My Precious Bastard Boyfriend

2
0
Deskripsi

My Precious Bastard Boyfriend 

Chapter 3-4

                                                                        

 

                                                                                   Bab 3

 

Dylan melangkah menyusuri area monsion dengan siulan di bibirnya. Rencana persembunyiannya terlihat lebih menyenangkan dengan adanya bocah cilik itu. Kedua sudut bibir Dylan terangkat membentuk segaris senyuman. Sayangnya gadis itu masih terlalu kecil untuk di ajak bermain-main di atas ranjang. 

 

"Heehhhh.. Shit!" umpatnya. Membayangkannya saja justru semakin membuat Dylan ingin melakukannya. 

 

"HYA! Kau pecundang tengik!" 

 

Dylan menatap pria yang baru saja mengatainya itu. Pria yang selalu menjadi rivalnya itu, kini terlihat tersenyum sengit kearahnya. Merasa tak takut dengan tatapan tajam pria itu, Dylan balas menatapnya pelik. 

 

Keduanya berjalan saling menghampiri dan berhenti di titik tengah. Melayangkan kebencian dari pandangan mereka. 

 

"Hey Brother. Ku kira kau sudah mati. Aku sudah akan mendatangi pemakamanmu setelah ini." sinis Dylan. 

 

"Oh ya, jika itu terjadi mungkin kita sudah akan bertemu di neraka. Tapi sayangnya... Pesta penyambutan yang ku adakan untuk mu seperinya gagal." 

 

Dahi Dylan berkerut mendengarnya. Ia cukup faham untuk mengerti maksud ucapan saudaranya itu. Dylan berkilat marah. Menarik kerah baju pria itu dan menghimpit tubuh besarnya di dinding. 

 

"Apa yang sedang kau rencanakan Clark," geramnya dengan penuh penekanan di setiap ucapannya. 

 

Clark melihat arloji di tangannya. Menyeringai menjawab tanpa takut-takut. 

"Kurasa satu jam lagi, mansion murahanmu itu akan segera meledak." 

 

Dylan membeku. 

 

“Sial!" rutuknya. Melepaskan cengkramannya. Berjalan menjauh. 

 

"Irham! Cepat pergi dan bawa gadis itu keluar dari mansion. SEKARANG!" titahnya tak terbantahkan. 

 

Irham selaku orang kepercayaan Dylan, secepat kilat melaksanakan tugas majikannya itu. 

 

Setelah memberikan perintah pada Irham. Dylan kembali ke arah Clark dan langsung melayangkan pukulannya. Clark yang terkejut dengan pukulan yang tak terelakkan itu jatuh tersungkur di lantai. 

 

Dylan mengambil kuasa menindih tubuh Clark. Memukuli wajah Clark dengan membabi buta. Semua pukulan itu tak dapat Clark hindari. Akibatnya ia harus menerima lebam-lebam merah di wajah tampannya. 

 

"Clark!" pekik suara lembut yang kini tengah menatap nanar perkelahian itu. 

 

Dylan menatap sumber suara. Clark merubah situasi, ia memukul telak di rahang Dylan. Kini pria itu yang menerima pukulan bertubi-tubi dari Clark. Dylan tak tinggal diam, Membalas pukulan Clark tanpa ampun. 

 

Gadis yang sedari tadi memperhatikan tanpa berani menghalau perkelahian itu, hanya mampu memanggil nama Clark berkali-kali. Berharap tak terjadi cidera yang fatal pada pria itu. 

 

"Dylan." 

 

Suara itu mampu meredam amarah Dylan. Dylan langsung berbalik dan menyusul Brighita yang memanggilnya. Meninggalkan Clark yang kini di hampiri gadisnya. 

 

Merida membantu Clark berdiri. Air mata gadis itu terus mengalir tanpa henti. 

 

"Clark, are you okay?" tanyanya cemas. 

 

Clark terbatuk dan menatap kekasihnya itu penuh sayang. Janjinya untuk tidak berkelahi kini kandas. Clark mengusap rambut Merida. Menenangkan gadis itu dengan senyumannya. 

 

"I'm okay." 

 

Merida langsung berhambur kepelukan Clark. Menangis tersedu-sedu. 

 

- - - - - - - - - - 

 

"Aaakk..." rintih Dylan. Mengeryit saat Brighita menekan bekas luka di wajahnya. 

 

"Kau sungguh lemah om. Apa di saat berkelahi tadi kau tidak merasa kesakitan? Hah!"  sungutnya kesal.

 

Brighita merapatkan duduknya pada Dylan. Ia pikir saat Dylan menariknya, Dylan akan mengajak pergi dari mansion yang super megah itu. Tapi tanpa bisa di prediksi, Dylan membawa masuk Brighita ke subuah kamar di mansion itu. Yang di yakini Brighita kamar milik Dylan. Karena terdapat foto anak kecil yang begitu mirip Dylan terpajang di dinding. 

 

Saat melihat Dylan yang tengah berkelahi tadi, Brighita merasa cemas. Cemas akan keselamatan pria itu. Pria yang selama dua hari ini membantunya di New Zeland. 

 

Perlahan sentuhan tangan Brighita melembut. Dylan menatap Brighita saat merasakannya. 

 

"kenapa kau berkelahi?" tanyanya penuh kelembutan.

 

Dylan tersenyum sebelum menjawab. 

 

"Dia musuhku, dan dia sedang memberikan ucapan selamat datang padaku. Untunglah Irham berhasil mengeluarkanmu tepat waktu." 

 

Brighita tercengang. Apa meruntuhkan sebuah bangunan dengan ancaman sebuah nyawa itu merupakan ucapan selamat datang? 

 

"kenapa pria itu sangat jahat. Tapi kenapa sangat tampan..." Brighita meluruhkan tubuhnya. Sedikit menyesal dan kagum pada ketampanan pria tadi. 

 

"Bedebah itu masih jauh di bawahku." bela Dylan pada dirinya. Tak terima dengan pernyataan Brighita barusan. 

 

"Maksudmu, kau lebih tampan?" 

 

Dengan percaya diri Dylan menjawab. "Tentu saja." 

 

"Cihhh.." decak Brighita. "Tapi, kenapa dia bisa berada disini?" 

 

"Dia? Ahh.. Clark itu saudaraku." 

 

Brighita spechless. Apa seperti itu namanya saudara? Saling membunuh satu sama lain? Keluarga yang begitu aneh. 

 

"Tunggu, kau bilang jika mr. Clark itu saudaramu, tapi kenapa dia juga menjadi musuhmu? Apa yang membuat kalian jadi bermusuhan?"

 

"Kau itu banyak bertanya. Rasanya aku ingin sekali mencium bibir mu itu." 

 

Tangan Dylan yang sempat ingin memegang bibir Brighita di tepis cepat oleh gadis itu. 

 

"Sir! Aku bertanya serius padamu!" 

 

Suasana menjadi hening. Dylan tak berniat menjawab perkataan Brighita. Gadis itu hanya menghela nafas dan memalingkan muka. Merasa bahwa apa yang di tanyakan itu cukup terlampau jauh mengingat dirinya dengan Dylan belum terlalu dekat. 

 

Tarikan di bahu Brighita membuat tubuhnya berbalik ke arah Dylan. Dylan menatap dalam manik mata Brighita. Menghembuskan nafasnya teratur. Brighita menahan nafasnya saat merasakan deru nafas Dylan yang menyapu permukaan wajahnya. Sedikit demi sedikit Dylan mengikis jarak di antara mereka. Menelengkan kepalanya kesamping dengan pandangan terarah pada bibir Brighita. 

 

Brighita memejamkan mata saat merasa Dylan semakin dekat. Mengontrol detak jantungnya yang berpacu begitu cepat. 

 

Sudut bibir Dylan terangkat melihat reaksi Brighita. Dan ia pun dengan senang hati akan melakukan niatnya itu. 

 

Sedetik..

 

Dua detik...

 

Tiga detik...

 

Cuu..

 

"Sir, Mr. James memanggil anda sekarang juga." 

 

Hanya tinggal setipis kertas saja jarak antara keduanya. Dan itu harus terhenti dengan suara Irham. Dylan memaki dalam diam. Pandangannya berkabut marah. Jelas saja ia marah. Irham baru saja menggagalkan aktifitasnya.

 

Brighita yang merasa malu akan keadaan, menyandarkan kepalanya pada bahu Dylan. Menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah seperti tomat. 

 

Irham sendiri menahan tawanya saat mendapati reaksi yang berbeda-beda dari kedua belah pihak. Dylan yang menggeram marah terhadapnya, hingga Brighita yang menahan malu. 

 

- - - - - - - - - - 

 

Dylan berdiri tegap di hadapan sang kakek. Saat ini posisinya berada di ujung tanduk. Dengan sadar diri, Dylan menunggu James untuk berbicara terlebih dahulu.

 

"Jojo, apa yang kamu lakukan saat ini salah. Apa yang kamu dapatkan dengan menghindari hak yang seharusnya kamu dapatkan. Ayahmu membutuhkan mu untuk mengembangkan bisnisnya." 

 

James Jordan Bouttier. Pria lanjut usia itu menatap penuh harap pada salah satu penerusnya. Wajahnya yang sudah terdapat kerutan tak melunturkan ketegasan dan kewibawaannya.

 

"Sebenarnya apa yang sedang kamu cari. Umur Grandpa sudah tidak panjang lagi. Melihatmu dan saudara-saudaramu tumbuh itu sudah suatu kebahagiaan untuk Grandpa. Dan Grandpa ingin melihatmu berada di puncak kejayaanmu." 

 

"Saudaramu Clark, dia akan melaksanakan pesta pertunangannya malam ini. Setidaknya kamu bisa contoh saudaramu Clark. Dia dulu lebih bastard darimu, tapi dia mampu membuktikan dirinya. Mau tidak mau, kamu harus kembali dan mengambil alih perusahaan." ucap James tak terbantahkan.

 

"Grandpa, mengertilah dengan diriku. Aku belum cukup puas dengan kebebasanku. Aku masih muda grandpa. Young man." Dylan angkat bicara. Menyuarakan isi otaknya. 

 

James berdiri dan menendang betis cucunya itu. Dylan meringis memegang kakinya yang terasa ngilu. 

 

"Cucu sialan! Umurmu sudah dua puluh tujuh tahun dan itu kau bilang muda! Di pesta pertunangan Clark, grandpa mau mengenalkanmu dengan beberapa anak dari mitra bisnis grandpa. Beberapa sudah grandpa kirimkan fotomu dan mereka tertarik padamu. Pilih salah satunya dan segera tetapkan tanggal pernikahan kalian." 

 

"WHAT?" pekik Dylan. Terkejut dengan ucapan James yang dengan begitu mudahnya mengucapkan kata pernikahan. 

 

"Grandpa tidak bisa melakukan itu. Aku masih cukup muda untuk menikah grandpa. Apa grandpa tidak berpikir jika akau menikah dan sikap childishku bisa saja mampu menghancurkan pernikahanku itu! Aku tidak mau menikah titik!" kekeuhnya. 

 

Dylan meninggalkan ruangan milik James dengan perasaan murka. Hidupnya di ciptakan tidak untuk di atur sedemikian rupa membentuk sebuah sekenario. Ia ingin hidup sesuai keinginannya. 

 

Hidupnya memang masih bergantung pada ayahnya. Tapi apa Dylan salah jika ia meminta haknya. Dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Meskipun apa yang ia lakukan itu tak jelas arahnya. Timur ataupun barat, Dylan hanya melangkah sesuai angin membawanya. Katakanlah hidupnya tak tentu arah. Dylan tak peduli. Ini hidupnya. Kebahagiannya. Dan tak akan ada satu orangpun yang bisa mengaturnya. 

 

_____________

 

"Irham. Dimana gadis kecilku?" 

Dengan keangkuhannya Dylan berjalan melewati para maid yang menatap kagum padanya.

 

Irham mengikuti langkah Dylan tepat disisinya. "Dia masih berada di kamarmu." 

 

Mendengar rencana sang kakek, Dylan merasa panas seketika. Amarahnya memuncak hingga keubun-ubun. Tidak seharusnya sang kakek mempromosikan dirinya kepada semua mitra bisnisnya. Itu justru merusak citranya, sebagai jomblo yang nenyedihkan. Padahal mudah saja bagi Dylan untuk membuat setiap wanita bertekuk lutut mengemis cintanya. Seketika itu pula Dylan memiliki rencana untuk membatalkan semuanya.

 

Dylan membuka pintu kamarnya dengan cepat. Pandangan matanya jatuh pada gadis yang kini terlelap di atas kasur king size miliknya. Wajah terlelapnya membekukan Dylan seketika. 

 

Dengan perlahan Dylan merebahkan tubuhnya tepat disisi Brighita. Ia berbaring miring dengan sikunya sebagai tumpuan agar mampu melihat wajah Brighita. Jemarinya menyingkap anak rambut yang mengahalangi Dylan untuk melihat wajah damai Brighita. 

 

Beberapa menit telah berlalu. Setelah puas memandangi wajah Brighita, Dylan menunjukkan kembali wajah tegasnya. 

 

Berjalan keluar kamar, Dylan berhadapan tepat dengan Irham. 

"Siapkan pakaian untuknya nanti malam." setelah perintahnya terucap. Dylan melanjutkan langkahnya. 

 

Sebelum itu, smirk evil terpancar dari wajah tampannya. Membayangkan wajah Brighita, Dylan bersumpah bahwa tidak akan ada jalan keluar bagi gadis itu. Seperti apa yang telah menjadi prinsipnya, jalan masuk terbuka dan jalan keluar akan selalu tertutup. Bukan karena Dylan mencintai gadis itu, melainkan itu hanya sebuah prinsip yang tidak mampu di ubah oleh siapapun. 

 

Langit malam New Zealand terpancar cerah tanpa adanya awan hitam yang menyelimuti. 

Dalam sebuah ruangan yang cukup besar, Brighita menatap pantulan dirinya di cermin. Sore tadi, seorang maid memberikan sebuah gaun untuk ia kenakan malam ini. Tanpa mengetahui apapun, Brighita hanya menurut saja. Sebuah dress tanpa lengan dengan panjang hingga lutut  berwarna putih, menyatu dengan tubuhnya yang sempurna. Tatanan rambut yang di gerai secara bergelombang, di tambah make up sederhana dengan sentuhan warna lipstik yang senada dengan warna asal bibirnya. 

 

Gurat kesedihan mulai timbul di mimik wajah Brighita. Niatnya untuk menikmati hidup di negara orang lain kini sirna sudah. Ada sedikit rasa senang ia bisa bertemu Dylan. Namun sedikit pula ia merasa menyesal telah bertemu Dylan. 

Entahlah, Brighita jadi pusing sendiri bila harus memikirkannya. 

 

Ketukan di pintu menyadarkan lamunan Brighita. Disana sudah berdiri Dylan yang selalu terlihat tampan dalam setiap kondisi apapun. Dan malam ini, Dylan sejuta kali tampak lebih tampan dengan setelan jass mahal. 

 

"Hey girl." 

 

Brighita tercekat mendengar suara penuh penekanan pria itu. Ternyata ia sudah lama memandangi wajah Dylan. Pesona Dylan memang tak dapat teralihkan. 

 

"Kenapa?" tanyanya. 

 

"Tidak ada. Sudah waktunya untuk kita keluar." 

 

Brighita menatap sekali lagi penampilannya di cermin. Setelah puas, ia berlalu terlebih dahulu melewati Dylan yang termenung. 

 

Dylan. Pria itu menghela nafasnya. Sedari tadi ia menahan hasratnya untuk memuji Brighita. Oh yang benar saja, seorang Dylan takkan pernah mau memuji para gadis. Tapi kali ini, Brighita begitu luar biasanya menawan. 

 

Dylan dan Brighita berjalan beriringan menuruni tangga. Pesta pertunangan Clark nampak mewah dan elegant. Brighita menciut saat melihat para tamu undangan yang berasal dari kalangan atas. Pasalnya ini pertamakalinya ia berada di tempat seperti ini.

 

Dylan menggandeng tangan Brighita dan mengajaknya kearah James yang tengah berbincang dengan para mitra bisnisnya. 

 

Kehadiran Dylan di sambut hangat oleh sang kakek. Namun pandangannya terus tertuju pada gadis di samping cucunya. Yakni Brighita. 

 

"Halo Mr. Jordan." sapa salah satu mitra bisnis James. 

 

Dylan membungkukkan sedikit badannya seraya tersenyum hormat. 

 

"Jojo, siapa gadis yang kau bawa?" James tak mampu menahan rasa penasarannya itu langsung beratanya pada intinya. 

 

Sebelum menjawabnya, Dylan sempat memberikan tatapan datar ke arah James sebelum tatapan itu berganti dengan tawa hangat di wajahnya. 

 

"Grandpa James, perkenalkan dia Brighita. Kekasihku." 

