
Ada beberapa hal yang mempengaruhi semangat seseorang dalam bekerja. Salah satunya adalah siapa rekan kerjanya.
Namun Nara tidak tahu pasti, satu kantor dengan Raya apakah membuatnya lebih semangat, atau justru membuatnya demotivasi?
Memang kenapa? Ada apa? Mari mengintip alasan awal kenapa hubungan Nara dan Raya menjadi seawkward ini. Kita urai benang kusut dari ujung pangkalnya.
Chapter 4: Vestige
Losing him was blue, like I'd never known
Missing him was dark gray, all alone
Forgetting him was like trying to know
Somebody you never met
(Red-Taylor Swift)
Nara bersandar pada headboard tempat tidurnya, suhu AC di kamar sudah terpasang di dua puluh dua derajat. Ponsel di genggamannya menunjukkan layar percakapan dengan Deyya, memberikan update selayaknya breaking news dalam durasi hampir 12 jam ke belakang.
Nara kemudian membaca lagi dari awal.
Pukul 11.05
Dey, Dey, Deyya! S.O.S!!
Gue sekantor sama Raya! FML!!!
Demi apa??? Baru balik terus ketemu mantan..nambah cakep ga tuh si Raya?
Ish!!
Gimana reuninya?
Gue mau pura-pura ga kenal aja, awkward af!
🤣🤣
Pukul 11.59
Dey, anjir gue lunch bareng sama Raya
Ngga bisa pura pura ga kenal, damn!
Berdua doang? 😍😍 CLBK niiiy
Rame rame lah, gila aja!
Ya berharap mah gapapa kali
Pukul 12.18
Dey, Raya ngaku single!! Apa kabar istrinya ya..ga diakuin..
Masih player kayaknya ni Raya
WHAT? hmm, wait...
Nunggu apa?
Pukul 15.22
Raya udah cerai, Nar. Single dia sekarang
*Deyya Arienda send you a file*
Noh, baca sendiri deh salinan surat putusannya.
Raya yang gugat.
Baru sah 2 bulan lalu.
No kids.
Alasan cerai karena ketidakcocokan kalo kata dokumen, gue lagi nanya Ilham sih, siapa tahu dapat inside story
Nara membuka lagi file putusan pengadilan yang dikirim Deyya, masih bertanya-tanya darimana Deyya mendapatkan file itu. But, come to think of it, relasi dan koneksi Deyya dari tahun-tahun menjadi jurnalis mungkin memiliki peran, belum lagi circle keluarga Deyya yang memang berlatar belakang birokrat.
Salinan surat putusan itu berisi nama lengkap lelaki yang dikenalnya lebih dari seperempat abad, juga nama perempuan itu sebagai penggugat dan tergugat. Alasan yang tertera dalam duduk perkara adalah pertengkaran dan perselisihan dari awal pernikahan. Alasan ini bagi Nara terkesan terlalu...general.
Ponsel di tangannya bergetar lagi, Deyya kembali mengirimkan pesan.
Nar, big scandalous news!!
Raya got cheated 😱😱😱
😯😯😯😯
U sure? Raya?? Got cheated? Ngga kebalik?
Sure!
Info A1!!!
Raya memang ga open, but it's actually an open secret back then in his area.
Diselingkuhin sama bawahan dia.
Kena mental ga tuh Raya.
Ngenes banget ya.
Ini karma sih dari lu, Nar
Hus ah.
Gue sama Raya udah impas.
Jangan disambung-sambungin
Nara meletakkan handphonenya di nakas samping tempat tidur sambil menghela nafas panjang setelah mengirimkan pesan Whatsapp terakhir untuk Deyya. Dia kemudian membaringkan badan, memeluk guling dan menghadap ke kanan. Matanya berpusat pada satu titik kabur diantara dinding apartemennya. Sedangkan pikirannya kembali menelaah, menelusuri apa yang terjadi hari ini, apa yang baru ia dengar dan yang lebih penting adalah bagaimana perasaaanya atas semua hal di hari ini.
Bagi Nara, hari pertama di kantor baru membawa kabar demi kabar mengejutkan. Bukan tentang tempat kerja atau beban kerja atau bos baru. Tapi tentang orang lama yang kemudian secara tiba tiba kembali ada di kisah hidupnya. Meski berbeda divisi, tapi Nara tahu pasti bahwa akan ada irisan antara pekerjaan Nara dan Raya.
Raya Arkananta. Nama yang pernah sangat akrab di telinga Nara. Those really in the know will call Nara and Raya as childhood sweetheart.
Pertemanan Mama Nara dan Ibu Raya dari masa muda membuat mereka mengenal masing-masing sejak balita. Usia mereka yang hanya berbeda dalam hitungan bulan, membuat mereka selalu sekolah di tempat yang sama, dari TK hingga SMA.
Setelah melewati masa-masa seperti kucing dan anjing karena jahilnya Nara dan usilnya Raya, kemudian mereka menjadi dekat saat masa masa puber.
Kedekatan ambigu di masa SMA, yang membuat Nara merasa bahwa apapun yang terjadi, apapun yang Nara lakukan, Raya akan selalu ada untuk Nara. Bagi Nara, saat itu, Raya adalah garis finish setelah sebelumnya bisa dengan bebas mampir kesana kesini. Apalagi Raya tidak pernah mengatakan apapun, meski seharusnya Nara bisa memahami dari semua yang dilakukan Raya.
Dan Raya, merasa sudah mengekspresikan semuanya lewat bagaimana Raya memperlakukan Nara. Dari pergi pulang sekolah bareng setiap hari, bahkan sampai menunggu Nara menyelesaikan ekskulnya di sekolah, kado dan kejutan setiap ulang tahun Nara dari uang jajan yang ia sisihkan dan pekerjaan kasar sana sini, sampai membuatkan jamu kunyit asam saat Nara kedatangan tamu bulanan.
Ledakan pertama Raya kemudian terjadi setelah UN, Nara masih bisa mengingat dengan jelas saat itu.
- Bandung, 11 tahun lalu -
It was an ordinary day, hari-hari ketika UN sudah selesai, dan siswa kelas 12 sedang mempersiapkan untuk ujian masuk universitas. Siang itu, Nara sedang melihat-lihat informasi mengenai beberapa perguruan tinggi dari brosur yang baru saja diambil dari ruang BK di halaman sekolah. Raya juga duduk di samping Nara, sambil menyeruput es teh manis dari kantin.
"Na, ngelanjutin kemana?"
"Maunya ke Jatinangor, nyusulin Kang Ditya disana." jawab Nara ringan.
Raya memicingkan mata, tidak jelaskah selama ini?
"Na, serius? Karena Ditya?"
"Iya! Siapa tau bisa pulang pergi bandung Jatinangor barengan sama Kang Ditya, biar crush aku sama dia dari kelas 10 kesampean." Nara menjawab sambil terkekeh, matanya masih membolak balik brosur suatu universitas.
Ada hening yang menyeruak, mata Raya menatap lekat Nara.
"Heh, Nar, selama ini kamu nganggap aku apa?"
"Eh?" Nara menoleh dan memandang Raya. Air muka Raya mengeras, antara frustasi dan sakit hati karena Nara sepertinya tidak ada dalam gelombang perasaan yang sama dengan Raya.
"Err, temen dekat Ry...?"Ujar Nara pelan sambil menyisipkan nama panggilan khusus buat Raya, berharap tebakannya benar dan mencairkan suasana yang mulai semakin tegang.
"Temen dekat yang bisa kamu buang gitu aja, kalo kamu punya mainan baru? Teman dekat yang sampe kamu bisa bebas bilang ngecrush orang lain? Am i just getting friend zoned?" Raya mencecar.
"Raya....are you okay?"
"Am I okay???!!!" Raya menyeringai.
"Nar, kamu tuh ngga mungkin sepolos dan selugu itu kan sampe ngga ngerti hubungan kita selama ini? Sampe ngga ngerti perasaan aku sama kamu?"
Nara tercekat. Bingung. Sulit mendefinisikan hubungan Nara dan Raya.
"Tapii, kamu kan ngga pernah bilang Ry!"
"Kamu harusnya tau Nar, seberapa spesialnya kamu buat aku dan aku kira aku juga sespesial itu buat kamu"
Raya meremas plastik es teh manis di tangannya. Memejamkan matanya beberapa saat dan mencoba mengatur nafasnya.
"Sori, ternyata aku ngga sejelas itu. I love you. For years."
Nara kaget, tidak menyangka percakapan ini akan menuju ke arah sana. Raya lalu berdiri, sebelum beranjak, dia kembali menatap Nara.
"Tapi kamu kayaknya lebih suka Ditya. Have fun ngedeketin dia!"
Dan sejak sore itu, Raya berubah. Dia tidak pernah lagi datang ke rumah Nara. Pesan singkat Nara tidak pernah berbalas.
Saat perpisahan SMA pun, Raya menghindari Nara. Ketika semua sibuk berfoto bersama untuk mengabadikan kenangan, Raya selalu memilih posisi di ujung kerumunan, seolah memastikan dirinya tidak berada di radius pandangan Nara.
Ketika Nara mencoba mendekatinya, membawa ponsel, mengajak untuk setidaknya mengabadikan satu momen bersama, Raya hanya menggeleng sambil mengucapkan,
"Nggak, Nar. Foto bareng yang lain aja, ya."
Tanpa memberikan kesempatan Nara untuk menimpali, ia segera pergi, menyibukkan diri dengan teman lain.
Hari-hari setelah acara perpisahan semakin menegaskan jarak di antara mereka. Nara, dengan usahanya yang penuh tekad sambil menebalkan muka beberapa kali mengirim pesan kepada Raya melalui WhatsApp. Tanda centang biru menjadi saksi bisu dari pesan-pesan Nara yang tak berbalas.
"Ry, masih sibuk nggak? Ada waktu buat ngobrol sebentar?"
"Ry, gimana persiapan kuliah?"
"Raya, kita baik-baik aja kan?"
Namun semuanya berakhir di keheningan. Perlahan, Nara mulai menerima bahwa Raya sudah memutuskan untuk menjauh, tidak hanya dari kehidupan mereka yang dulu, tetapi juga dari dirinya.
Kabar bahwa Raya memilih untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta akhirnya sampai ke telinga Nara, bukan dari Raya sendiri, tetapi dari obrolan grup WhatsApp teman-teman SMA mereka.
Nara sesungguhnya sangat terkejut, bukankah mereka sempat merencanakan untuk kuliah di kota yang sama, bahkan jika bisa di universitas yang sama. Apakah Raya semarah itu sampai ia kemudian memilih untuk pergi dari Bandung?
Dalam satu momen itu, Nara merasa benar-benar dilupakan. Bukan hanya secara emosional, tapi sekarang juga secara fisik, jarak yang diciptakan Raya seolah menjadi pernyataan tak terucap bahwa ia ingin memulai sesuatu yang baru, jauh dari segalanya, termasuk Nara.
Satu hari sebelum hari keberangkatan Raya tiba, Nara sempat datang ke rumah Raya. Hanya untuk mengucapkan selamat tinggal, atau mungkin mencoba memperbaiki sesuatu yang sudah pecah.
Tapi Raya enggan menemuinya, tak berapa lama setelah Nara datang, Raya memilih untuk pergi keluar, entah kemana. Hanya membiarkan Nara berbincang dengan Ibu dan adik Raya. Sepulangnya dari sana, Nara sadar, pesan dari Raya sudah cukup jelas. Tidak ada lagi ruang untuk Nara di dunia Raya. Message Received. It's crystal clear.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
