
Tugas pertama Nara dan Raya di Cirebon.
Apakah akan ada yang berbeda?
CHAPTER 7: INTERLUDE
Written on these walls are the colors that I can't change
Leave my heart open, but it stays right here in its cage
(Story of My Life - One Direction)
"Ok, kalo dari saya sepertinya hanya itu saja sih Pak, dari Pak Raya atau Pak Herman mungkin ada tambahan?" Nara menoleh pada Raya dan Herman untuk memberikan mereka kesempatan melontarkan pertanyaan pada Pak Arie Utama, responden pertama mereka untuk proyek ini.
Ketika sudah mendengar kata 'cukup' dan 'ngga ada pertanyaan tambahan lagi' Nara kembali berbalik pada Pak Arie, garis mulutnya sudah menyunggingkan senyum profesional.
"Baik, tadi kita sudah berdiskusi banyak ya Pak, mengenai produk dan merek-merek yang Bapak jual, pengalaman penjualan bapak selamat beberapa belas tahun setelah meneruskan toko ini dari orang tua. Kita juga sempat mengobrol mengenai harapan dan ekspektasi bapak terhadap principal. Terimakasih sekali lagi atas waktunya ya Pak. Mohon izin jika nanti ada yang harus saya konfirmasi kembali, saya lakukan via telpon ya Pak" Nara menutup diskusi, senyum tidak lepas di wajahnya.
"Oh ya Baik Mba Nara, terimakasih juga ya karena bisa jadwalnya dimajukan mendadak." timpal Pak Arie ramah.
Nara, Raya dan Herman berpamitan Dan kemudian berjalan beriringan keluar dari toko menuju parkiran. Kacamata hitam sudah terpasang di wajah Nara untuk melawan teriknya matahari Kota Cirebon jam 2 siang.
"Sudah lewat jam makan siang, kita makan dulu mungkin Pak?" Herman menawarkan.
"Boleh, gimana Na?" Raya meminta pendapat Nara.
"Ayo, bebas aja. Interview selanjutnya masih jam 7 kan? Setelah makan malam?"
"Iya Bu Nara, interview kedua hari ini dan yang terakhir besok pagi masih on schedule. Sudah saya confirm," Herman mengangguk sambil mengacungkan jempol tangan.
Mereka sudah berada di samping SUV hitam Raya saat pria itu membuka suara, "Makan dimana, Man? Ada rekomendasi ngga?"
"Khas Cirebon ya paling nasi Jamblang atau empal gentong Pak. Bapak nginep dimana jadinya? Biar saya cari yang searah"
Mata Raya menangkap ekspresi Nara, kerut di keningnya, mulut yang sedikit mengerucut sebelum kembali netral. Raut wajah yang hanya bertahan beberapa detik itu memberitahu Raya bahwa Nara sebenarnya kurang puas dengan tawaran Herman.
Mengetahui selera perempuan itu, plus postingan di media sosialnya beberapa waktu lalu, Raya kemudian menimpali Herman.
"Kita nginep daerah Kejaksan, Man. Mungkin ada bakso atau mie ayam recommended disini?"
"Hmmm, ada sih pak, bisa mampir ke Pegajahan dulu, tapi sedikit berlawanan arah. Tapi yakin, Pak makan bakso gitu? Jauh jauh dari Jakarta," Celetuk Herman heran.
"Iya gapapa, lagi pengen aja, di Jakarta susah nyari yang enak. Kamu yang di depan ya! Nanti saya ngikut dari belakang" pangkas Raya.
"Baik, siap Pak!" Herman mengangguk, menyanggupi.
Raya kemudian membukakan pintu penumpang untuk Nara, memberi isyarat untuk perempuan itu agar masuk sebelum menutupnya kembali dan memutar ke arah kursi pengemudi. Nara hanya bisa terdiam dan mengikuti arahan Raya, meski sempat terkejut ketika tadi Raya tiba-tiba menanyakan tentang tempat makan bakso atau mie ayam. Dalam hatinya dia bertanya-bertanya darimana Raya tahu bahwa beberapa minggu terakhir ini dia berkelana menjelajahi Jakarta hanya untuk mencari tempat bakso dan mie ayam yang enak.
Perjalanan dari Kanoman ke Pegajahan tidak terlalu lama. Kedai bakso yang mereka datangi tidak terlalu jauh dari sebuah minimarket berjaringan, namun jalannya cukup sempit hingga agak sulit untuk parkir mobil. Meja kayu yang berjejer dan aroma kuah kaldu menguar saat Nara masuk ke dalam kedai tersebut.
Mereka memesan makanan dengan cepat, dan saat 1 mangkok bakso milik Nara dan 2 mangkok mie ayam milik Raya dan Herman sudah tersaji di depan meja, tak banyak kata yang terucap. Hanya sesekali sendok atau sumpit yang berdenting, beradu dengan mangkok kaca bergambar ayam itu.
Raya dengan refleks, menggeser saos, sambal dan potongan jeruk nipis ke arah Nara. Gestur yang ditangkap Herman dan sempat membuatnya curiga, apakah Nara dan Raya punya hubungan spesial? Namun, Herman menyadari sikap Nara yang pendiam dan cenderung dingin, membuatnya mengira mungkin Raya yang sedang mengejar Nara. Namun keingintahuannya harus dipendam dalam-dalam, bagaimanapun Raya adalah atasannya, baru 3 bulan pula, kan tidak mungkin bertanya soal urusan pribadi atasan meski mereka seperti memamerkannya di depan mata bukan?
“ Tadi wawancaranya aman kan?" Raya bertanya, memecah suasana saat sudah merampungkan makan.
Nara mengangguk pelan. “Aman. Semua pertanyaan juga dijawab. Untung mereka masih punya waktu buat kita.”
Raya hanya mengangguk tipis sebagai jawaban, tidak menambahkan apapun.
"Habis ini, ada tempat yang mau didatangi dulu?" Raya kembali bertanya.
“Ngga ada, gue prefer langsung ke hotel aja. Lo ada mau mampir dulu? Gue bisa either bawa mobil lo atau Mas Herman, atau ya pake ojol juga bisa, paling gue nitip tas aja di mobil lo.”
Raya sempat tercekat. Mendengar lo-gue dari mulut Nara, rasanya seperti disapa sia atau setidaknya maneh dari seseorang yang biasanya manggil dirinya sendiri sebagai abi dan memanggil Raya dengan sebutan aa atau at least kamu. Sedangkan Herman, dipanggil dengan imbuhan Mas. Ada rasa panas yang sempat memercik di hati Raya, tapi dia tidak bisa apa-apa.
Saat itu Raya menyadari, bahwa Nara kembali meninggikan temboknya. Setelah mengikuti gestur dan ajakan Raya dalam diam dari tadi, Nara kini seolah merasa tak aman. Raya tidak tahu apa yang sebenarnya Nara takutkan sampai kadang sikapnya se-ekstrem ini. Tapi Raya paham, ada batasan yang kembali ditegakkan.
Sedangkan Nara sedang memproses berbagai signal dan gestur Raya yang terlihat dilakukan tanpa sadar, seolah semua berjalan seperti seharusnya, membukakan dan menutup pintu mobil, menentukan menu makan siang, bahkan hingga menggeser condiment dan table sauce ke arahnya. Dan Nara sempat terbawa arus, it was unbelievably effortless being with Raya. Hampir seperti Nara tidak perlu melakukan apapun, she just needs to breathe and everything will be taken care of. And it terrifies her. Terlalu takut untuk jatuh semakin dalam dalam lubang berduri, a hole that Nara can't get out of bahkan setelah 3 tahun.
Saat mereka kembali ke mobil untuk pergi ke hotel, langkah mereka tak lagi beriringan. Nara berjalan lebih cepat, sedangkan Raya dan Herman mengikuti langkah Nara di belakang sambil mengobrol. Meski demikian, Raya selalu memastikan bahwa sosok Nara selalu ada dalam jarak pandangnya, sesuatu yang juga disadari Herman, tapi lagi-lagi Herman tidak bisa berkomentar apapun.
Hanya saja, Nara, dan Raya tahu, bahwa hari-hari ke depan akan terasa semakin panjang, dan jarak diantara mereka akan semakin buram. Meski mereka tak tahu, apakah ini akan kembali menguak luka yang belum sembuh, atau justru menjadi simpul baru yang mengikat mereka, entah untuk bertahan atau semakin tenggelam.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
