(pendek) Menunggu Richard

0
0
Deskripsi

November 2019 lalu, aku mangkir dari Nanowrimo karena faktor pekerjaan. Ini adalah salah satu cerita pendek iseng yang konsepnya tercipta pada bulan tersebut. 711 kata.

Merang terisak. Suaranya sudah lenyap seluruhnya, sementara transformasi Richard belum selesai. Kaki-kaki pemuda itu belum cukup pendek dan kurus. Jemarinya masih kempis, belum siap mengepak. Sayapnya masih selaput yang bertumbuh terlalu pelan.

Merang tahu dirinya berbeda. Dinyana tunawicara sejak lahir dan tumbuh di keluarga Minahasa adalah kombinasi sulit. Merang butuh dua puluh tahun untuk meyakinkan setidaknya satu orang saja, bahwa dia sesungguhnya bisa berbicara. Satu-satunya masalah adalah suara bicara Merang ada di luar jangkauan pendengaran manusia. Oleh karena itu, hanya ada satu makhluk yang bisa menolongnya. Manulawar, alias manusia kelelawar. Richard adalah salah satunya.

Menemukan manulawar bukan hal mudah. Manulawar termasuk makhluk yang dilindungi, juga makhluk tertutup dan tak ingin keberadaannya tercium awak media. Merang yang bisa mendengar pun jadi terpaksa menulikan dirinya, demi bisa masuk ke sebuah SLB B yang punya orang dalam di komunitas manulawar. Dari sana, Merang berkenalan dengan Grace. Wanita paruh baya yang biasa mengatur suplai kelelawar untuk restoran-restoran yang menghidangkan paniki itu cepat akrab dengan Merang, meskipun hanya bermodalkan kertas, pena, dan bahasa tubuh. Mereka menjalin hubungan yang cukup intens, sampai kemudian beribadah di gereja yang sama, dan Merang pun diperkenalkan Grace kepada Richard—keponakannya sendiri.

Sejak pandangan pertama, Merang tahu Richard adalah manulawar. Perawakan kecil, empat anggota tubuh yang pendek dan dibungkus bulu tebal, serta empat taring panjang yang jenjang adalah ciri-ciri tak terbantahkan. Richard boleh lahir sebagai manusia, tetapi pada akhirnya jiwa manusianya akan bertubuh kelelawar. Inilah pengalaman pertama Merang berhadapan dengan kaum yang bisa mendengarnya. Merang tak berani bertanya terlalu banyak. Takut menyinggung perasaan Richard maupun Grace dan takut kehilangan satu-satunya harapan Merang untuk didengarkan. Grace dan Merang tahu pengharapan mereka saling silang, arahnya berlawanan, tetapi mereka memilih diam; sambil menyaksikan perubahan tubuh Richard dan pasrah saja.

Suatu siang, Richard terguling saat berlutut di altar. Grace tidak ada di gereja kala itu; dia hanya mendengar kabar dari pendeta dan beberapa umat yang menjadi saksi. Richard dibawa ke rumah sakit. Dokter tak bisa berbuat banyak, karena lutut Richard sudah terlalu lunglai dan kurus untuk ukuran manusia. Mendengar kabar itu, Grace amat terpukul. Dia berhenti mengurus suplai paniki, lalu memutuskan untuk pulang ke rumah saudaranya di Sulawesi—meninggalkan Richard berdua saja dengan Merang.

“Richard, kau bisa dengar aku?”

Belum ada jawaban.

Belum waktunya.

“Richard, katakan kalau kau sudah bisa dengar suaraku.”

Richard yang membelakangi Merang masih bergeming. Berarti memang belum waktunya.

Merang terus bersabar.

Dia tahu ada rumah tua di dekat taman makam. Rumah itu peninggalan pamannya dan sudah tak terurus selama belasan tahun. Wahana yang bagus buat tumbuh kembang kelelawar. Merang yakin Richard kerasan di sana. Dengan demikian transformasi Richard akan lebih cepat dan ucapan-ucapan Merang bisa segera didengarkan. Berkemaslah mereka. Merang memasukkan barang-barang Richard yang semakin sedikit ke dalam koper kecil, lalu mereka mulai tinggal di rumah itu.

Dan tak pernah keluar lagi.

Richard dan Merang tak pernah muncul di gereja lagi. Kaki-kaki Richard sudah kelelawar sempurna, tetapi panjang jari-jari tangannya masih tak cukup, dan kepakan sayap-sayapnya masih rumpang sana-sini. 

Rupanya Richard butuh waktu lama.

Cukup lama.

Atau malah sangat lama.

Lima puluh tahun lamanya Merang menunggu. Rambut putih yang tadinya mulai menyebuk di dahi dan pelipis Merang, kini merata penuh di kepalanya. Baru di hari itulah wajah Richard beralih sempurna. Seratus persen tubuh kelelawar, seratus persen jiwa manusia.

“Richard?”

“Merang?”

Untuk kali pertama dalam tujuh puluh tahun lebih, kata-kata Merang berbalas. Selagi Richard menyulam kata-kata lanjutan dengan gelombang ultrasoniknya, Merang hanya bisa tersenyum puas, memandangi kaki-kakinya yang kini terlalu kurus, bahkan untuk menapak keluar rumah.

Di luar rumah, suara-suara manusia berkejaran. Pemburu kelelawar datang. Baik kelelawar, baik manulawar; semua diambil. Bisnis paniki menggeliat dalam lima puluh tahun. Kelelawar di hutan sudah habis. Kini mereka memburu rumah-rumah tua, kalau bisa yang tak terurus. Kalau bisa, mereka mau menghabisi kaum manulawar; yang bahkan tidak dilindungi saat nyaris punah, karena pemerintah tidak tahu (dan tidak percaya) mereka ada. Pintu mereka digedor tanpa ampun. Merang menoleh ke arah Richard, yang sedang tergantung terbalik di kosen jendela.

“Richard?”

“Ya?”

“Kita lari?”

Richard menggeleng. “Apa kita bisa lari?”

“Kalau begitu, apa rencanamu?”

Mereka berpandangan. Tak jauh di lorong utama, pintu utama mereka sudah berhasil dibengkas pemburu. Richard dan Merang berpandangan. Mata manusia dan mata kelelawar saling mengerjap. Tiba-tiba Merang mendapat gagasan. Mungkin dia bisa mencoba menumpang di atas tubuh Richard, lalu mereka terbang bersama, keluar dari jendela kesempatan.

Jakarta, 04/11/2019

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Short Story
Selanjutnya Kill My Darlings: Tentang Kematian Kas
0
0
Di draf awal Cadl: Sebuah Novel Tanpa Huruf E (2020) ada satu bab yang kusukai karena seru, tetapi setelah melewati berbagai pertimbangan, bab itu dihapus dan tidak bisa kalian temukan lagi di bukunya.Apa gerangan yang terjadi? Mengapa bab tentang kematian Kas itu akhirnya dihapus? Seperti apakah bab itu? Kalian bisa menyimaknya lewat tulisan ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan