Ni Hao Ma #CeritadanRasaIndomie

9
7
Deskripsi

Api itu menjalar melalap toko milik Papa. Sebagai anak kecil keturunan Tionghoa, jiwaku cukup bergetar saat orang-orang penuh murka itu berteriak, “bakar orang Cina!” 

Di mana Papa? Asap mulai mengepul membuat dada sesak. Seharusnya aku mendengar apa kata Papa untuk tidak datang ke toko hari ini.


 

Glodok, 14 Mei 1998

Air mata berderai. Bak dipalu ke dalam lapisan bumi, kaki sampai tidak bisa beranjak dari pemandangan yang paling mengerikan. Aku menyesal tidak mendengar apa kata Papa untuk tidak pergi ke toko siang ini.Tidak seperti biasanya, toko elektronik milik Papa ramai orang. Namun, mereka datang ke toko itu bukan untuk membeli barang elektronik. Satu truk orang berduyun-duyun turun membobol toko. Tanpa perasaan bersalah, mereka mengambil barang-barang dari toko tanpa membayar.

Entah di mana Papa siang itu, tapi kaki kecil ini benar-benar tidak bisa diangkat dari riuh teriakan orang-orang yang menggila. Asap mengepul. Api mulai berkobar melalap sisi kanan dan kiri toko milik Papa. 

“Bakar orang-orang Cina!” teriakan itu membuat jantung berhenti berdegup.

Setengah linglung, aku berbalik mencari celah di antara himpitan tubuh orang dewasa yang berkelakuan bak anak kecil. Mata sipit ini tidak berhenti mengeluarkan air mata kesedihan.

“Papa… Papa…” Hanya itu yang bisa kuteriakan.

Berada di tengah lautan manusia, tubuh kecil ini terombang-ambing. Udara, yang biasa kuhirup bebas, harus diperebutkan oleh ratusan manusia penuh ego. Bukan hanya itu, asap mengepul di atas toko-toko yang habis dibakar. Itu membuat dada semakin sesak.

Di saat aku sudah berada di titip pasrah, karena menjadi anak Tionghoa yang terjebak di antara ratusan pendemo, sebuah tangan menyeret tubuh kecil ini. Tidak ada perlawanan, aku menyerah mengikuti jejak  seorang lelaki. 

Aku mengenal lelaki ini. Lelaki berusia tiga puluh tahunan yang sering melempar koran ke toko Papa. Papa bilang si Loper Koran ini kurang sopan dan tidak berpendidikan. Saat itu, aku menganggapnya hanya seperti semut—mudah diinjak.

Tangannya menyeretku lumayan jauh dari keramaian. Di sebuah gang kecil, kulihat sepeda usangnya disandarkan ke tembok. Tangan si Loper Koran, yang begitu kontras dengan warna kulit lenganku, melepaskan gengamannya. Di detik itu, kulihat sosok malaikat terlukis di wajah dungu milik Si Loper Koran.

Ni hao ma?” 

Pertanyaan bodoh itu terlontar dari mulutnya. Seringai senyum menghiasi wajahnya seolah-olah dia ingin memberitahu kalau semua sedang baik-baik saja—padahal tidak.

“Aku cuman ingin pulang!” rengekku dengan wajah merah karena kebanyakan menangis.

Tanpa menjawabnya, Si Loper Koran mengangkat tubuhku ke boncengan sepeda miliknya. 

“Mari pulang!” ucapnya lalu dengan bertelanjang kaki, dia mengayuh sepedanya melewati gang-gang kecil yang senyap.

Semua orang saat itu diselimuti rasa takut, cemas, dan kecewa secara bersamaan. Bahkan tanpa banyak tanya, aku hanya bisa menikmati angin yang mengibaskan rambut. Suara pedal sepeda yang diayunkan serta rantai kering butuh oli bagaikan nyanyian kesunyian mengiringi kesedihan.

Rupanya Si Loper Koran itu bukan mengantarkanku pulang ke rumah, tetapi dia mengantarkan dirinya pulang. Rumah beratapkan seng, berdinding kayu, dengan kain terpal sebagai pintu berdiri tegak di samping kali.

“Masuk dulu!” ujarnya sesaat setelah menurunkanku dari sepeda bututnya.

Tidak pernah terbayangkan sekali pun di kepalaku untuk masuk ke dalam rumah yang tidak bisa dikatakan rumah. Aku hanya ingin pulang saat itu. Lalu tangisanku pecah. 

“Aku pengin pulang!” rengekku membuat Si Loper Koran kebingungan.

“Aku pasti antarkan kamu pulang, tapi masuk dulu! Aku belum makan dari tadi pagi!” ungkapnya.

Perutku juga mulai bergejolak. Tadi pagi, aku tidak sarapan terlalu banyak. Aktivitasku di sekolah cukup menguras tenaga. Belum lagi daritadi aku berderai air mata terus menerus. Tenagaku hampir habis.

Dengan perasaan pasrah, aku kembali masuk ke dalam ruangan redup tanpa kursi. Si Loper Koran mempersilakanku duduk di satu-satunya singgasana miliknya—yaitu satu lembar tikar. 