 

Brighita melotot tak percaya. Sejak kapan ia menjadi kekasih seorang om-om. Oh ayolah. Meskipun Dylan sangat tampan, tapi tetap saja, Dylan terlalu tua untuknya. 

 

Berbeda dengan reaksi terkejut yang di tunjukkan oleh Brighita. James justru senang mendengar kabar seperti itu dari sang cucu. 

 

"Bagus sekali. Kekasih mu sangat cantik. Apa dia keturunan cina?" puji James. 

 

Brighita tersipu mendengar pujian dari pria yang masih terlihat berwibawa di saat umurnya tak bisa dikatakan muda lagi. 

 

"Ayah dan ibu saya asli orang Indonesia Grandpa." ingin rasanya Brighita menabok mulutnya sendiri. Ohh... Sekarang ia memang sudah memasuki skenario yang di buat oleh Dylan. 

 

"Oh iya, kapan kalian akan menikah?" 

 

Brighita tak mampu menahan keterkejutannya. Dylan justru menahan tawa saat melihat ekspresi Brighita yang nampak cute baginya. 

 

"Secepatnya Grandpa." balas Dylan sebelum akhirnya mengakhiri percakapan singkat itu.

 

Brighita duduk di meja bar yang tersedia di sudut pesta. Tatapannya sekilas melihat dua insan yang menjadi pemilik acara itu. Mereka tampak serasi dengan sang pria yang terus melingkarkan tangannya di pinganggang sang wanita possesiv. Brighita tak lagi menghiraukan keberadaan Dylan yang telah menghilang entah kemana. 

 

Melihat minuman yang tersaji di hadapannya, Brighita merasakan kering di tenggorokannya. Karena minuman itu yang berwarna jernih serta ada beberapa buih dalam minuman itu, Brighita sama sekali tak merasa curiga. Dalam satu tegukan Brighita meminum minuman itu. Sesaat Brighita merasa tercekik dalam tenggorokannya, pahit serta manis tercampur dalam indra perasanya. Tapi lama-lama minuman itu membuat Brighita makin ingin merasakannya lagi. Tak segan-segan Brigta meminum segelas air itu lagi. 

 

Pandangan Brighita mulai mengabur. Perutnya terasa mual dan kepalanya terasa pusing. Rasanya Brighita ingin bernyanyi keras-keras. Oh tidak! Brighita ingin menari sekarang. 

 

Saat akan berdiri, tubunya oleng dan jatuh kepelukan Dylan yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. 

 

"Oho, Dylan!" pekik Brighita kegirangan. 

 

"Kau mabuk?" Brighita tersenyum menunjukkan deretan giginya. Lalu mengangguk dengan polosnya. 

 

"Kurasa yang kuminum itu sangat aneh." adu Brighita layaknya anak kecil yang tengah mengadu pada ayahnya. 

 

Dylan menghela nafas. "Berapa yang kau minum?" 

 

"Dua. Hanya dua. Hehehe.." 

 

"Kita harus kembali." menyadari keadaan Brighita yang tidak bersahabat dengan alkohol, Dylan lebih memilih kembali ke kamarnya dari pada melanjutkan pesta. 

 

"Oke kekasihku sayang. Hihihi... Rasanya menggelikan." racau Brighita. Dengan tertatih-tatih di pelukan Dylan Brighita bersenandung. Hingga ia terasa mual. 

 

"Hueeekkkk!" Brighita memuntahkan isi perutnya. Untunglah Dylan berinisiatif melewati sisi mansion, sehingga kini Brighita muntah di sisi luar mansion. 

 

Dylan ikut berjongkok disisi Brighita sambil menepuk punggung Brighita. Setelah merasa enakan, Brighita menunjukkan tatapannya yang terasa menggelap. Melihat itu, Dylan melepaskan jas miliknya dan memakaikannya pada pundak polos gadis itu. 

 

Setelah sampai di kamar, Dylan menidurkan Brighita dengan perlahan. Selesai melepas high heals serta menyelimuti tubuh Brighita Dylan beranjak pergi. Namun sebuah genggaman menghentikan langkahnya. Disana Brighita terduduk menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan. 

 

"Sir. Bukankah kita seorang kekasih? Lalu kenapa kau tidak tidur disisiku?" Dylan menaikkan sebelah alisnya bingung. Namun tanpa menunggu lama Dylan menuruti permintaan gadis itu. Toh jika paginya Brighita akan marah, Dylan memilik alibi bahwa itu bukan keinginannya. 

 

Dylan ikut masuk kedalam selimut berikut juga Brighita yang memeluknya saat tidur. Usapan serta kecupan yang di berikan Dylan pada puncuk kepala Brighita membuat gadis itu terasa nyaman. 

 

Selama semalaman mereka tidur dengan saling memeluk satu sama lain. 

 

Tok!Tok!Tok! 

 

Dylan menggeliat saat mendengar ketukan. Pandangannya jatuh pada Brighita yang masih menikmati tidurnya. Tak ingin gadisnya terganggu, Dylan manarik selimut agar lebih tinggi dan memberikan tepukan menenangkan pada bahu Brighita. 

 

Irham masuk saat dirasanya majikannya itu memperbolehkannya masuk. Adegan yang tak biasanya di saksikannya saat majikannya itu memperlakukan seorang gadis dengan begitu hangat membuat Irham terkejut. 

 

"Apa kau akan bermesraan terus seperti ini? Kakekmu sudah menunggu di ruang makan." 

 

"Katakan padanya aku tidak ikut makan bersama mereka." balas Dylan tanpa melihat kearah Irham. 

 

Irham keluar setelah mendapat jawaban dari majikannya itu. 

 

"Eunghh.." Brighita mengeratkan pelukannya. Dylanpun ikut melanjutkan tidur paginya bersama Brighita. 

 

                               

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 4

 

 

Brighita menatap lautan di hadapannya. Hamparan angin menerpa rambut wajahnya. Ia tak habis pikir dengan apa yang telah dilakukannya. Pagi tadi Brighita merasa syok saat mendapati dirinya tertidur dengan Dylan. Bahkan dengan santainya Brighita memeluk erat tubuh Dylan. Huffttt.... 

 

Saat ini Brighita berada di sebuah yatch milik Grandpa James. Entah kemana Dylan akan membawanya pergi. Brighita terlonjak saat dirasanya sebuah tangan melingkari pinggangnya. Bahkan Brighita mencium aroma parfum pria yang selalu memabukkannya. Tentunya bukan hanya dirinya, setiap wanita pasti akan terhanyut saat menciumnya. Bahkan teman-teman prianya tak ada yang lebih wangi dari ini. Aroma berbeda yang memberikan kesan tersendiri. 

 

Dylan menyandarkan dagunya pada pundak Brighita. Menghirup dalam-dalam aroma gadis itu. "Apa yang kamu lakukan pretty girl?" 

 

"Menurutmu apa? Aku hanya sedang meratapi nasibku yang kau kurung." 

 

"Apa menurutmu kau merasa seperti sedang terkurung?" 

 

Brighita terdiam sesaat. 

 

"Tidak juga. Aku hanya merasa ini tidak sesuai exspekstasiku." 

 

Dylan memutar tubuh Brighita untuk menghadapnya. Jarinya terulur menyingkirkan anak rambut Brighita. 

 

"Semua hal memang tak bisa seindah bayangan kita Tata. My Pretty Girl." 

 

Pandangan Brighita terpaku pada mata Dylan yang terasa mengayomi dirinya. Bahkan ia tak sadar Dylan telah memanggilnya menggunakan nama kecilnya. 

 

"Hmm.. Apa yang kamu rasakan?" Tanya Dylan. 

 

"Boleh aku memelukmu." lirihnya.

 

Seulas senyuman terpatri di wajah Dylan. Detik berikutnya Dylan membawa Brighita kedalam rengkuhannya. Memeluk tubuh Brighita dengan erat. Seakan waktu tak bisa merebut gadisnya. 

 

Dylan melonggarkan pelukannya setelah satu menit berlalu. Mereka saling menatap menyalurkan perasaan mereka masing-masing. 

 

Hingga bibir tebal Dylan menempel pada bibir cerry pink Brighita. Brighita menikmati saat Dylan menempelkan bibirnya. Jantungnya terasa berdetak tak karuan. Serasa di terbangkannya keangkasa raya. Sungguh ia benar-benar terbuai hanya dengan sebuah kecupan Dylan. 

 

Merasa Brighita tak menolak, Dylan semakin berani untuk melanjutkan aksinya. Di tariknya tengkuk Brighita untuk memperdalam ciumannya. Dari kecupan menjadi sebuah lumatan. Dylan merasakan kakunya Brighita saat membalas ciumannya. Mungkin ini pertama kali baginya. Biasanya, Dylan merasa jenuh saat mencium pemula. Tapi lain halnya dengan Brighita. Dylan merasa kecanduan dengan bibir Brighita yang terasa manis untuknya. Semanis madu. 

 

Brighita terengah saat Dylan melepaskan ciumannya. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya serta menetralkan detak jantungnya. Dylan memang seorang Good Kisser.

 

Brighita pikir, adegan panas telah berakhir. Namun tanpa di duga, Dylan menarik tubuh Brighita untuk menempel dengannya. Dengan cepat dan rakus melumat bibir Brighita kembali. Sungguh Dylan tidak bisa menghentikan kegilaan ini. Brighita benar-benar menakutkan saat dirasakan. 

 

Seolah nalurinya berkata, Brighita bertindak mengalungkan kedua tangannya keleher Dylan. Menikmati alur yang di buat oleh Dylan.  

 

Tangan kanan Dylan tergerak membuka pintu kamar yang ada di yatch. Mereka terus berciuman tanpa ada niat untuk menghentikannya. Brighita terbawa nafsu sehingga tak menyadari Dylan telah membawanya ke dalam sebuah kamar. 

 

Tak perlu hitungan detik, keduanya telah terbaring di atas ranjang dengan Dylan menindih tubuh mungil Brighita. Keduanya terus berciuman, melumat dan merasakan bibir dari masing-masing.

 

Ciuman Dylan terhenti saat akan turun keleher Brighita. Mereka disadarkan saat ketukan pintu terdengar dari arah luar.

 

"Shit!" kesalnya. Dylan bangkit berjalan kearah pintu. Siapa orang yang telah mengganggu kesenangannya. 

 

Brighita menghela nafasnya kasar. Dadanya naik turun saat sadar apa yang telah dilakukannya. 

 

"Tata. Kamu gila! Kamu gila! Hahhhh..." Brighita mengusap wajahnya kasar. Kedua tangannya masih setia menutup wajahnya. Rasa malu menyeruak dalam dirinya. 

 

Setelah satu jam menempuh perjalanan laut. Akhirnya mereka sampai pada sebuah pulau. Di pulau tersebut, sebuah mansion megah berdiri kokoh di antara hutan belantara. Terdapat juga tanah lapang yang sangat luas. 

 

Brighita tak mamapu untuk berkedip saat melihat interior mansion. Benar-benar layak di sebut sebagai istana.

 

Sejak kejadian tadi, Dylan dan Brighita sama sekali tak berbicara apapun. Keduanya seolah tutup mulut, berkompromi untuk tidak membahas masalah tadi. 

 

Dylan terhenti saat mendapati gadis yang sangat di kenalnya duduk di mini bar sembari meminum segelas soda. 

 

"Lana!" gadis itu menoleh. Memberikan senyuman hangatnya pada Dylan. Dylan menghampiri Lana dan memeluk gadis itu erat. Seolah mereka baru di pertemukan setelah beberapa tahun tidak bertemu. 

 

Hati Brighita sedikit tertusuk jarum saat melihat seorang wanita di mansion ini. Entah kenapa ia merasa sedih melihatnya. Brighita mencoba mengenyahkan perasaan cemburu yang saat ini bersarang di dirinya. 

 

"Sejak kapan kau ada disini?" tanya Dylan. Setelah melepaskan pelukannya. 

 

"Aku memang berada disini. Kalian tega menelantarkanku sendirian. Apa kau tau sudah berapa banyak negara yang aku kunjungi! Kau juga tidak menghadiri wisudaku setahun lalu! Aku benci padamu!" kesal Lana menceritakan hidupnya beberapa tahun ke belakang. 

 

Dylan tertawa. Bahkan tawanya membuat Brighita tercengang tawa yang begitu alami yang pernah dilihat dari seorang Dylan. Seolah gadis itulah yang menjadi pusat bahagianya Dylan.

 

"Jo. Dia siapa?" tunjuk Lana pada Brighita. Saat baru menyadari keberadaan gadis itu. 

 

"Dia.." 

 

"Aku pacarnya." ucapan Dylan terpotong dengan suara lantang Brighita. 

 

Lana mengeryit menyaksikan penampilan Brighita daria atas sampai bawah. 

 

"Jo, dia benar pacarmu? Apa kau gila! Kau mengencani seorang bocah!" 

 

Rahang Brighita seolah terjatuh mendengarnya. Dia bukanlah seorang bocah. Ia hanya baru lulus sma saja. Seolah tak ingin terintimidasi dengan tatapan Lana, Brighita balas menatap tajam Lana. 

 

"Aku sudah pernah berciuman, dan juga aku telah berpacaran sebanyak 7 kali, di tambah tiga diantaranya hanya teman kencan saja." 

 

"Oh hanya itu? Aku sudah berkencan beberapa kali, oho bahkan aku tak ingat berapa jumlahnya." Lana menyibakkan rambutnya kebelangkang. 

 

Brighita tersulut emosi. Belum sempat ia membalas, Dylan menengahi perdebatan mereka. 

 

"Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Lana perkenalkan dia Brighita, dan Tata, dia adalah Dylana, adikku." 

 

Brighita memejamkan matanya, ia meresa syok mendengarnya. Apa ia baru saja cemburu dengan adik Dylan sendiri? 

 

"Berapa umurmu?" tanya Lana. 

 

"Aku 19tahun." jawab Brighita membalas tatapan Lana tanpa takut. 

 

"Meski kau kekasih dari kakakku Jo, aku tidak akan memanggilmu kakak ipar. Aku tetap lebih tua darimu, jadi kau harus panggil aku kak Lana. Mengerti?" 

 

"Dia tidak akan pernah memanggilmu kakak. Percayalah. Dia sama sepertimu, tidak akan mau memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan kakak." balas Dylan memberitahukan.

 

Dylan berjalan meninggalkan Lana menuju ke lantai tiga. Brighita mengikuti Dylan dari belakang.

Mereka sampai di sebuah kamar yang di dominasi dengan warna abu-abu. Bingung kemana ia harus pergi, akhirnya Brighita memilih mengintili Dylan. 

 

Berdiri kaku di depan pintu, dan terus memperhatikan Dylan yang melepaskan jam tangan mahalnya. Brighita merasa terabaikan. 

 

"Apa kau tidak ingin masuk." Brighita tak langsung menjawab. 

 

"Apa kita akan menginap disini?" tanya Brighita.

 

"Heem." Dylan menoleh sejenak menanggapi.

 

"Kita berdua? Di kamar ini? Satu ranjang?" Mata Brighita terbuka lebar mengatakannya. 

 

"Tentu saja. Kita sudah pernah melakukannya kan?" goda Dylan. Ia tertarik melihat raut muka merah Brighita.

 

"Melakukan apa maksudmu? Kita tidak pernah melakukan itu!" sangkal Brighita kesal. Tanpa ia sadari, akibat kekesalannya itu, Brighita berjalan masuk dan merebahkan dirinya di atas kasur secara kasar.

 

Dylan mendekati Brighita. Berdiri tepat di hadapan gadis itu. Mencondongkan sedikit wajahnya kedepan.

 

"Apa kau mau mencobanya!" Dylan tersenyum miring mendapati wajah tegang Brighita.

 

"Jangan pernah berpikiran untuk melakukan itu denganku. In your dream sir!" tekan Brighita tak ingin di anggap dirinya lemah.

 

"Oh ya? Kau sudah pernah berciuman, berpacaran sebanyak 7 kali, serta tiga diantaranya hanya teman kencan. Tapi apa kau masih perawan?" seringaian evil muncul di wajah tampan Dylan.

 

Tubuh Brighita menegang. Tapi Brighita mencoba untuk bersikap santai menghadapinya. 

 

"Apa itu penting bagimu? Jika aku masih perawan apa kau akan mengambil keprawananku sekarang? Dan jika tidak, apa kau akan membuangku layaknya pelacurmu?" balas Brighita menatap tepat mata Dylan.

 

"Apa yang akan kulakukan terhadapmu setelahnya itu terserah padaku. Apa kau mengerti?" jemari Dylan menyentuh permukaan kulit wajah Brighita. Mengelusnya dengan pelan. 

 

Brighita tak mampu merasakan maksud dari sentuhan itu. Baginya, itu sebuah ancaman untuknya. Tapi kenapa Dylan mengancamnya. 

 

_________

 

Lana menatap tajam Irham yang duduk di hadapannya. Pria itu tetap fokus pada ponsel miliknya tanpa memerdulikan kehadiran Lana di depannya. Apa ponsel itu lebih menarik dari pada Lana gadis cantik yang telah di abaikannya.

 

"Irham? Kau sudah tau bahwa aku benci di abaikan?" sungutnya.

 

Seketika itu pula, pandangan Irham bertemu dengan mata hitam milik Lana. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Reaksi yang selalu di berikan saat matanya selalu bertemu pandang dengan Lana.

 

"Maaf nona." kata Irham lalau kembali fokus pada ponselnya.

 

"Lagi? Aku tidak butuh permintaan maaf mu! Sudah beberapa tahun kita tidak bertemu, dan apa yang kau lakukan sekarang? Kau mengabaikanku! Jika tau akan seperti ini, lebih baik aku tidak usah kembali sampai kapanpun!" cairan bening keluar dari manik mata Lana tanpa ia sadari. Alasan kenapa ia berada disini saat ini adalah untuk menemui cinta pertamanya. Irham. Tapi pria itu justru tak peduli. 

 

Lana berdiri dari duduknya. Menatap kecewa Irham yang masih setia menatap ponselnya. 

 

Sebuah tarikan di tangannya membuat Lana menabrak dada bidang yang selalu memberikan kenyamanan terhadapnya. Matanya terpejam dan air mata terus mengalir tanpa dapat ia tahan. 

 

Irham memeluk Lana begitu erat. Rasa rindunya telah lama ia pendam. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu lagi dengan Lana, Irham ragu ingin langsung membawa gadis itu kedalam pelukannya. Namun setelah mendengar nada lirih gadis itu barusan, perasaan dalam diri Irham meledak seketika. Mengalahkan rasa canggungnya.

 

"Maaf kan aku.." Irham mengelus surai panjang Lana.

 

"Aku mencintaimu." isak Lana dalam pelukan Irham. 

 

Masih tak ada jawaban. Persis seperti tahun terakhir mereka bertemu. Irham sama sekali tak pernah membalas perasaannya. 

 

"Aku turut miris melihat hubungan kalian." tutur Dylan melewati kedua pasang manusia yang tengah berpelukan. Tenggorokannya terasa kering, ia berencana untuk mengambil minuman tapi justru malah di suguhkan sebuah drama picisan. 

 

Irham melonggarkan pelukannya dan menatap Dylan datar. Sedangkan Lana menatap berang Dylan yang telah mengganggunya.

 

"Oo. Kau tak boleh menatapku dengan tatapan datarmu itu. Aku ini boss sekaligus calon kakak iparmu." prostes Dylan pada Irham.

 

Irham berdecak. Sudah menjadi rahasia umum bila Irham adalah sahabat baik Dylan. Bagi mereka yang tidak mengetahui Dylan, Irham hanyalah orang kepercayaan Dylan. 

 

"Ada yang ingin aku tanyakan. Bagaimana dengan kondisi bisnis perhotelan yang kau bangun?" 

 

"Cukup baik. Ingat setelah aku berhasil membangun kerajaan bisnisku sendiri, semua sikap memerintahmu akan aku balas." ancam Irham.

 

Dylan tertawa. "Hahaha. Dan ingat, saat itu terjadi aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian!" ucap Dylan balik mengancam.

 

"Jojo!" bentak Lana tak terima. 

 

"Hahaha.. Aku hanya bercanda adikku. Apa kau tidak berencana untuk membangun bisnis kuliner? Kau harus berani mengembangkan bisnismu kenegara tetangga. Aku yakin dengan itu ayahku akan sedikit memberikan restunya terhadap hubungan kalian. Aku akan menyuruh Clark untuk menjadi investormu." 

 

"Tidak usah, kau sudah banyak membantuku Jo. Aku yakin tuan Virgoven tidak akan setuju bila mengetahui hal ini."

 

Mendengar kata Irham barusan, Lana merasa sedih mengetahui beban yang dipikul oleh Irham seorang diri. Ini semua karena jarak memisahkan mereka berdua. Seharusnya Lana terus berada di sisi Irham saat kondisi Irham sedang terpuruk.

 

"Siapa bilang aku membantumu. Akau hanya sedang membantu adikku yang manja itu. Aku tidak suka mendengarnya saat merengek dengan menyebut nyebut namamu. Irham... Irham..." kata Dylan mengikuti nada suara cengeng Lana. 

 

"Dylan Jordan! Kau sangat menyebalakan." geram Lana. 

 

Beberapa obrolan terus berlanjut. Baik itu sebuah topik yang serius maupun obrolan ringan serta candaan yang keluar, suasana selalu tampak hidup dengan kehadiran Lana.

 

'DOORRRRRR!!!!' 

 

"AKHHHHHH!!" 

 

 

Suara tembakan yang di barengi suara triakan membuat semua mata menatap kearah lantai atas. Dimana terdapat Brighita di dalamnya.

 

"Tata! Shit!" umpat Dylan dan segera berlari ke tempat Brighita berada. Diikuti Irham dan Lana di belakangnya.

 

Disana, Brighita meringkuk di pojok ruangan dengan kedua tangan menutupi kedua telinganya. Seorang pria asing telah berhasil memasuki kamarnya melalui kaca jendela yang telah menjadi bahan tembakan. 

 

Pria itu menodongkan kedua tangannya yang memegang pistol. Satunya ia todongkan kearah Brighita. Dan satunya lagi ia todongkan kearah Dylan.

 

"Aku akan membunuhmu sekarang juga." katanya pada Dylan.

 

Seolah tak merasa takut dengan ancamannya, Dylan justru bergerak maju kearah pria itu.

 

Saat pria itu akan menarik pelatuknya, Dylan terlebih dahulu melumpuhkan orang itu. Mengambil kedua pistol yang ada di tangannya. 

 

"Siapa yang menyuruh pembunuh bayaran tengik sepertimu untuk membunuhku!" Ucap Dylan tajam serta mengarahkan pistol kekepala pembunuh itu.

 

"Delano Siregar." 

 

DOORRR! 

 

Dylan menembak kepala pembunuh itu setelah mengetahui siapa yang telah berani mengusiknya. 

 

Lana menutup kedua matanya, tak berani menatap sang kakak yang telah membunuh seorang manusia. Mengerti dengan situasi Lana, Irham mengajak Lana untuk meninggalkan tempat itu.

 

Brighita menatap kosong Dylan. Dahi serta rahang pria itu sedikit terkena cipratan darah. Melihat Dylan menghampirinya, Brighita sama sekali tak bergeming dari duduknya. Ia baru saja melihat pembunuhan dihadapannya. Dan itu cukup membuat diri Brighita terguncang.

 

"Apa dia sempat menyentuhmu." Dylan menyentuh lengan Brighita yang terasa dingin dan bergetar saat di sentuhnya.

 

"Kenapa kau membunuhnya." ucap Brighita. Suaranya terdengar begetar syarat akan ketakutan.

 

"Jawabannya hanya satu, membunuh atau di bunuh. Dan aku memilih membunuh." Dylan berucap datar tanpa ekspresi.

 

"Apa kau harus membunuhnya." lirihnya.

 

"Itu bukan urusanmu. Cepat bangun dan janga bersikap dramatis." ucapan tajam Dylan membuat Brighita terluka. Tanpa sadar ia menitikkan air mata.

 

"Dramatis? Aku hanya remaja berumur 19 tahun, remaja yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di jenjang sma. Melihat kucing terbunuh saja aku tak mampu! Dan sekarang aku menyaksikan dihadapanku seorang manusia terbunuh!" teriak Brighita.

 

Dylan berdiri menyunggingkan senyumnya. 

"Kenapa aku baru sadar. Kau hanyalah seorang bocah yang tak berguna. Yang mencoba kabur saat akan di jodohkan dengan seorang pria brengsek." setelah mengucapkan itu, Dylan pergi meninggalkan Brighita yang telah menangis tergugu. 

 

Perkataan Dylan berhasil menohok hatinya. Apa yang dikatakan Dylan sangat kejam baginya. 

 

"Hiks.. Ma.. Brighita ingin pulang. Brighita rindu mama... Hiks..." isaknya. Bagaimanapun Brighita hanyalah seorang gadis remaja yang memang masih butuh perlindungan seorang ibu.

 

Brighita masih terisak dalam tangisnya. Hingga waktu berjalan setengah jam lamanya. 

 

Ketukan di pintu membuat Brighita menoleh. Lana menatap iba Brighita. 

 

"Hey bocah. Ayo, disini tidak aman untukmu. Sebaiknya saat ini kau tidur di kamarku saja." ajak Lana. Brighita hanya menurut saat tubuhnya yang terasa lemas di tuntun oleh Lana. 

 

Sesampainya di kamar, tak banyak yang bisa dilakukan oleh Brighita. Ia hanya duduk dengan kepala yang ia sandarkan pada kepala ranjang. Serta kedua kakinya ia tekuk. Tatapannya kosong menatap keluar jendela. 

 

Lana hanya sekilas memperhatikan keadaan Brighita. Wajah gadis itu nampak pucat pasi. Lana mendesah kasar. Ini semua ulah kakaknya. Namun Lana bisa apa? Ia memang tak pernah bisa mengerti dengan jalan pikiran kakaknya itu. 

 

Waktu berlalu begitu cepat. Hingga siang telah bergilir menjadi malam. Brighita masih setia dengan keterdiamannya. Ia ingin pulang. Ia rindu dengan mama dan daddy nya. Meski Brighita kecewa dengan Daddy nya, ia tetap merindukannya. Bagaimanapun tidak ada yang namanya mantan ayah ataupun mantan anak. 

 

Brighita ingin menjauhi Dylan. Setelah kejadian itu, Brighita merasa takut akan sisi lain dari Dylan. 

 

"Makanlah." ucap suara yang telah begitu di kenalnya saat beberapa hari yang telah ia lalui di New Zealand itu membuat Brighita melirik kearah Dylan. 

 

Dylan membawakan nampan berisi makanan serta minuman mineral itu mendudukkan dirinya di hadapan Brighita.

 

"Makanlah. Jangan membuat dirimu sakit akibat masalah sepele seperti itu." kata Dylan. 

 

Mendengarnya, membuat Brighita yakin untuk pergi secepatnya.

 

"Aku ingin pulang." 

 

Melihat tatapan Dylan yang berubah menjadi tajam, membuat Brighita menciut seketika. Tapi ia tetap akan pulang, ia akan mencoba untuk melawan rasa takutnya untuk menghadapi Dylan.

 

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari negara ini. Bahkan dari kamar ini sekalipun." ucap Dylan tajam. 

 

"Maksudnya aku di kurung? Aku bukanlah budakmu! Aku ingin pulang! Ku mohon kembalikan semua barangku. Aku tidak akan meminta uangmu untuk pulang ke negaraku." Brighita berucap lemah. Semua tenaganya seolah terkuras habis. Ia belum makan saat siang tadi. 

 

"Sampai kapanpun, jangan harap kau bisa keluar dari tempat ini." tekan Dylan. Lalu pergi dengan perasaan marah. 

 

Semuanya terasa berat bagi Brighita hingga pandangannya mulai mengabur. Dan kesadarannya perlahan mulai hilang.

 

       

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya My Precious Bastard Boyfriend
2
0
My Precious Bastard Boyfriend Chapter 5-6
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan