Ada #CeritadanRasaIndomie Di Balik Nestapa

0
0
Deskripsi

Namanya Riang, tidak sama dengan namanya hidupnya serasa muram. Ada nestapa yang dia tata rapi di palung hatinya dan menuntutnya selalu bungkam. Kecuali “Indomie satu, Mas. Pakai dua telur ceplok setengah matang.”

Kali ini aku memberanikan diri mampir ke Warmindo di pojok terminal sebelum pulang ke kontrakan. Ntah kenapa bau Indomie rasanya sampai dibatang hidunngku dan ingin segera untuk kutunaikan saja rasa laparku ini. Sejak perjalanan balik kampung tadi tiba-tiba perutku memberontak tak karuan. Bis PATAS yang kutumpangi serasa berjalan lambat dan tak tentu arah beriringan dengan suara keroncongan dari perutku. Aku lapar.

Sesampainya di terminal, bergegas aku menyapu belasan kondektur, supir taksi dan porter yang menawarkan berbagai jasa mereka. Pikiranku hanya satu, aku ingin makan dan kebetulan ada Warmindo yang berdiri kokoh dan terang di pojok terminal.

“Indomie Kuah satu, Mas. Pakai cabe dua biji sama telur ya.” Pesanku ke mas-mas bertubuh gempal dengan potongan rambut cepak.

“Pakai bagor gak?” aku mengangguk.

Sumber : Pinterest

Sambil menunggu pesanan Indomie, aku berusaha melihat sekeliling mulai dari warungnya yang sangat bersih tertata rapi dan besar untuk ukuran warung mie instan. Warung ini seukuran ruko, ada beberapa kursi ditata rapi lengkap dengan meja dan kursi kayu halus. Dipojokan bagian dalam ada meja masak lengkap dengan bagian berbagai macam minuman kemasan. Bagian depan ada meja kasir, bayar belakangan sebelum pulang.

Banyak pengunjung warung malam ini, mungkin suasana selepas hujan lebih mengundang rasa lapar dan harus dilengkapi dengan hangatnya Indomie atau mereka memang pecinta Indomie. Ntahlah, yang jelas aku sudah lapar dan tak sabar dengan aroma Indomie yang sejak tadi sudah menusuk-nusuk hidungku.

“Minumnya?”

“Es teh manis gelas besar satu aja, Mas.”

Baru satu suapan mie yang kumakan, aku teringat ada sosok laki-laki yang selalu duduk bersandar dikursi besi tak jauh dari Warmindo ini tepatnya di samping bak sampah yang agaknya sudah lama tak terpakai. Inilah yang membuatku berani mampir ke Warmindo ini sekalian menunaikan rasa lapar yang sudah menggigit lambungku sejak tadi. Hati-hati kutanya pada mas penjual Warmindo

“Ada laki-laki yang biasanya duduk disana, Mas. Kok sekarang ndak ada ya?” Tanyaku sambil menunjuk tempat duduk samping tempat sampah yang ku maksud. 

“Oh itu!” MasWarmindo tersenyum simpul “Sampean kok tau kalo ada mas-mas  yang sering duduk disana?” Aku senyum kikuk sambil menggaruk kepala tak gatal.

“Itu mas-mas ya? Kukira udah tua loh.” Barulah Mas Warmindo membuka cerita perhal lelaki yang bertubuh kurus kering yang ku maksud.

Ternyata namanya Riang, usianya masih 26 tahun. Dia selalu di pojokan terminal dan menghadap pemberhentian bus berharap bisa menemui kekasihnya yang sudah lama menghilang. Dia agak tertutup, satu dua hari hanya duduk menyandar seperti orang linglung ketika hari mulai gerimis, sisanya berharap dan bersemangat ketika esoknya agak cerah. Dia mungkin sadar ketika hujan gerimis tak mungkin Ranna datang menemuinya. 

Setiap malam selalu dinanti dan selalu diharapkan kekasihnya akan kembali dan menemuinya di terminal ini. Namun, sudah lebih dari sebulan ini nihil yang dia dapat. Kekasihnya tak kunjung kembali. Pernah bapaknya datang menjemputnya sambil mengelus-elus kepalanya sambil berderai air mata berharap anaknya ini kembali ke rumah dan hidup normal seperti sedia kala.

Sang Bapak menitipkan pesan kepada orang-orang sekitar untuk menjaga anak lelakinya ini. Awalnya mereka tak mengerti kenapa harus dititipkan, ternyata setelah kedatangan bapaknya kala itu beliau sakit dan belum bisa lagi menjemput anak lelakinya. Hari-hari berikutnya hanya kawan dan saudara laki-laki lainnya yang menjemputnya untuk pulang. Kadang, sambil memantau dari jauh teman-teman dan saudaranya mampir membeli Indomie, disini mereka akhirnya bercerita panjang lebar mengenai Riang.

“Kami tau setelah tiga hari Ranna dikebumikan, Mas. Riang yang memberitahu kami tapi dia juga yang tak bisa merelakan kepergiannya.” Ucap Mas Warmindo menirukan teman-temannya. Deg!! Semacam godam menghantam hatiku, ternyata ada lelaki sebegitu cintanya seperti dia.

“Dan sampean tau apa yang membuat mas Riang belum bisa merelakan semuanya?” pancingnya kepadaku

“Apa?” tanyaku penasaran 

“Diminum dulu es tehnya saya takut sampean haus.” Aku baru ingat es teh yang kupesan sudah mulai mencair es batunya. Setelah habis setengah gelas Mas Warmindo melanjutkan ceritanya. 

“Ranna meninggal kecelakaan saat naik bus balik ke rumah setelah bertemu keluarga Riang di sini.”

“Oh bus yang itu?” Mas Warmindo menganggu sambil terkekeh kecil.

Riang tak melihat mayatnya bahkan tak melihat liang lahatnya karena saat kabar itu datang dia sedang ada dinas mendadak urusan kantor setelah mengantar Ranna di Terminal. Hanya teman-temannya yang bisa mendatangi pemakaman Ranna

“Tapi Riang tau kabarnya, Mas?”

“Ya tau, tapi tetap ndak mau terima.” Semacam denial mendapati kekasihnya sudah tiada, Riang selalu mengharap Ranna akan hadir ke pelukannya menemuinya dengan mengendarai bus antar kota yang biasa dia kendarai dari kotanya.

“Namanya juga cinta, saya juga paham deritanya akan seperti ini.” Sambungnya menyadarkan lamunanku. Setelahnya aku hanya manggut-manggut mencoba memahami sebuah kehilangan Riang terhadap Ranna ini.

Setelah pemakaman Ranna berakhir Riang mengunci diri diam di kamarnya tanpa mau diganggu keluarganya. Tidurnya semakin lama, semakin hari semakin malas mandi dan makan bahkan parahnya lagi dia tak berangkat kerja. Teman-temannya mengunjunginya sambil menghiburnya, dia hanya bergeming dan menatap nanar foto-foto Ranna yang bertengger rapi di dinding kamarnya. Sejak hari itu dia diam seribu bahasa tanpa ada satu kata pun terucap. 

“Pernah suatu kali setelah satu minggu nunggu disana dia ngomong sama saya, pesan indomie telornya dua.”

“Serius?” Tanyaku tak percaya.

“Sumpah!! Dia bilang gini Indomie satu, Mas. Pakai dua telur ceplok setengah matang

“Wah rekor!” Sahutku antusias. Senyumnya mengembang diantara kumis tipis.

“Tapi setelah itu dia nangis. Mungkin inget Ranna ya?”

“Bisa jadi!” Jawabku meyakinkan. Lalu Mas Warmindo melanjutkan cerita, sejak saat itu kedatangannya menjadi semakin muram. Pesan Indomie sambil meneteskan air mata.

“Saya terenyuh saat tau setelah kepergian Ranna baru kali itu dia bisa menangis. Saya cerita ke keluarga dan temannya ternyata memang dia gak pernah nangis setelah kepergian Ranna.” Aku semakin muram mendengar cerita mas Warmindo semacam ada kekuatan lain yang menyadarkanku bahwa tak semua lelaki tak tahan dengan satu perempuan. Riang misalnya, dia salah satunya atau bahkan diantara ribuan lainnya yang belum saya ketahui?

“Sampean kok tau kalo ada Mas Riang di pojokan sana?” Kujelaskan bahwa aku mengontrak tak jauh dari terminal ini sudah sekitar 2 bulanan. Mas Warmindo hanya mengangguk-anggup paham rupanya baru beberapa bulan di sini pantesan baru tau keberadaanku. Lalu tiba-tiba Mas Warmindo serasa ingin mengucapkan sesuatu padaku tapi alisnya bertaut sambil mengatupkan bibirnya seperti sedang menimang sesuatu. Sebelum akhirnya melunasi pesananku di meja kasir Mas Warmindo akhirnya memberanikan diri angkat suara.

“Setelah lihat fotonya mbak Ranna. Ntah kenapa melihat sampean gini saya jadi ingat mbak Ranna.” 

“Hah?!” 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Semut-Semut Di Kepalaku
0
0
Rasanya kepalaku mau meledak jika tak tau apa yang ada didalam pikiranku selama ini. Banyak semut yang bersarang dikepalaku, terkadang mereka bermain, ngobrol, tertawa, berteriak, marah-marah bahkan brengseknya lagi sampai hati mereka mencaci maki keadaanku sendiri saat mereka asik menjadi benalu di kepalaku. Anehnya mereka tak pernah menangis iba melihat keadaanku sendiri yang carut-marut begini. Tak tau diri!!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan