Wakil, Wacana, dan Warteg AI - Obrolan Warkop Republik Konoha

0
0
Deskripsi

Katanya bangga sama karya anak bangsa, tapi pas iklan malah pake AI?
Wakil Hokage sibuk promosi kecanggihan teknologi, tapi lupa sama animator lokal yang dibiarin berjuang sendiri. Saat animasi lokal sukses, baru datang bawa bunga. Obrolan warung kali ini bukan cuma soal AI, tapi soal rasa yang digilas algoritma.

Langit malam ini mendung. Angin dari selatan bawa hawa gerah yang nempel di kulit kayak hutang yang belum lunas. Di ujung gang kecil, lampu warung kopi menyala redup, dikerubungi serangga kecil yang gak paham kenapa hidup mereka selalu berakhir di neon muram.

Di dalam warkop, suasana masih sepi. Hanya ada dua gelas kosong bekas pengunjung sebelumnya, dan satu kursi yang bunyinya selalu nyaring setiap ditarik. Bayu duduk di pojok, sendirian. Bahunya turun. Lengan kiri menyangga kepalanya, sementara tangan kanan mengaduk kopi hitam yang sudah kehilangan asapnya.

Setelan kantornya udah dicopot. Tinggal kaos oblong tipis dan celana bahan yang bagian lututnya mulai mengkerut. 

Bayu (suara pelan, lirih):
"Lucunya ya... sebelum ini, si Wakil Hokage itu semangat banget ngangkat AI. Tiap pidato pasti bilang, 'Kita harus adaptif, kita harus manfaatkan AI untuk pendidikan, efisiensi, masa depan bangsa.'
Pokoknya semua masalah, solusinya: AI. Anak SD gak ngerti pelajaran? Pake AI. Guru kurang? AI. Gambar gak bagus? Ya AI juga."

Dimas yang berdiri di sebelahnya, sambil duduk perlahan, meletakkan tas kerja di bawah kursi, dan menyender.

Dimas (nada datar, sambil buka bungkus rokok tapi gak dinyalain): "Dan sekarang... giliran ada iklan nasional soal makan bergizi gratis—yang notabene program pemerintah sendiri—eh, malah disuruh pake AI buat animasinya. Bukan animator lokal. Lucu ya? Di saat rakyat disuruh bangga jadi Indonesia, narasinya digarap sama mesin luar negeri."

Joko menyusul dibelakang, seperti biasa. Langkahnya cepat, tapi santai. Kaos partai yang udah pudar, sandal jepit, dan kresek putih isi gorengan.

Joko (tarik kursi, langsung duduk, sambil ngunyah tahu isi): "Yoi. Terus ujung-ujungnya bilang, 'AI itu masa depan.' Lah, masa depan siapa dulu nih? Anak kreatif kita, atau perusahaan luar yang jualan AI langganan kementerian?"

Bayu (geleng pelan, mata merem sebentar, lalu buka perlahan): "Yang lebih pahit lagi, pas muncul film animasi lokal sukses... Digarap sama anak-anak kita, di studio kecil, modal pas-pasan, kerja sambil ngutang listrik. Pas akhirnya viral dan dipuji netizen... tau-tau si Wakil Hokage muncul dengan videonya, Bilang: 'Ini bukti anak bangsa bisa bersaing.' Lah, sebelum sebelumnya ke mana aja, Wak?"

Dimas : "Jangan cuma datang pas udah wangi. Jangan 'ndompleng' pencapaian yang lo sendiri nggak bantu bangun."

Joko (ketawa kecil, tahan mulut sambil nutup dengan tisu): "Gue curiga sih... AI itu bukan 'Artificial Intelligence', tapi 'Asal Instan'. Cepet, gampang, nggak mikir. Cocok banget buat mereka yang demen shortcut tapi alergi effort."

Bayu : "Kita tuh gak anti AI. Kita sadar AI punya potensi. Tapi jangan sampe semua yang berbau manusia dikasih ke mesin. Apalagi karya seni. Apalagi animasi. Itu bukan sekadar gambar gerak. Itu tentang rasa. Tentang jiwa."

Dimas : "Dan di saat anak-anak sekolah disuruh nonton video AI buatan luar negeri, anak-anak tetangganya yang bisa gambar malah gak dikasih ruang. Ironis kan?"

Joko : "AI emang keren. Tapi lebih keren kalau kita bisa adil. Bantu yang udah berjuang dari nol, bukan cuma sorot yang udah viral."

Bayu : "Mendukung itu bukan soal tepuk tangan pas sukses. Tapi soal hadir waktu mereka masih gambar pake mouse butut di warnet. Pakai laptop pinjeman. Upload karya sambil nunggu Wi-Fi gratis dari warung sebelah."

(Mereka diam sejenak. Hanya suara kipas tua yang ngeden.)

Dimas : "Gue pernah ngobrol sama animator freelance dari Tasik. Dia bilang, 'Gue rela digaji kecil asal bisa bantu bikin materi edukasi buat anak sekolah.'
Tapi sekarang... dia kalah saing sama aplikasi yang bisa bikin animasi dalam 30 detik. Tanpa hati. Tanpa cerita."

Joko : "Negeri ini suka lupa. Yang bikin hebat bukan AI-nya, tapi siapa yang make. Dan kadang, AI cuma jadi selimut buat nutupin kemalasan mikir."

Bayu : "Kita bakal punya generasi yang pinter bikin prompt...
Tapi gak ngerti gimana rasanya bikin sesuatu dari nol, dengan ide dan rasa."

Joko : "Dan nanti, pejabat kita tinggal duduk. Bilang, 'Lihat karya anak bangsa.' Padahal semua dibuat sama algoritma luar, suara dubbing luar, gaya visual luar. Yang lokal cuma tagarnya."

Dimas  : "Kalau nggak segera dikontrol, kita bakal kehilangan wajah kita sendiri. Kita kehilangan cerita kita."

Bayu : "Dan ironi paling lucu dari semua ini... adalah saat pemerintah lebih kagum sama mesin
daripada rakyatnya sendiri."

(Suasana hening. Hanya bunyi sedotan terakhir dari es teh Joko yang mengisi ruang.)

Joko (angkat tangan): "Oke. Gue udah kenyang. Tapi perut doang. Kepala gue... makin panas."

Bayu (ambil gorengan terakhir, suara pelan): "Yah, selamat datang di Konoha. Negara yang katanya cinta lokal... tapi beli dari luar."

(Malam makin larut. Warung kopi mulai sepi. Sisa kopi tinggal ampas, dan gorengan tinggal daun pisang. Tapi obrolan di meja itu belum benar-benar selesai. Karena yang mereka bicarakan bukan sekadar isu hari ini—tapi tentang arah masa depan, tentang suara kecil yang sering tenggelam di balik sorotan teknologi dan tepuk tangan yang datang terlambat.)

Di sudut warung sederhana itu, tiga kepala berpikir—bukan untuk menggulingkan siapa-siapa, tapi untuk menjaga agar akal sehat gak benar-benar punah di negeri yang makin sering menyederhanakan segalanya jadi algoritma dan tren.

Mereka gak anti kemajuan. Tapi mereka percaya, manusia harus tetap punya tempat. Gak cuma jadi penonton dalam panggung yang dibangun pakai uang rakyat tapi dikuasai oleh mesin dan pencitraan.

Di warkop itu, mereka masih ngopi. Masih mikir. Masih nyinyir. Tapi semua itu dilakukan demi satu hal yang sederhana: biar negeri ini gak cuma pintar... tapi juga punya hati.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pendidikan Merdeka, Guru Terjajah - Obrolan Warkop Republik Konoha
1
1
Hari Pendidikan Nasional tiba, tapi obrolan di warkop Pak Mul justru diwarnai rasa miris. Bayu, Dimas, dan Joko membahas kondisi pendidikan yang masih jauh dari kata merdeka: murid belajar di ruang kelas bocor, guru honorer kerja ekstra sambil menunggu SK, dan kurikulum yang lebih sering berubah daripada dipahami. Harapan muncul pada kebijakan baru dan evaluasi yang mulai membumi, tapi semua itu belum cukup kalau pahlawan tanpa tanda jasa tetap diperlakukan seperti bayangan. Sebuah refleksi jujur tentang dunia pendidikan dari sudut warung kecil di Konoha.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan