dan menunjuk ke suatu arah.
"Di sana… tidak jauh dari sini."
"Terima kasih."
Orm langsung berlari ke arah yang ditunjukkan, langkahnya terburu-buru, air mata menggenang di sudut matanya.
"Ling… aku datang…" gumamnya dengan suara tercekat.
Setelah melewati beberapa batuan karang, akhirnya Orm melihat seseorang duduk bersandar di sebuah batu besar, tubuhnya diam, menatap laut tanpa ekspresi.
"Ling?"
Suara Orm terdengar lirih saat ia akhirnya berdiri tepat di depan kekasihnya. Napasnya tersengal, dadanya sesak melihat sosok Ling yang tampak begitu rapuh di hadapannya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menarik Ling ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku, sayang… sungguh, maafkan aku…" ucapnya, suaranya bergetar penuh penyesalan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi bahunya.
Namun, yang membuat hatinya semakin hancur adalah… pelukan itu tidak dibalas.
Perlahan, Orm melepaskan dekapannya, menatap wajah kekasihnya yang kini tersenyum lembut… tapi ada sesuatu yang hilang di sana.
"Sudah berapa lama kamu di sini? Apa kamu tidak kedinginan? Ayo kita ke villa, setelah itu kita bisa bicara di sana." ujar Orm, berusaha menahan gemetar dalam suaranya.
Ling menatapnya dalam, kemudian tersenyum tipis. "Orm…"
Orm mengerutkan kening. "Ada apa, sayang?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. "Aku tahu aku salah, tapi kita bisa membicarakannya nanti, ya? Sekarang kita harus ke villa dulu, aku tidak mau kamu jatuh sakit."
Ling menggeleng pelan. "Bisakah kamu duduk sebentar?" pintanya.
Orm terdiam, perasaan tidak nyaman mulai menjalari hatinya. Tapi akhirnya, ia mengangguk. "Baiklah… tapi hanya sebentar, oke?"
Ling mengangguk, dan Orm duduk di sampingnya. Angin pantai kembali bertiup, membawa udara dingin yang semakin menusuk.
"Kenapa kamu begitu khawatir?" tanya Ling tiba-tiba.
Orm menoleh, menatap wajah kekasihnya yang masih menatap lurus ke lautan luas.
"Tentu saja, kamu adalah kekasihku." jawab Orm tanpa ragu.
Ling menghela napas pelan. "Jika aku bukan kekasihmu, apakah kamu masih akan khawatir?"
Orm mengernyit. "Pertanyaan macam apa itu? Aku mencintaimu, tentu saja aku khawatir. Itu hal yang wajar, kan?"
Ling akhirnya menoleh, menatap Orm dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Kamu mencintaiku?"
Orm tersenyum lembut. "Sangat mencintaimu, Ling."
Namun, bukannya merasa lega, raut wajah Ling justru semakin dipenuhi keraguan.
"Benarkah?" tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.
Orm mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Apa yang membuatmu ragu? Karena hari ini? Aku tahu aku salah, aku tahu aku mengecewakanmu. Tapi aku tidak bermaksud melupakan rencana kita. Sungguh, aku minta maaf…"
Ling menggeleng. “Aku rasa… kita tidak bisa terus seperti ini.”
Ia menatap Ling dengan mata melebar, detak jantungnya berpacu tak karuan.
"Apa maksudnya?" tanyanya dengan suara serak.
Ling menghembuskan napas berat, sebelum akhirnya menatap Orm dalam-dalam. "Kita batalkan saja pernikahan ini."
Detik itu, Orm merasa dunianya runtuh.
Orm menatap Ling dengan ekspresi tak percaya. Suara ombak yang berdebur terasa jauh, seakan tak lagi nyata.
"Ti… tidak…" suaranya tercekat. "Kamu bercanda, kan?"
Ling menggeleng pelan. "Aku rasa… kamu butuh seseorang yang bisa benar-benar berdampingan denganmu. Dan bukan aku orangnya."
Orm menggeleng keras, air matanya semakin deras mengalir. "Tidak, Ling! Aku tidak mau! Aku tahu aku banyak salah, aku tahu aku menyakitimu… tapi tolong, jangan menyerah pada kita. Kita bisa memperbaikinya, aku berjanji… aku berjanji akan lebih baik lagi! Kita perbaiki ini bersama, sayang…"
Ling tersenyum tipis. "Jangan menangis, Orm… kita masih bisa berteman."
"Tidak!" Orm kembali menggeleng. "Aku tidak mau hanya jadi teman, Ling! Aku tidak akan bisa…"
Ling menatapnya penuh kelembutan. "Sebelumnya kita juga berteman, kan? Dan aku tidak pernah meninggalkanmu…"
Orm merasa dadanya semakin sesak. Ia membayangkan… bagaimana jika suatu hari Ling jatuh cinta pada orang lain? Bagaimana jika Ling memberikan senyuman dan perlakuan lembutnya pada orang lain, seseorang yang bukan dirinya?
Tidak… ia tidak sanggup.
Tepat saat Orm ingin berbicara, tubuh Ling tiba-tiba oleng, jatuh bersandar di pundaknya.
"Ling?!"
Orm panik, segera menoleh dan menepuk pipi kekasihnya.
"Ling! Kamu kenapa?! Bangun, sayang!"
Namun, Ling tetap diam.
Panik semakin melandanya. Napas Orm memburu, tangannya menggenggam erat tubuh kekasihnya yang terasa begitu dingin.
"NAMTAN!" teriaknya histeris.
Tak butuh waktu lama, Namtan berlari mendekati mereka.
"Ada apa, Miss?!"
"Ling pingsan! Cepat bantu aku membawanya ke villa!"
Namtan segera mengangkat tubuh Ling, sementara Orm terus menggenggam tangan kekasihnya erat, matanya berkaca-kaca.


Author POV
Setelah tiba di villa, Orm segera meminta Namtan untuk merebahkan Ling di kasur. Nafas Orm masih memburu, kepanikannya belum mereda. Tatapan matanya penuh kecemasan saat melihat Ling yang tampak pucat, kelopak matanya tertutup rapat, dan tubuhnya terasa dingin saat disentuh.
Namtan, yang mengerti bahwa Orm ingin merawat Ling secara langsung, memilih untuk keluar dari kamar, memberi mereka ruang.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Orm mengambil pakaian bersih dari koper Ling, lalu dengan hati-hati mengganti pakaian kekasihnya agar lebih nyaman. Ia menyalakan pendingin ruangan, lalu mengambil minyak angin dan mengoleskannya di sekitar hidung Ling, berharap itu bisa sedikit membantu.
Hanya itu yang bisa Orm lakukan untuk pertolongan pertama saat seseorang pingsan. Namun hatinya tidak tenang.
Tidak butuh waktu lama sebelum tubuh Ling mulai bergerak. Orm langsung mendekat dengan mata berbinar penuh harapan.
Namun, begitu Ling membuka mata, ia tampak tergesa-gesa bangkit dari tempat tidur dan berlari ke arah kamar mandi.
"Ling!" panggil Orm, ikut bangkit dari duduknya, tapi tidak berani menyusul.
Tak lama kemudian, terdengar suara muntah dari dalam kamar mandi.
Orm meremas tangannya sendiri. Kekhawatiran makin menjalari dadanya. Apa dia masuk angin? Atau mungkin karena terlalu lama berada di pantai?
Setelah beberapa saat, Ling keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih pucat dari sebelumnya. Langkahnya pelan, seakan tubuhnya tidak lagi memiliki tenaga. Tanpa berkata apa pun, ia kembali ke kasur dan berbaring, membelakangi Orm.
Orm menatapnya penuh kebingungan. Ling bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arahnya.
Hening.
Tiba-tiba, suara lembut tapi dingin terdengar.
"Bisakah aku minta tolong panggilkan Namtan?"
Orm mengerjap pelan, lalu mengangguk. Walaupun hatinya sedikit perih, ia tidak ingin membuat Ling semakin tidak nyaman. Dengan langkah berat, ia keluar dari kamar dan mencari Namtan.
"Namtan… Ling mencarimu."
Namtan yang sejak tadi menunggu di luar, langsung mendekati Orm. "Ada apa, Mrs. Kwong?" tanyanya dengan sopan saat memasuki kamar.
Ling menghela napas sebelum akhirnya menjawab, "Bisakah kamu meminta Dr. Film untuk datang?"
Orm yang masih berdiri di ambang pintu langsung mengernyit. Film? Kenapa harus dia? apa yang aku tidak tahu?
Namtan hanya mengangguk. "Baik, Mrs. Kwong. Saya akan segera menghubunginya."
Setelah Namtan keluar untuk menelpon Film, Orm melangkah mendekat ke tempat tidur, mencoba membaca ekspresi Ling yang kini masih membelakangi dirinya.
"Ling…" panggilnya pelan, hampir seperti bisikan.
Ling tidak langsung menjawab, seolah sedang berpikir. Lalu, dengan suara yang datar dan lembut, ia berkata, "Orm, sebaiknya kamu istirahat… bukankah kamu lelah setelah seharian penuh bekerja?"
Orm terdiam.
Bagaimana mungkin ia bisa beristirahat ketika hatinya masih begitu kacau?
Orm menggigit bibir bawahnya, lalu berkata dengan nada yang hampir tak terdengar, "Aku masih ingin bersamamu…"
Ling akhirnya menoleh, tapi tatapannya kosong. Dingin.
"Bisakah kamu meninggalkanku sendiri? Aku ingin istirahat."
Dan saat itu juga, Orm merasa seperti ada pisau yang menusuk hatinya.
Ling… meminta untuk ditinggalkan sendirian?
Tidak pernah sebelumnya Ling mengatakan hal seperti itu. Biasanya, saat Ling merasa buruk atau mengalami mimpi buruk di malam hari, ia selalu menarik Orm lebih dekat, memohon agar tidak ditinggalkan.
Namun sekarang…
Orm menelan ludah. Tidak, ini pasti karena Ling masih lelah.
Dengan suara lemah, ia mencoba bernegosiasi, "Aku tidak akan mengganggumu, beristirahatlah… tapi biarkan aku di sini."
Ling tetap menatapnya dalam diam.
Lalu, dengan nada yang lebih dingin dari sebelumnya, ia berkata, "Malam ini saja… biarkan aku sendiri."
Orm terpaku.
Dan saat itu juga, ia menyadari sesuatu yang lebih menyakitkan daripada amarah Ling.
Ini bukan tentang kelelahan. Bukan tentang sakit fisik.
Ling sedang menjauh.
Orm mengepalkan tangannya di samping tubuhnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil—walau hatinya terasa seperti hancur berkeping-keping.
"Baiklah… jika butuh apa-apa, katakan saja. Aku akan tidur di sofa depan."
Sebelum pergi, Orm memberanikan diri untuk mengelus surai lembut Ling, mengusapnya dengan penuh kasih sayang seperti yang biasa ia lakukan.
Namun Ling tetap diam.
Tanpa menunggu jawaban, Orm melangkah keluar, menutup pintu dengan perlahan.
Dan begitu pintu tertutup, tanpa ia sadari, air mata Ling akhirnya jatuh.
Suaranya bergetar saat ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Mungkin memang ini yang terbaik…”

Ahay cie nangis wkwkwkwk
Terimakasih sudah membaca😘
Jangan Lupa Likenya❤❤!!!
–––
Terimakasih yang sudah memberi TIP🤑
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
