
5. Three Musketeers
6. Be Careful, Please!
7. Psycho
5
Three Musketeers
Suasana meja makan pagi itu awalnya tenang, hanya diisi suara dentingan sendok yang bersentuhan dengan piring. Aroma kopi dan roti panggang menguar di udara, menciptakan kehangatan yang mendamaikan.
"Leonor, Papa dengar ban mobilmu bocor?" Thomas membuka percakapan sambil melirik putrinya yang tengah mengaduk teh dalam cangkirnya.
"Iya, Pa. Aneh, padahal kemarin masih baik-baik saja, pagi ini malah bocor," ujar Leonor.
Hehe, mana mungkin bisa tiba-tiba bocor? Leonor sengaja membocorkan ban mobilnya sendiri.
"Kalau begitu, bareng Edgar saja. Kantor kalian searah, kan?" Thomas menyarankan.
Leonor (sok) menggeleng cepat. "Eh, nggak usah, Pa. Mending aku pesan ojol aja."
"Kalian ini sudah lama gak ketemu, kan? Sekalian saja coba akrabkan diri lagi." Sophia yang sejak tadi diam, akhirnya ikut menimpali. Matanya menyapu wajah kedua anaknya, lalu berkata dengan nada tenang.
Leonor (sok) merasa tak enak. "Tapi aku takut ngerepotin Kak Edgar, Mah. Jarak kantor aku masih agak jauh, nanti kakak harus putar balik–"
"Nggak masalah. Ayo, saya antar." Suara Edgar yang datar dan tegas langsung memotong ucapannya.
Leonor semakin gelagapan. "Nggak usah, Kak. Aku yang nggak enak."
Sebastian, yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan ekspresi malas, akhirnya bersuara.
"Lo ribet banget, ya?" ujar pria tampan itu sinis.
Leonor menoleh dengan dahi berkerut.
"Tinggal ikut Kak Edgar, apa susahnya sih?" Komentarnya tajam, terdengar jelas nada sebalnya.
"Iya, maaf." Leonor menunduk.
Sophia menghela napas, tangannya meletakkan sendok dengan gerakan halus.
"Sudah-sudah," ucap sang ibu, suaranya tidak meninggi, tapi cukup membuat semua orang di meja terdiam.
"Gak perlu diperdebatkan." Thomas ikut menengahi. "Leonor, berangkat saja bersama Edgar. Ini bukan soal merepotkan atau nggak. Kalian saudara, bukan orang asing."
Sophia tersenyum kecil, lalu menatap Edgar. "Kamu benar-benar nggak keberatan?"
Edgar hanya menggeleng. "Nggak, Ma."
Thomas menepuk meja ringan, berusaha mencairkan suasana. "Nah, sudah beres. Sekarang bisa makan dengan tenang."
"Oh, ya. Mama sama papa bakal ke luar negeri besok." Shopia berkata dengan tenang. "Kalian harus rukun saat kami tinggal. Jaga rumah baik-baik."
Leonor diam-diam tersenyum senang. Oh, jangan khawatir. Dia akan menjaga rumah ini dengan baik.
***
Di dalam mobil, suasana begitu hening.
Edgar tetap fokus mengemudi, pandangannya lurus ke jalan di depan. Leonor di sebelahnya, bersandar malas sambil memainkan jari-jarinya. Tidak ada musik, tidak ada suara selain dengung mesin mobil yang melaju stabil di jalan raya pagi itu.
Leonor melirik sekilas ke arah Edgar. Biasanya kakaknya ini tak pernah berinisiatif bicara jika tidak perlu. Maka, saat tiba-tiba Edgar membuka suara, Leonor sempat mengira ia salah dengar.
"Saya dengar-dengar kamu mau tunangan," ujar Edgar tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Leonor berkedip. "Nggak jadi, Kak."
Hening lagi.
Tapi kali ini, Leonor yang justru merasa aneh. Biasanya Edgar tidak tertarik urusan pribadinya. Ia menatap kakaknya lekat-lekat, merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
"Kenapa?" tanya Edgar basa basi.
Leonor menyeringai kecil. "Kepo, yaa?" godanya dengan nada jahil.
Edgar berdecak pelan dan memutar bola matanya. Sang kakak berdehem sebentar.
"Ekhm." Waduh, Edgar menjadi agak gugup karena mau mengucapkan sesuatu.
"Saya minta maaf," ujar Edgar pelan tiba-tiba.
Leonor menoleh karena sedikit terkejut.
"Kemarin saya keterlaluan," lanjut Edgar.
Leonor mengerjap, lalu tertawa kecil. Memikirkan balasan apa yang kira-kira tepat.
"Iya, nggak apa-apa," kata Leonor tersenyum manis.
"Kak Edgar tenang aja." Lalu, dengan senyum pedih di bibirnya, ia menambahkan,
"Aku juga udah terbiasa digituin Kak Sebastian." Leonor berkata dengan nada sedih.
Ekspresi Edgar berubah. Ia memang tak terlalu dekat dengan Leonor karena sejak kecil jarang berinteraksi--lagipun, Edgar selama ini berada di luar negeri, tetapi... Apa benar Sebastian sekasar itu pada Leonor?
Entah kenapa, setelah mendengarnya, Edgar merasa iba sendiri ke Leonor.
[Edgar: 7% → 10%]
Sementara itu, perjalanan berlanjut dalam diam. Leonor hanya memandangi jalanan dari jendela, menikmati hembusan angin pagi yang masuk melalui celah kecil jendela mobil.
Namun, sebelum mereka sampai di kantor Leonor, gadis itu mencuri pandang ke arah Edgar lagi. Ada yang aneh.
Saat mobil mulai melambat dan berhenti di depan gedung kantornya, Leonor bersiap turun. Tapi sebelum sempat membuka pintu, matanya menangkap sesuatu yang mengganggunya.
Dasi Edgar.
Leonor menghela napas kecil, lalu tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan bergerak mendekat ke arah Edgar.
Sang kakak yang baru saja hendak bicara, langsung membeku saat tangan Leonor terulur ke dadanya.
"Apa yang–"
"Sshh, diem dulu."
Leonor dengan cepat merapikan dasi sang kakak, jari-jari cekatan menarik simpulnya agar lebih rapi.
Edgar yang tidak siap dengan kedekatan ini, hanya bisa terpaku di tempatnya. Dari jarak sedekat ini, ia bisa mencium samar aroma sampo Leonor, bisa melihat bulu matanya yang lentik, dan yang lebih mengkhawatirkan...
Wajahnya terasa panas.
Leonor tidak menyadari perubahan ekspresi kakaknya. Ia hanya fokus pada dasi di tangannya, memastikan letaknya pas.
"Udah," kata sang gadis ringan, sebelum mundur sedikit. "Masa orang kantoran kayak Kakak dasinya berantakan sih?"
Edgar masih terpaku dan Leonor baru menyadari sesuatu—telinga pria itu merah.
Gadis itu berkedip imut. Lalu, sebuah senyum jahil terbentuk di wajahnya.
"Telinga kakak merah, tuh," ucap Leonor.
Edgar kelabakan. Ia berdehem pelan untuk menghilangkan kegugupannya.
"Kak, telinga merah tuh tandanya lagi malu dan grogi loh," bisik Leonor menggoda.
"Sok tahu." Edgar langsung menoleh ke arah lain, berdeham pelan.
"Lho ini fakta," ujar Leonor.
"Jangan-jangan Kakak grogi karena aku, ya?" Leonor semakin bisa melihat betapa merah telinga sang kakak.
"Turun. Sekarang." Edgar menatap Leonor tajam.
Sang gadis tertawa kecil, sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan keluar dengan senyum kemenangan di wajahnya.
Suara sistem muncul dengan angka persenan di atas kepala Edgar.
[Edgar: 10% → 15%]
****
Begitu Leonor memasuki kantor, ia langsung disambut oleh udara sejuk dari AC yang berembus lembut. Suasana pagi di kantor seperti biasa—pegawai berlalu-lalang, beberapa duduk di meja mereka dengan wajah masih setengah mengantuk, sementara yang lain sibuk berbincang di pantry sambil membawa kopi.
Langkahnya melambat ketika matanya menangkap sosok familiar di dekat meja Andrew.
Seorang perempuan berdiri di sana--Ivelyn, sang tokoh utama wanita. Rambutnya tergerai rapi, tubuhnya condong ke arah Andrew, seolah memberi sinyal bahwa percakapan mereka lebih dari sekadar urusan kerja.
Leonor mengerjap.
Idih ... cowok ini kemarin sepertinya hampir menangis karena tak mau putus, tapi sekarang malah dekat dengan tokoh utama wanita.
Lagian si bodoh Leonor yang asli ini apa nggak bisa baca tanda-tanda kalau tunangannya ini mata keranjang dan suka sama cewek lain, ya?
Andrew yang menyadari keberadaan Leonor menoleh. Pandangan mereka bertemu untuk sepersekian detik sebelum Andrew memberikan senyum tipis dan menganggukkan kepala.
"Pagi, Leonor," sapa Andrew santai, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka sebelumnya.
Leonor hanya menatap pria itu sekilas tanpa ekspresi, lalu melengos pergi tanpa membalas. Masa bodoh. Andrew bukan urusannya lagi sekarang.
[Andrew: 45% --> 48%]
Leonor menengok angka itu dengan tatapan bingung. Sejak kemarin, angka itu terus naik, padahal Leonor sudah tak menanggapi Andrew.
"Ini cowok punya fetish dicuekin, kah?" batin Leonor heran.
"Leonor!"
Suara seorang gadis dengan rambut sebahu membuat Leonor langsung menoleh. Seketika, senyum lebarnya mengembang.
"Rheynaa!" serunya, lalu berjalan cepat menghampiri gadis itu sebelum langsung menariknya ke dalam pelukan.
Di sisi lain, Sella—yang berdiri di dekat mereka—hanya memandang sinis. Seolah membatin, ini orang baru pisah weekend dua hari aja udah kayak belum ketemu satu abad.
Namun, sebelum Sella bisa bersuara, Leonor tiba-tiba beralih padanya dengan heboh.
"Sella!" serunya, mengeplak punggung Sella keras-keras sebelum merangkul gadis itu dengan gaya yang lebih berlebihan.
Sella berdecak. "Apaan sih?"
"Kangen banget sama kamu, honey~" kata Leonor dengan nada manja yang sukses membuat Shella merinding.
Sella menatapnya seolah Leonor baru saja mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.
"Sejak kapan lo alay begini?" tanya gadis itu bingung.
[Poin Persahabatan +20]
"Kita kepisah weekend dua hari doang. Jangan lebay najis ah," cibir Sella sambil melepas rangkulan Leonor.
Rheyna, yang baru saja selesai tertawa, tiba-tiba menatap Leonor dengan tatapan menyelidik.
"Nggak mesra-mesraan lagi ke Andrew?"
Sella melirik Leonor dengan penuh rasa ingin tahu.
Leonor mengangkat bahu. "Malas."
"Idih, biasanya udah kayak lubang idung sama upil. Lengket banget," komentar Rheyna sambil mengerucutkan bibirnya.
"Bikin perumpamaan yang bagus dikit dong." Leonor langsung memutar bola matanya.
"Bool dan tai."
"Anying."
"Andrew tainya," lanjut Sella.
Rheyna mengangguk mantap.
"Bentar, gue boolnya berarti dong?" Leonor menatap mereka bergantian.
Rheyna berdecak karena hampir mual. "Bahas apa sih ini jijik."
"Lah, lo yang mulai?!"
[Poin Persahabatan +20]
"Perkara bool sama tai aja bisa ningkatin poin persahabatan?" batin Leonor heran.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan topik absurd itu, Rheyna tiba-tiba menurunkan suaranya dan melirik ke satu arah.
"Si Ivelyn juga liat nggak, tuh?" bisiknya pelan.
Leonor mengikuti arah tatapannya dan melihat perempuan yang tadi bersama Andrew, Ivelyn, masih berdiri di dekat meja Andrew.
Gadis itu tampak sibuk mengobrol dengan beberapa rekan kerja, tapi ada sesuatu dalam caranya melirik ke sekitar yang membuat Leonor bisa langsung menebak isi pikirannya.
"Apa-apaan coba najis," Rheyna mendecak. "Cowok mau tunangan juga masih dideketin. Dasar cewek gatel."
"Santai aja." Leonor hanya tersenyum tipis. "Udah gue batalin."
"Apanya?" Rheyna masih menatap ke arah Andrew tanpa sadar akan jawaban Leonor.
"Pertunangan gue sama Andrew."
"HAHH??"
Sella dan Rheyna berseru bersamaan, hampir membuat beberapa karyawan di sekitarnya menoleh.
Sheyla akhirnya tertawa pelan. "Gue dukung lo sih. Itu cowok red flag banget."
"Inget nggak waktu lo sama Andrew janjian ngedate, dia malah batalin karena katanya Ivelyn lagi demam?" Rheyna mengingatkan.
Leonor hanya tersenyum tipis. "Ah sudahlah. Sekarang 'kan udah putus."
Sella menyahut. "Mending lo deketin anak magang aja. Ganteng banget, njir."
Leonor menatapnya curiga. "Anak magang yang mana?"
"Yang rambut perak kayak Sylus itu lho." Rheyna ikut tersenyum penuh arti.
Rheyna menjeda ucapannya sejenak, lalu bertanya ke Sella. "Siapa namanya, Sel?"
"Alex."
Dan saat itu juga, Leonor baru ingat sesuatu.
Oh, iya. Bagaimana bisa ia lupa?
Alex itu kerja di kantor yang sama dengannya. Menyamar jadi anak magang, padahal sebenarnya putra CEO.
Sebelum Leonor bisa merespons lebih jauh, tiba-tiba suara tegas terdengar dari belakang mereka.
"Three Musketeers! Kerja, woy! Ngerumpi mulu."
Atasan mereka--pria tua di umur sekitar 50an dengan ciri khas kepala botak tengah--Pak Budi, yang sedang patroli melintas, menatap mereka bertiga dengan tatapan tajam.
Sella, Rheyna, dan Leonor langsung pura-pura sibuk, kembali ke meja masing-masing dengan ekspresi polos seakan tidak terjadi apa-apa.
Namun, sebelum kembali fokus ke layar komputer, Rheyna masih sempat berbisik.
"Sumpah, lo beneran harus liat Alex. Wajahnya kayak malaikat."
Leonor tersenyum kecil.
Iya, malaikat.
Malaikat maut.
TBC
6
Be Careful, Please!
Di tengah ruangan cafetaria yang ramai, suara orang bercakap-cakap bercampur dengan dentingan sendok dan garpu. Beberapa pegawai makan dengan tenang, sementara yang lain asyik membahas pekerjaan.
Di salah satu meja dekat jendela, Leonor, Shella, dan Rheyna duduk dengan nampan makan siang di depan mereka.
"Si botak nyebelin banget anying." Sella menyandarkan kepalanya ke meja dengan ekspresi lelah. "Dia pikir kita ini robot?"
"Klien juga kek tai dah. Bilangnya 'revisi dikit kok', alah pret aslinya mah kerjain ulang dari nol." ujar Rheyna, lalu mengambil minuman boba yang dibelinya.
Leonor yang sejak tadi diam hanya terkekeh pelan, mengaduk jus jeruknya.
"Paling anjing lagi, gue udah revisi ini revisi itu malah disuruh pakai desain awal." Sella menatap mereka dengan wajah lelah.
"Shibaall!"
Obrolan dilanjut dengan Rheyna dan Sella yang terus-terusan mengumpat. Merasa ada yang tak seperti biasanya, Rheyna menatap Leonor heran.
"Leonor tumben kalem. Kesurupan lo?" tanya Rheyna.
"Lah iya. Biasa dia yang paling banyak misuhnya." Shella menangapi dengan heran.
Leonor tersenyum manis.
Sebenarnya... energi Leonor habis--bahkan untuk sekedar mengumpat.
Leonor--Lintang adalah tipikal manusia introvert yang sering menghabiskan waktu hanya di rumah saja, tapi sekarang malah kerja di kantor, berinteraksi dengan banyak orang. Mana tekanan kerjanya tinggi lagi.
Baterai sosialnya sekarang benar-benar habis.
"Jangan heran dong." Leonor mencoba bercanda.
"Biasanya yang paling kalem diantara kita 'kan emang gue," ujar Leonor coba mengelak.
"Pret."
[Poin persahabatan +10]
Rheyna mencibir, lalu tiba-tiba matanya berbinar saat melihat sesuatu di kejauhan. Ia menyenggol lengan Leonor dengan antusias.
"Eh, itu Alex!"
Leonor menoleh malas. Rheyna menganggukkan dagunya ke pojok cafetaria.
Di sana, Alex duduk bersama temannya di meja dengan ekspresi tenang, seolah hiruk-pikuk cafetaria tidak ada hubungannya dengan dia. Rambut peraknya terlihat berkilau di bawah cahaya lampu, seragam kantornya rapi tanpa cela, dan gerak-geriknya begitu anggun meskipun ia hanya sedang menyantap saladnya dengan tenang.
"Ganteng, 'kan?" Tanya Rheyna.
"...Ganteng," gumam Leonor seadanya.
Rheyna tersenyum misterius, lalu tiba-tiba menjerit keras di tengah cafetaria.
"BUAT YANG NAMANYA ALEX, LEONOR BILANG LO GANTENG!"
Cafetaria langsung hening.
Beberapa orang menoleh, beberapa masih diam dengan sendok menggantung di mulut mereka. Bahkan suara alat makan yang beradu dengan piring pun mendadak lenyap.
Dan di tengah kekacauan itu, Leonor kaget setengah mati.
"Rheyna!!"
Dalam sepersekian detik, refleksnya bekerja lebih cepat dari otaknya. Dengan tangan gemetar penuh kepanikan, ia langsung membekap mulut Rheyna dengan kedua telapak tangannya.
"Nggak usah teriak juga!" desis Leonor, wajah gadis itu sudah merah padam.
Rheyna hanya tertawa di balik tangan Leonor yang masih membekap mulutnya.
Namun... semuanya sudah terlambat.
Karena di sudut ruangan, Alex menoleh. Mata indahnya menangkap langsung sosok Leonor yang masih membekap mulut temannya, sementara wajah gadis itu penuh dengan kepanikan.
Sial. Leonor hampir menangis di tempat.
Rheyna merusak rencananya!
Alex ini orang gila. Dia bisa membunuh siapapun yang mengusiknya. Apalagi malah secara terang-terangan seperti ini, di tempat ramai pula!
Pria sinting itu juga bukan tipikal manusia yang bisa didekati secara ugal-ugalan.
Padahal rencana awal Leonor adalah mendekati Alex secara smooth--elegan, halus, mengalir seperti alur cerita yang mulus-- sama seperti yang Ivelyn lakukan di novel.
Astaga.
Sekarang Leonor hanya bisa berdoa. Semoga kematian tak kunjung menjemputnya.
***
Di pojok cafetaria, tepatnya di meja dekat jendela, Alex duduk bersama beberapa teman magangnya. Tidak seperti meja lainnya yang dipenuhi suara obrolan santai, meja mereka cenderung lebih tenang... kecuali untuk satu atau dua orang yang mulutnya tidak bisa diam.
"Itu senior rempong apaan dah, berisik banget." Deon-cowok berambut cepak yang duduk di sebelah Alex-mendengus sambil menyesap kopinya.
Brandon, pria berkacamata yang duduk di seberang mereka, ikut melirik ke arah meja yang dimaksud.
"Namanya aja trio rempong. Apa sih julukan mereka?"
Deon menyahut. "Three Musketeers."
Alex tetap diam, hanya mendengarkan tanpa ekspresi, sementara Brandon terkekeh.
"Pantesan. Tapi Leonor cantik banget, njir."
Alex yang awalnya tidak terlalu peduli akhirnya mengangkat kepalanya.
"Leonor yang mana?" tanya pria itu dengan nada datar.
Brandon langsung menunjuk ke arah meja Leonor. "Itu, pakai blouse putih dengan rok merah muda. Rambutnya digerai."
Alex mengangguk kecil, matanya mengamati sosok gadis itu tanpa ekspresi. Ah, jadi itu cewek yang sama yang menunjuk-nunjuk dirinya saat jalan santai.
Brandon tiba-tiba menyenggol bahu Alex dengan sikutnya. "Resiko jadi orang ganteng, ya kan, Lex?"
Alex tersenyum tipis, tetap fokus pada makanannya, mengabaikan komentar tidak penting itu.
Namun, Deon kembali berulah. "Gue kalau jadi cewek juga naksir Alex kali, ya."
Brandon yang sedang minum hampir tersedak. "Belok ya lo?"
"Kan misal, cok, kalau gue cewek."
Alex memandangi mereka dengan wajah datar, dalam hati ingin merobek mulut mereka satu per satu.
Berisik.
Alex benci orang yang berisik. Apalagi harus bergabung dengan rakyat jelata seperti ini.
Papanya juga sialan. Sebelumnya, ia dijanjikan posisi CEO jika datang ke sini. Tapi ternyata malah harus menyamar sebagai anak magang dulu selama sebulan.
Pandangan Alex kembali beralih ke arah Leonor.
Gadis yang kemarin menunjuk-nunjuk dirinya yang sedang jalan santai, lalu entah kenapa tiba-tiba lari ketakutan saat di minimarket.
Pria itu kembali mengamati Leonor lebih dalam. Mata gadis itu indah, rambutnya berkilau, kaki jenjang, tubuh ramping.
Tampaknya Leonor akan cocok untuk dijadikan sebagai 'boneka' barunya.
***
Hari sudah malam. Suasana di depan kantor mulai lengang, hanya tersisa beberapa karyawan yang masih sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Leonor melangkah keluar dari gedung dengan napas panjang. Hari ini benar-benar melelahkan. Kepala dan tubuhnya terasa berat, pikirannya penuh dengan berbagai hal yang masih mengganggu.
Udara malam menyentuh kulitnya. Ia melirik jam di pergelangan tangan—sudah hampir jam sembilan.
Saat ia menuruni tangga kecil di depan kantor, sebuah klakson pendek terdengar.
"Seriusan nggak mau nebeng?" tanya Sella dari balik kemudi, meliriknya sambil melajukan mobil pelan.
Leonor menoleh sekilas, lalu menggeleng. "Duluan aja, Sel. Gue naik ojol."
Sella mengangkat bahu. "Yaudah."
Begitu mobil Sella melaju menjauh, Leonor segera mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojol. Namun, sebelum ia sempat mengetik, langkahnya terhenti.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik terparkir di depan kantor. Dan seseorang berdiri di sampingnya.
"Kak Sebastian?"
Leonor tertegun melihat sosok Sebastian berdiri di depan kantornya. Laki-laki itu bersandar pada mobil mewahnya, tampil dengan kemeja hitam yang lengannya sedikit digulung, memperlihatkan pergelangan tangan yang dihiasi jam mahal. Rambutnya tertata acak namun tetap terlihat keren, dan ekspresi wajahnya seperti biasa: culas.
"Disuruh Mama," jawab Sebastian singkat tanpa ekspresi. "Cepet naik!"
Leonor tak ingin memperpanjang pembicaraan. Ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam tanpa banyak bicara. Aroma khas parfum Sebastian langsung menyergap penciumannya, wangi maskulin yang elegan dan berkelas.
"Jangan geer," ucap Sebastian tiba-tiba.
Leonor hanya tersenyum tipis untuk menanggapi.
"Siapa juga yang geer?" batinnya. Tapi Leonor seperti biasa hanya memilih untuk diam menatap ke luar jendela.
Hening menyelimuti mobil, hanya terdengar suara lembut dari mesin yang berjalan mulus. Atmosfer di dalam mobil terasa begitu dingin, nyaris menyesakkan.
"Lo mau batalin tunangan sama si Andrew?" Setelah beberapa menit yang terasa lama, Sebastian akhirnya membuka suara.
Leonor menoleh sejenak, lalu mengangguk. "Iya."
Sebastian mendecih. "Nyusahin keluarga aja. Udah bagus dapet anak orang kaya, masih banyak mau."
Leonor menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. "Aku cuma nggak mau terjebak dalam hubungan yang nggak aku inginkan."
"Terjebak?" Sebastian tertawa sinis. "Lagian lo sama Andrew juga nggak level. Anak angkat doang--"
"Iya iya kak," potong Leonor cepat, suaranya berusaha terdengar stabil meski hatinya mencelos.
"Aku cuma anak angkat keluarga Ashborne. Nggak pantas dapet cowok kayak Andrew. Aku paham. Nggak usah diperjelas."
Sebastian terdiam, tangannya sedikit mengeratkan genggaman pada setir. Ada yang aneh.
Harusnya, Leonor langsung marah tak terkendali, meledak-ledak atau paling tidak mengumpat bak orang gila saat mendengar ucapannya.
Tapi kali ini, gadis itu hanya tersenyum kecil dan menanggapi dengan tegar. Kenapa sekarang perempuan gila ini jadi sok bijak, sih?
Brengsek. Bikin tambah bersalah saja.
[Sebastian: 7%-->11%]
Setelah beberapa saat, Sebastian akhirnya membuka mulut lagi. "Mobil lo udah beres. Besok bisa diambil."
"Makasih banyak," ucap Leonor sambil membuka pintu mobil.
Sebelum keluar, gadis cantik itu menoleh sebentar.
"Maaf kalau kakak merasa direpotin karena harus jemput aku," ujar Leonor dengan tulus.
Sebastian hanya diam tak menyahut.
Leonor masih mempertahankan senyumnya. "Kakak mau kemana?"
"Ada kerjaan," jawab Sebastian singkat.
Leonor menatap Sebastian sejenak sebelum akhirnya tersenyum manis.
"Hati-hati ya, Kak. Jangan nyetir ugal-ugalan."
Sebastian mendengus. "Nggak usah sok peduli."
"Bukan sok peduli. Tapi aku cuma nggak mau kakak kenapa-kenapa," jawab Leonor tersenyum manis.
Sebastian menatap adik angkatnya itu dengan wajah datar.
"Semoga selamat sampai tujuan, kak."
Mendengar Leonor yang berkata demikian, Sebastian hanya memutar bola matanya malas, lalu menekan pedal gas dan melajukan mobilnya dengan cepat.
[Sebastian: 11%-->15%]
TBC
=====
7
Psycho
Three Musketeers
Sella
Ayo mabok
Rheyna
Nggak sopan
Dateng2 ngajak mabok
Tapi gassslah
Sella
@Leonor
Leonor
Malas
Rheyna
@Leonor Jangan kek orang
nolep, deh
Leonor
Mabok is not my style
Sella
Rheyna
Orang nolep lebih baik
dikeluarkan aja dari sirkel
Sella
Rheyna
SELLA STOP KIRIM MEME NGGAK JELAS BISA NGGA?
Sella
Rheyna
_____
Tak ingin memedulikan group chat temannya itu, Leonor langsung merebahkan dirinya ke kasur.
[Poin reputasi akan ditambah +30 jika ikut ke club]
Melihat sistem menyuruh dirinya, membuat Leonor memutar bola mata malas. Ada saja gangguan saat ingin rebahan.
Segera, ia mengetik pesan secara ogah-ogahan ke grup.
____
Leonor
Gwejh ikut banh
______
***
Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dan mengisi dada dengan irama yang memacu adrenalin. Cahaya warna-warni berkedip liar, seolah menari bersama orang-orang yang sudah setengah mabuk di lantai dansa. Sella mengangkat gelasnya tinggi-tinggi sebelum menenggaknya dalam sekali tegukan.
"Sumpah ya pokoknya besok gue mau resign!" keluh Sella sambil mengibaskan rambutnya yang sudah sedikit berantakan.
"Basi. Lo udah bilang kayak gitu sejak dua tahun lalu," balas Rheyna sambil tertawa.
Leonor mengaduk minumannya dengan sedotan.
"Kalau bukan karena kalian yang ngajak, gue gak bakal mau ke tempat beginian," kata Leonor, menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil meringis kecil.
"Berisik banget ternyata, cok," lanjutnya sambil menutup telinga karena memang berisik sekali.
"Bukannya biasa lo yang paling semangat ke club?" tanya Rheyna dengan alis berkerut.
"Tau tuh. Kayak orang nolep baru pertama kali ke club aja." Shella ikut menanggapi dengan nada heran.
Leonor kelabakan. Ini memang pertama kalinya ia ke club malam. Ia kemudian mengalihkan perhatian mereka dengan topik lain.
Mereka terus berbincang sambil sesekali menenggak minuman, membiarkan dunia luar menghilang sejenak dalam gelombang musik dan canda tawa. Tapi setelah beberapa lama, Leonor mulai merasa pengap. Udara di dalam club terlalu sesak oleh bau alkohol, parfum mahal, dan asap rokok yang bercampur jadi satu.
"Gue keluar bentar buat cari udara segar," kata Leonor sambil bangkit.
"Jangan kabur, ya! Lo harus balik lagi!" seru Rheyna. Gadis itu mulai mencari lelaki tampan untuk diajak dansa bersama.
"Iya, tenang aja." Leonor melambaikan tangan sebelum berjalan keluar.
Begitu keluar dari club, udara dingin malam langsung menyentuh kulitnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kelegaan yang tak bisa ia dapatkan di dalam ruangan penuh sesak itu.
"Ngapain nyuruh gue keluar?" tanya Leonor saat keluar dari klub malam.
Benar, tadi sistem yang menyuruhnya keluar.
[Ikuti jalan petunjuk dari saya menuju ke suatu tempat.]
Leonor menghela napas, dan akhirnya memutuskan untuk menurut.
Kakinya melangkah pelan di trotoar yang basah oleh sisa hujan. Cahaya lampu jalan berkedip lemah, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak di permukaan aspal.
* * *
[Sudah sampai.]
Udara malam terasa menusuk kulit saat Leonor melangkah pelan mengikuti petunjuk sistem. Ada sesuatu yang terasa janggal, seperti firasat buruk yang merayap di tulang belakang.
Gang ini begitu sunyi. Terlalu sunyi.
Dan saat Leonor melangkah lebih dekat, matanya membelalak lebar.
Di bawah cahaya lampu jalan yang berkedip lemah, seorang pria menggenggam erat sebilah pisau panjang, meneteskan darah segar ke aspal yang basah bekas hujan.
Di bawah kaki pria itu, tergeletak tubuh seorang perempuan-bersimbah darah.
Napas Leonor tersangkut di tenggorokan.
Pandangannya terpaku pada sosok yang kini berjongkok di samping korban. Ekspresinya begitu tenang dan dingin. Seolah sedang menilai hasil karyanya dengan penuh perhatian.
Alex.
Malaikat mautnya itu kini telah membunuh seseorang dan Leonor adalah orang yang telah memergokinya!
Leonor melangkah mundur perlahan, ingin menghindari masalah yang bisa timbul dari ini.
Namun apes tentu saja nasib seorang tokoh utama yang selalu dirundung masalah--
Krek!
Dann yap, Leonor menginjak pecahan kaca di jalan.
Seakan waktu melambat, Alex menoleh perlahan. Mata gelap itu kini mengarah lurus ke arahnya. Tatapan tajamnya menusuk, menguliti hingga ke tulang.
Jantung Leonor serasa berhenti berdetak
Napasnya tersengal, tangan mencengkeram erat bajunya, berusaha menahan getaran yang mulai merambat ke sekujur tubuhnya.
"Leonor, ya?" suara pria itu terdengar tenang. Seolah ia baru saja menyapa seorang teman lama, bukan seseorang yang baru saja memergokinya membunuh.
Darah masih menetes dari pisaunya, meninggalkan jejak merah di aspal.
"S-sumpah gue nggak liat apa-apa!" seru Leonor panik.
Sejenak, Leonor sempat terpikir sebentar untuk keluar dari game--karena sistem bilang ia bisa keluar kapan saja.
Tapi bayangan uang milyaran yang akan terbuang sia-sia menghantui pikirannya.
Leonor bahkan sudah usaha menggoda kakak angkatnya dan belum dapat untung sepeserpun.
Jadi tolong jangan bunuh dia dulu!
Panik merayap di tubuh gadis itu. Ingin berlari, tapi kakinya seakan terpasung. Ingin berteriak, tapi suaranya menghilang tertelan ketakutan.
[Eits! Anda tak bisa lari atau berteriak untuk sekarang]
"BANGSAATT!" Batin Leonor berteriak.
Alex sudah tepat di depannya. Kilatan perak dari indah surai pria itu menerpa cahaya remang.
Pisau sang malaikat maut sekarang ada di bawah dagu Leonor. Ujungnya yang masih berlumuran darah menekan leher sang gadis. Dingin dan tajam, membuat bulu kuduk Leonor meremang.
"Ada kata-kata terakhir?"
Leonor tak bisa menjawab. Napasnya pendek, dadanya naik turun cepat. Ia bisa mencium bau anyir darah yang menempel di tubuh pria itu, bercampur dengan aroma parfum maskulin yang familiar.
Sekujur tubuh sang gadis menegang. Pikirannya mendadak jadi kosong.
Alex mencondongkan wajahnya sedikit lebih dekat, begitu dekat hingga Leonor bisa merasakan hembusan napasnya di kulitnya. Mata pria itu tak berkedip, penuh dengan sesuatu yang gelap dan mengerikan.
"Jangan takut, cantik," bisik Alex. "Mati nggak sakit, kok."
Leonor tersentak. Ia harus berpikir untuk melakukan sesuatu sebelum pria ini menggoroknya hidup-hidup.
Aha! Leonor mendapat ide.
"Sistem, tolong! Ubah semua poin yang ada! Naikkan skill Manipulasi Pikiran gue ke level tertinggi!" Leonor berteriak dalam hatinya. Tahu kalau sistem bisa mendengar.
[Baiklah!]
[Poin persahabatan: 70]
[Poin Reputasi baik: 30]
[Total poin +100 akan dikonversi menjadi persentase manipulasi pikiran.]
[Pengubahan dari poin ke persen manipulasi adalah rata-rata yaitu dengan dijumlahkan total semua poin lalu dibagi dua.]
"Pake dihitung ribet segala! Cepetlah! Keburu mati gue anjir!"
[(70 + 30) : 2 = 50% untuk manipulasi.]
[Persen awal manipulasi pikiran: 15% + tambahan poin (50%) = 65% kekuatan manipulasi]
[Manipulasi pikiran seperti apa yang kamu harapkan?]
"Terserah! Manipulasi pikiran apa aja supaya Alex punya belas kasih buat gak bunuh gue!"
[Orang seperti Alex tak punya belas kasih.]
Sial! Bahkan di situasi hidup dan mati ini, sistem masih sempat mendebat ucapannya.
Leonor semakin putus asa ketika merasakan pisau itu sedikit bergeser, menggores pelan kulitnya. Rasa perih menusuk, darah hangat mengalir tipis dari lehernya.
"Cinta! Cinta bisa nggak?!"
[Apalagi cinta. Alex nggak pernah mencintai seseorang.]
"UASUUU! TERUS APA INI BANTU GUE DONG PLIS?!"
[Entahlah :(]
Leonor hampir menangis saat mata Alex semakin gelap, tatapan pria itu seakan ingin mengulitinya hidup-hidup.
Pisau ditekan sedikit lebih keras ke leher Leonor. Ia bahkan bisa merasakan perih menjalar di leher karena goresan pisau.
Leonor putus asa...
"NAPSU AJA DAH NAPSU. SETIAP COWOK PASTI PUNYA HAWA NAFSU GEDE, 'KAN? TAPI JANGAN NAFSU MEMBUNUH."
[Baiklah! Dalam beberapa menit ke depan, Alex akan merasakan dorongan nafsu terhadap Player.]
[Aktivasi dalam... 3... 2... 1...]
Seketika, sesuatu dalam diri pria itu berubah.
Pisau yang sedari tadi menekan lehernya terjatuh, bergema pelan saat menghantam aspal.
Leonor bisa melihat dengan jelas-cara mata tajam pria itu bergerak liar menyisir wajahnya dan menelusuri lekuk bibirnya dengan penuh intensitas.
Malaikat maut tampan itu kini mencondongkan wajah lebih dekat dan membelai lembut bibir Leonor.
"Om jangan om," batin Leonor sembari menggigit bibir pelan agar tampak makin menggoda.
"Jangan ragu-ragu maksudnya eak."
Dan...
Cup!
[Alexander: 0% --> 23%]
TBC
.
.
.
A.N
Inget nggak sih? Irene--Rose waktu main game ini juga punya skill manipulasi pikiran buat satu sekolahan lupa kasus dia sama Ara dulu.
Anyway
Here's my reference
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