Tanpa banyak kata, dia langsung membuka satu kresek hitam yang tergantung di balik papan pintu. Saat dia hanya mendapati satu bungkus Indomie, Si Loper Koran itu terdiam sejenak. Dia pikir kalau dia masih memiliki dua bungkus Indomie Kuah Ayam Bawang, tetapi rupanya hanya satu. Perutnya sudah bernyanyi dari tadi. Sekarang ada dua perut yang kelaparan, tetapi hanya ada satu Indomie. Dia melirik sejenak ke arahku. Lalu tersenyum.

Ni hao ma, kamu harus banyak makan, ya! Ini Indomie keberuntungan kita karena hanya satu!” ujarnya dengan wajah begitu ceria.

Baru kusadar kalau ni hao ma ini adalah nama panggilannya kepadaku. Dia pikir ni hao ma ini adalah namaku. Mungkin dia berpikir seperti itu karena sering mendengar Papa berucap ni hao ma saat aku pulang sekolah.

Tidak lama kemudian, dengan mangkuk bergambar ayam, asap mulai mengepul. Saat menghidu aroma khas Indomie, pikiranku melayang pada hangatnya Imlek di tengah keluarga. Mama sering membuatkanku Indomie rebus. Dia bilang kalau mie itu melambangkan kebahagiaan dan rezeki yang tidak terputus.

Lalu Si Loper Koran itu meraih dua sumpit kayu dan mengelapnya dengan baju. 

“Makanlah! Jangan berhenti menyeruput mienya sampai ujung! Karena mie itu melambangkan umur panjang dan rezeki yang luas,” ujarnya memberikan satu mangkuk mie yang menggiurkan.

Sejenak aku menatap si Loper Koran itu. Rasanya aku tidak pernah melihat sosok yang lebih pahlawan daripada Papa. Namun, sekarang, si Loper Koran kucel ini bak cahaya di tengah kegelapan.

Tanpa banyak kata, aku langsung menyeruput mie hangat itu. Rasa kuah ayamnya begitu membanjiri liur di dalam mulut. Aroma khas dari bumbu Indomie membuat mulut tak berhenti mengunyah dan menelan mie kenyal itu. Tanpa sadar, tatapan Si Loper Koran itu masih sendu walaupun sebetulnya perutnya juga lapar.

“Makasih,” ujarku menyodorkan satu mangkuk kosong yang tersisa hanya dua sendok air kaldu. 

Sebelum Si Loper Koran itu menjawab ucapanku, dia tergesa-gesa menyeruput sisa kaldu langsung dari mangkoknya.

“Hmmm…” Lidahnya membersihkan sisa kaldu di mulut. “Sama-sama,” sambungnya sambil tertawa lebar.

Sejak itu, aku jadi sadar kalau rupanya orang kecil itu tidak selamanya sempit. Bisa jadi orang kecil itu hatinya lebih luas daripada orang kaya. Si Loper Koran justru mengajarkanku bagaimana tulusnya hati meskipun hanya tergambar dari satu bungkus Indomie Kuah Rasa Ayam Bawang.

 

Beberapa tahun kemudian.

Jakarta, 16 Februari 2018

Hujan rintik membasahi kap mobil mewah. Jakarta tempo dulu dan sekarang tidak jauh berbeda—sama-sama penuh, padat, dan menyesakkan dada. Mata tidak berhenti berkedip menatap hingar bingar Jakarta.

Sejak kejadian Mei 1998, keluarga memutuskan untuk pindah ke Singapura dan menetap di sana. Namun, Perusahaan, tempatku bekerja, memiliki proyek kerjasama dengan Indonesia. Akhirnya, aku kembali ke Jakarta setelah sekian purnama. Satu yang kucari dari tanah jahanam ini, yaitu si Loper Koran.

Dua puluh tahun telah berlalu, tetapi suara pedal sepeda si Loper Koran masih terngiang. Belum lagi kaldu Indomie rebusnya masih terasa di mulut— hal-hal itu yang masih kurindukan. Setelah mencarinya dalam beberapa minggu, tanpa patah arang, akhirnya aku menemukan peracik mie yang sangat kurindukan. Malam ini begitu spesial karena bertepatan dengan hari raya Imlek.

Tepat di depan rumah yang masih beratapkan seng, dengan dada membusung dan mengaitkan rambut, aku mengetuk pintu papan. Seorang anak remaja berusia tujuh belas tahun membukakan pintu dengan muka bengong. Sebelum anak itu menyapaku, sebuah wajah yang tidak asing muncul dengan wajah tak kalah bingung.

“Ada apa, ya?” tanyanya gentar melihatku datang mengenakan pakaian rapi, memakai sepatu stiletto, dan belum melepaskan kacamata hitam. 

“Saya ingin makan Indomie kuah rasa ayam bawang,” jelasku.

“Maaf, sepertinya Anda salah alamat. Ini bukan warung kopi,” ujarnya tidak mengenaliku.

“Pak, ni hao ma?” kataku sambil membuka kacamata hitam.

Dua mata itu lalu berlinang air mata. Kerutan di wajahnya semakin mengerut saat menatapku. Mata sipit ini rupanya tidak dilupakannya.

Ni hao ma?” tanyanya. “Indomie kuah rasa ayam bawang akan segera tersaji!”

Kali ini pun tidak ada yang berbeda, aku tetap menyeruput habis Indomie kuah rasa ayam bawang buatannya. Mie panjang ini melambangkan umur panjang dan rezeki yang tidak putus. Akan selalu ada cerita dalam setiap rasa,  begitu pula dengan Imlek tahun ini—antara aku dan Indomie kuah ayam bawang.[]


 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan