
Diam-diam Dia Suamiku (bab 5. Kost Purnama dan bab 6. Vein C. Jaelani)
Bab 5. Kost Purnama
Otak buntuku hampir pecah.
Besok adalah jadwal ujian bersama Dokter Sanjay. Bagian sedihnya, aku tidak bisa memasukkan apapun yang kubaca ke kepala. Satu ruangan ukuran 4x4 meter persegi dari dua puluh kamar ukuran sama di rumah ini, telah penuh buku berjejeran di setiap sudut. Aku sudah mencicil membacanya setiap hari. Giliran sekarang mau mengulang, bagaimana semua hafalanku mendadak menguap begitu saja?
Aku beranjak. Berpindah dari kamar cat biru telur asin, menuju ke kamar dengan wallpaper bunga-bunga dandelion di sebelah. Kamar Alana.
Alana adalah orang rapi. Tidak jauh beda seperti Dokter Heart. Super perfeksionis. Tidak boleh ada benda berceceran di kamar. Semua tepat berada pada letaknya. Sampai kerudung saja, Alana urutkan sesuai tone gradasi warna.
Teman baikku itu sedang membaca novel, ketawa-ketiwi di kasurnya, masih memakai piyama di hari Minggu. Cerah-ceria sekali. Ujian Cardiology-nya sukses hari kemarin. Aku jadi ingin merutuki nasib, mengapa ujianku jatuh di hari Senin. Kamar Sasi sendiri kosong saat kulirik dari koridor. Sahabat ceplas-ceplosku itu mendapat shift jaga malam. Seharusnya sih, jam segini, Sasi sudah pulang. Apa mungkin, dia lanjut molor di kamar koas saking tidak kuat jalan ke kost? I don't know.
"Na. Keluar yuk?" rengekku langsung mendarat di sisi ranjang sebelahnya. Tidur terlentang menatap langit-langit bertabur bintang flouresensi.
"Eh? Lo ujian kan besok?"
"Otak gue sumpek. Gue butuh refresh. Healing."
Alana terkekeh. "Dimana-mana healing itu abis ujian, Pin. Mana ada sebelumnya?"
Alana menjawab tanpa melihatku. Matanya terpekur di halaman tengah novel. Aku berbalik. Penasaran ingin ikut membaca. 2 halaman mengikuti kecepatan baca Alana, aku menyerah. Bahkan menjejalkan isi novel ke kepalaku saja kesulitan.
Kuacak rambut sampai awut-awutan. Menjejak-jejakkan kaki pada ujung ranjang. Aku menggeram bagai orang gila.
"Kenapa sih lo? Berisik, Sis. Gue baca nih." Alana terduduk tidak tahan gangguan. "Lah, lah. Ngapain lo nangissss?! Perasaan adegan novel gue barusan lucu-lucuan deh."
Tangisanku makin berderai bak anak ingusan tidak dibelikan permen oleh mamanya.
Aku merasa menjadi manusia di bibir jurang. Diberi pilihan melompat ke air atau diterkam harimau yang sedang menungguku di ujung sana. Mau ke kanan, kepentok orang tua yang sedang bahu-membahu merentangkan tangan agar aku nggak kabur. Ke kiri, Kak Arter juga memasang dinding tak bisa ditembus.
Bagaimana aku tidak meluncurkan air mata kepenatan ini?
Aku tidak tahan.
"Gue stress, Na. Gue mesti gimana?"
"Sst ... sst." Usahanya mendiamkanku. Alana bangun menutup pintu kamar, lalu duduk di sebelahku dan memeluk. "Kenapa sih, Pin? Hidup lo lagi ada masalah?"
Kuraih kotak tissue di meja belajar sebelah tempat tidur.
"Gue dijodohin."
Alana sontak melepas pelukannya.
"Haaaahh?!!! Lah?! Seriusan?! Lo mau merit?! Wawww ... !!!"
Muka Alana berubah cengo. Ekspresiku pasti mirip sepertinya waktu Ibu memohon kala itu di rumah sakit.
"Sama siapaaaa, Piiinnn?!" selidiknya menggoyang-goyangkan bahuku.
Aku menunduk. Menimbang harus mengatakan ini atau tidak. Aku malu setengah mati menyebutkan namanya. Malu dalam artian bukan tersipu suka. Aku tidak mau mengakui si Jantung itu sebagai calon tunanganku.
"Heart."
Mulut Alana terbuka makin lebar. Guncangannya di bahuku kian kuat.
"Se—rius ... ???! Warty Heart??! Arsenio ... Heart??!" desaknya. "Lo nggak lagi nipu gue, kan, Pin?" Alana masih tidak percaya. "Gue mesti astagfirullah atau alhamdulillah nih? Wowww!!" decaknya dengan segaris senyum di sudut.
Alana bangkit. Jemari lentiknya mengurut pelipis. Dia berjalan ke sisi jendela demi entah melihat pohon atau langit dari ketinggian lantai atas ini. "Lo siap jadi istri dia? Maksud gue? Kok dia mau sih sama lo?"
Aku memberengut.
"Sialaan!! Lo sahabat gue bukan sih?!"
Kulempar kepalan tisu ke arahnya bertubi-tubi. Alana malah terbahak habis-habisan tapi setelahnya ngomel juga karena aku mengotori kamarnya. "Jangan jorok!" tegurnya. Aku langsung memungut sampah bekas air mata dan ingusku itu untuk kubuang ke tempatnya.
"Bukan dia yang mau sama gue. Orang tua kami yang mau kami sama-sama. Gue desperate berat, mikirin gimana cara biar gagal aja. Terus, dianya malah santai nungguin aksi gue berhasil. Sinting nggak sih tuh orang?"
Memang sinting. Alana saja tertawa tidak henti-henti dalam anggukannya. Sedangkan air mataku semudah itu mengering. Tuh kan, benar? Aku memang butuh memecah bisul meradang ini pada salah satu teman bicara.
"Terus, Kak Arter gimana? Kalian ada perkembangan nggak?" Alana menginterogasiku dari kursi putar meja belajarnya. Ia bersila, duduk tepat menghadapku. Sudah pantas sekali diibaratkan seorang jaksa sedang menginterogasi terdakwa.
Aku menunduk. Lantas, menggeleng.
"Dia masih belajar. Gue juga nggak tahu sampe kapan. Dia juga nggak ada omongan tentang perasaannya sama gue, Na. Udah kayak digantungin aja. Dia suka sama gue juga gue nggak tahu iya apa enggaknya."
"Ya lo bilang duluan lah, Pipin!" perintah Alana gemas. "Udah bukan jamannya ya. Cewek bisa maju duluan kok. Bukan nyuruh buru-buru sih. Lebih ke minta ketegasan sebagai cowok. Gue tahu Kak Arter butuh proses. Tapi, ya, lo udah mau diambil orang begini, harus gerak cepat. Seenggaknya, lo tahu apa yang harus lo lakuin setelah ini. Masih harus nungguin dia, atau lepas."
"Temenin?" rengekku.
"Idihhh. Masih anak kecil lo ya. Gitu aja nggak berani! Nggak salah nih mau merit?!" godanya.
Aku memutar bola mata. "Ya, mana gue berani! Lo juga kalo di posisi gue, pasti nggak berani! Begini ini tuh, step paling susah, rawan, rentan patah hati."
Alana tertawa renyah gurih kriuk-kriuk. Puas sekali dia meledekku. Namun setelahnya, aku bisa bernafas lega saat Alana mengangguk sambil bilang, "Iye iyee.. Apa sih yang nggak buat sistaaa kesayangan gu—??!"
Pintu terbuka. Sasi masuk tepat setelah mengetuk sekali. Sudah berganti kaos rumahan dan celana training. Kami berdua bengong. Ia ceria sekali datang dengan mata pandanya. "Alohaa ... gue pulaangg. Pada ngapain sih? Lo nggak bertapa, Sis? Ujian kan—eh, abis nangis lo?!"
Kepalaku menggeleng bersambut senyuman lebar. Menampilkan gigi putih nan rapiku.
Sekali lagi, aku harus berakting. Demi tidak mau koas Obgyn ini tahu kisah perjodohanku dengan Dokter Heart. Meskipun, dia sahabat yang seharusnya kubagi tahu.
----------
Aku bisa bernafas lega, setidaknya untuk hari ini. Semua terasa menyenangkan jika apa-apa yang menindih hati, bisa dilepaskan. Walau hanya sesaat.
Langit tampak biru dengan gumpalan awan putih tersebar kecil-kecil. Daun-daun muda pohon rambutan yang menjulang tinggi hingga lantai dua kost Purnama, bergoyang riang tertepa angin.
Sempurna.
Ujian Sarafku lancar. Berkat dukungan moril dari dua sahabat, usaha kerasku menghafal, juga diskusi kasus dan kisi-kisi antigagal dari Kak Arter.
Ngomong-ngomong Kak Arter, aku belum mendapat momen tepat untuk bicara dengannya. Nggak apa-apa. Akhir pekan akan kucoba. Lelaki 98%-ku sedang sibuk menyiapkan maju kasus pasien ketiganya. Di Anestesi, koas harus menyerahkan empat laporan pasien dengan kasus diagnosis berbeda. Belum termasuk sidang ujiannya yang langsung berhadapan dengan staf spesialis.
Tak lupa, kelancaran ujianku tentu saja berkat doa paling ampuh dari orang tua. Ibu selalu meneleponku di malam hari sebelum besoknya aku ujian. Sejak dari zaman aku masih menempuh sarjana. Menenangkan sekaligus memberi tahu, kalau Ibu dan Bapak telah mendoakan yang terbaik untukku.
Ngomong-ngomong tentang orang tua, handphone-ku bergetar. Nama Ibu tampil di sana. Pasti akan mengucapkan selamat karena semalam aku mengirim pesan jika aku lancar menjawab semua pertanyaan dosen.
"Ibu apa—?"
Di luar ekspektasi. Aku reflek bangun dari rebahan tidak pentingku di tanggal merah hari Selasa ini.
"Ibu ini jalan dari bandara sama Bu Dina. Dijemput Iyo. Kami ke kost kamu ya, Mbak?"
"Hah?! Mendadak banget sih, Bu? Kok nggak telepon Vein dulu."
Kuedarkan mata ke sekeliling ruangan. Baju kotor menumpuk di pojok kamar. Buku bertebaran, belum sempat kubereskan. Karpet bau ketumpahan kopi waktu aku begadang malam Seninnya. Arrgh! Kuacak rambutku sampai menyerupai singa. Aku bahkan belum mandi!
"Iya. Nggak sempet. Tiba-tiba pengin belanja. Mbak siap-siap aja. Udah nggak ujian, kan? Anterin Ibu sama Bu Dina ke Thamcit."
"Hah? I—iya." Apa serandom ini perempuan memilih tempat belanja? Rasanya, aku enggak. "Ibu udah sampai mana?"
"Udah sampai ... sampai mana ini Mas Iyo?" Kudengar suara lirih lelaki dari kejauhan, yang kemudian diulang oleh Ibu. "Masih Tangerang, Mbak."
Berapa menit sampai jam mereka akan sampai ke Depok? Hanya Allah dan kemacetan yang bisa menentukannya. Aku menggaruk kepala. Berputar-putar meratapi pemandangan ini, juga tidak menyelesaikan masalah. Otakku bekerja keras. Sambungan kami hening sebentar, sampai Ibu mengagetkanku lagi. "Mbak? Mbak Vein masih di sana, kan?"
"Iya. Masih. Ta—tapi nggak perlu ke kost dulu, Bu. Ibu sama Bu Dina mau nginap sini? Vein reservasi hotel depan ya? Vein nggak enak, kamar Vein sempit. Berantakan. Kalau Ibu aja, sih, Vein mau peluk-peluk. Nggak malu."
Ibu tertawa kecil dari sana. Aku bisa membayangkan seperti apa tawa Ibu bahkan hanya dari suaranya.
"Dasar anak Ibu."
"Tapi ini, Ibu bawa Ibunya Mas Iyo, Bu. Vein masih sungkan."
"Hmm ... yaudah. Nanti kami jemput kamu di hotel. Jangan makan besar dulu, nanti kita makan bareng-bareng ya?"
----------
Jangan lupa share 🤗
Ditunggu juga komen cetarnya ...
Bab 6. Vein C. Jaelani
I'm not an extremely lazy girl type, yang sampai akan bikin Dokter Heart muntah-muntah di dekatku. Enggak. Kemalasanku masih dalam batas wajar.
Selesai ujian, libur tanggal merah, sedang stase santai, atau di rumah, adalah masa-masa malasku. Aku masih mandi kok. Walaupun mentok sehari sekali. Aku juga rajin keramas sampai rambut lurus sepunggungku wangi. Berbenah ketika ada teman atau keluarga mau mampir saja. Berpakaian rapi di saat-saat penting.
Semangatku memudar, apapun yang kupikirkan hanya tidur, jika hari seperti Selasa merah kejepit begini muncul di kalender. Vein Chrysanthemum Jaelani juga paling malas berangkat belanja, tapi kalau sudah sampai department store, bisa memakan waktu berjam-jam lamanya.
Seperti sekarang. Aku telah rapi. Duduk di lobi Hotel Samanhudi dengan celana panjang kulot putih berpadu tunik hitam, ditambah kalung dan tote bag vintage. Rambut kuikat biasa. Tertutup bucket hat coklat yang kusiapkan untuk menyembunyikan sebagian wajah, kalau-kalau ada orang mengenali kami di Thamcit.
Memang siapa sih yang mau ke Thamcit, Vein?
Tapi, kan, ini hari libur. Anak-anak pasti menyebar di banyak tempat nongkrong dan belanja. Semoga saja mereka mainnya sekitaran Depok saja. Bisa gawat jika aku ketahuan berkencan dengan calon mertua dan si anak obsesif kompulsifnya.
Aku harap Dokter Heart tidak memandangku sebelah mata. Niatku sedari awal adalah ingin bertingkah tidak sopan hingga dia dan Ibunya ilfeel. Setelah kupikir ulang, aku membawa nama baik Ibu dan Bapak Jaelani di sini. Bagaimana kalau mereka membatin bahwa orang tuaku tidak pandai mendidik anak?
Akan kulakukan misinya nanti saja, saat berdua bersama Dokter Heart. Sampai dia jijik, tidak ingin dekat-dekat seorang Vein lagi.
Kamar kostku juga telah rapi. Dalam satu jam, aku bisa secepat kilat menyelesaikan. Sudah termasuk mandi, keramas, dan mencuci alat makan sarapanku yang kotor. Persiapan jika Ibu mampir.
Ibu adalah perempuan lembut. Bapak juga. Namun kata-kata lirih dan dominasinya mampu membuatku dan Cava bertekuk lutut seketika. Aku tidak mau Ibu makin jantungan menjadi tamu di kost anaknya sendiri.
Ah, mereka datang.
3 orang—eh, 4 orang yang kutunggu. Si pembuluh darah Cava ternyata ikut. Adik berambut pendek yang tingginya lebih dari aku dan Ibu.
"Mbak Piiinnn ... !!" Perempuan bongsor itu berlari menyambutku. Memeluk sampai aku terjatuh di punggung sofa. Setan macam apa yang merasuk di tubuh Cava? Tidak biasanya dia begini. "Aku kangen. Aku bawa oleh-oleh bakpia. Kesukaan Mbak, kan? Isi kacang ijo."
"Kamu nggak salah meluk Mbak, kan, Va? Tumben banget?"
"Nggak lah. Aku tuh sedih Mbak Pin udah mau nikah. Jangan lupakan aku, Mbak," rengeknya dilebih-lebihkan.
Kenapa Cava jadi melo begini? Kepalanya menyandar di bahuku dengan tangan melingkar memeluk bahu. Kutepuk punggung lebarnya.
Ibu dan Bu Dina mendekat. Aku mencium tangan keduanya dan beliau balik memelukku. Aku mematung, tidak menyangka ketika Bu Dina juga mencium kedua pipiku. Bukan semacam cipika-cipiki dengan sejawat arisan, bukan. Beliau mencium seperti seorang ibu mencium pipi anak kecilnya.
"Nak Vein sehat? Ya Allah, udah dewasa banget ya, Mbak Tih?" Ibu tersenyum menanggapi beliau. "Cantik." Bagaimana aku tidak membeku kalau kepalaku diusap penuh perhatian seperti itu? Apa-apaan ini? Hatiku lembek bagai jelly. Mudah sekali terperdaya kebaikan seseorang.
Ibu datang dengan kerudung instannya menutupi gamis batik warna hijau aksen bunga. Sedangkan Bu Dina mengenakan abaya hitam lengkap dengan kerudung lebar senada yang menutup sampai perut.
Mendadak, aku jadi insecure. Bagaimana kalau aku dan Dokter Heart benar berjodoh. Sepertinya aku akan jadi menantu yang malu-maluin. Belum berhijab sementara mertua sudah menutup aurat selebar ini.
Dari balik tubuh kedua ibu, Dokter Heart mengambil duduk di sofa dekat pintu utama. Jauh dari kami. Namun aku masih bisa memastikan jika ia sedang berbicara dengan seseorang di handphone. Mungkin Dokter Heart juga sepemikiran sepertiku. Tidak mau orang memergoki kami bersama.
"Ah, Mas Iyo ada telepon tadi," potong Ibu menyadari apa yang kupandang. "Kamu udah pesan, Mbak? Biar koper kami diantar ke atas."
Aku mengangguk. "Tapi baru pesan satu aja. Nggak tahu kalau Cava ikutan. Vein tambahin ya kamarnya?"
Ibu menahan lenganku. "Eh nggak perlu. Nanti Ibu sama Bu Dina satu kamar aja. Pesan yang twin bed kan?"
"Iya."
"Biar Cava ikut ke kost kamu. Dia mau main di sana katanya. Mau pulang belakangan juga. Ibu nitip sampai hari Minggu, kamu antar dia ke stasiun ya, Mbak?"
Kepalaku mengiyakan meski berat. Semoga Cava tidak bermulut ember dan menjadi mata-mata Bapak selama di sini.
------------
"Ini, beneran ... nggak bikin Ibu serangan jantung lagi, Mas?" Pertanyaan spontanku ketika menginjakkan kaki di lobi lantai dasar. Reflek menghitung jumlah lantai yang harus kami selami.
Aku juga mulai memanggil Dokter Heart dengan sebutan Mas Iyo. Gara-gara mulutku keceplosan 'Dokter' saat menceritakan bagaimana kami telah saling kenal di mobil tadi. Cava dan seluruh keluargaku memanggilnya Mas Iyo, masa aku beda sendiri?
Lelaki itu salah kostum hari ini. Dia memakai kemeja putih bergaris biru muda, lengan digulung sesiku dan celana kain navy gelap. Hanya sneakers putihnya saja yang cocok untuk acara jalan kami. Saat kutanya, ternyata tadi pagi sekali Dokter Heart harus menyambut kedatangan dosen tamu Obgyn, yang besok akan mengisi workshop di kampus kami.
"InsyaAllah enggak. Nanti saya yang batasi waktu belanjanya. Kalau nggak selesai juga, artinya kamu sama Cava yang harus mencar, nyariin apa yang beliau berdua mau."
Aku menengok ke samping. Agak mendongak karena ternyata aku hanya setinggi pundaknya.
Jujur, aku ketakutan Ibu kecapekan. Aku dan Cava belum mau kehilangan Ibu. Walaupun telah terpasang ring di jantung, tetap saja. Tidak mengobati detak kekhawatiran ini.
Beginilah wanita. Rasanya belum sah jika belum menjelajah semua lantai dan koridor seisi Thamrin City. Dokter Heart harus memasang tanduk, baru dua perempuan paruh baya ini menyerah untuk duduk sejenak demi istirahat.
Kakiku pegal, padahal semangat masih menggebu. Cava kehabisan tenaga. Ia menyesap es kopi di tangan. "Capek banget. Tapi, puaass ... " selorohnya. Sedangkan Ibu ditemani Mas Iyo duduk di bangku. Di depannya, ada sekitar enam kantong penuh belanjaan. Dari yang harga ratusan ribu sampai jutaan. Belum termasuk yang dibawa oleh seorang anak muda, yang menawarkan jasanya sebagai porter.
Duduk pun, pasang mata masih mau jalan-jalan. Bu Dina berdiri dari bangku panjang besi di sisi pagar lantai tiga. Maju ke sebuah toko pakaian muslim di depan kami.
"Ini bagus," puji beliau mengecek tekstur bahan sebuah pajangan hijab. Aku terkaget saat beliau malah memanggilku. Sampai kutunjuk hidung sendiri saking tidak percaya. "Coba sini, Nak! Warnanya juga ceria. Cocok buat kamu."
Aku mendekat. Beliau melepas bucket hat lalu mencobakannya di kepalaku.
"Tapi—"
"Nanti dipakai kalau ada pengajian. Atau kegiatan apa aja. Hadiah dari Ibu. Mau ya?" tawarnya. "Gimana, Yo? Bagus, kan?"
Dokter Heart mengacungkan kedua jempol dari bangku. Senyum lebar diikuti kedipan mata pada sang ibu, turut menyengat jantungku ternyata. Ganas banget memang si Warty Heart! Dasar juga jantungku durhaka! Kutolehkan wajah menjauh. Menenangkan degup yang tiba-tiba berkejaran.
"Nak Vein suka warna apa?"
"Hi—hitam aja, Bu."
"Yaudah. Hitam, coklat, abu, merah hati, lilac sama pink ini bagus juga. Saya ambil ya, Mbak, berapa?" tanya Bu Dina pada karyawan toko.
Beliau mengeluarkan tujuh lembar uang seratusan, selagi aku masih geleng-geleng berusaha menolak secara sopan. Namun pada akhirnya, aku luluh ketika Bu Dina bilang, "Nanti dicocokkan sama baju sehari-hari Nak Vein. Pakaiannya nggak cuma satu, kan? Biar makin cantik anak Ibu."
Usapan beliau di kepalaku, meruntuhkan segala niat jahat yang telah kuprogram di kepala untuk beberapa bulan ke depan.
Bagaimana ini?
😭
----------
Hahahaha..... Mulai galauuu doi.
Udah menentukan pilihan?
Betah kan ya? Gimana-gimana 6 bab ini?
Mulai ada gambaran akan seperti apa nanti ceritanya? Biasanya pembacaku jago nebak2.
---------
Teman, aku upload gratis, ngebut sampai bab 8 ya. Ini masih 6. Jadi 2 bab lagi InsyaAllah besok sama lusa.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
