
Apa kalian pernah bantu membelikan istri, ibu, atau saudara perempuan kalian pembalut di warung? Aku pernah.
Apa kalian pernah direndahkan laki-laki lain karena kalian membeli pembalut? Aku pernah.
Tulisan kali ini lebih khusus kutujukan bagi pembaca laki-laki.
Apa kalian pernah bantu membelikan istri, ibu, atau saudara perempuan kalian pembalut di warung? Aku pernah. Apa kalian pernah direndahkan laki-laki lain karena kalian membeli pembalut? Aku pernah.
Dulu, di masa yang sama dengan cerita pensil warna sialan itu, ada sebuah warung mie jawa yang buka tidak jauh dari Minimarket Matropik. Pada saat itu, tidak banyak pedagang yang menjual mie jawa, dan mie jawa satu ini termasuk yang enak dan ramai. Aku dan Mama datang ke warung itu suatu malam, lalu setelah memesan satu bungkus mie jawa untuk dibawa pulang, kami duduk menunggu dengan sabar.
Sembari menunggu, Mama menyuruhku untuk membeli pembalut di sebuah warung yang tidak jauh dari sana. Kenapa kami tidak pergi berdua saja dan membelinya bersama-sama? Pertama, kami harus betul-betul menunggui pesanan kami, karea penjual mie jawa itu, sebut saja Mas Pono, punya skala prioritas yang aneh. Di suatu malam yang lain, seorang wanita pernah memesan mie jawa Mas Pono, lalu dia pergi ke tempat lain dan berpesan kepada Mas Pono, nanti dia akan kembali lagi mengambil mie jawa pesanannya. Selang beberapa lama wanita itu pergi, ia kembali lagi ke lapak mie jawa Mas Pono, hanya untuk menemukan bahwa mie jawanya belum dimasak sama sekali.
“Ya, itu, kalau mienya saya masak tadi, nanti nggak hangat lagi, Mbak,” jawab Mas Pono dengan wajah cengengesan. Wanita itu muntab, mengoceh dengan kesal, lalu pergi meninggalkan Mas Pono. Bayangkan, setelah pergi sekian lama dan kembali lagi dengan perut keroncongan, ternyata mie jawa yang dia pesan tidak dibuat karena penjualnya takut mienya dingin. That’s so thoughtful of Mas Pono, but that’s not the point, Mas. Orang pesan mie jawa karena mau makan, bukan karena mau makan mie jawa yang masih hangat! Di kemudian hari kupikir inilah alasannya usaha mie jawa Mas Pono tidak tahan lama—selain karena dia butuh waktu lama sekali untuk memasak satu porsi mie jawa saja.
Alasan kedua adalah, karena membeli pembalut bukan hal aneh atau asing buatku. Aku anak bungsu dan aku punya satu kakak perempuan yang sering sekali menyuruhku bertransaksi untuknya di berbagai tempat: warung, warnet, penjahit, pom bensin, ATM, warung nasi, mini market dan sebagainya. Selain racun Papa (rokok), kopi dan beras, pembalut adalah barang lain yang sering aku belikan di warung untuk keluargaku.
Maka malam itu pun, kupikir tidak ada yang aneh. Aku berjalan menuju warung itu dan membeli “Softex”, begitu kami biasa menyebutnya.
Tapi aktivitas membeli pembalut ini ternyata melukai harga diri seorang lelaki pengangguran yang keberadaannya bahkan tidak memberi manfaat apa-apa pada kemajuan bangsa ini.
“Dak salah denger, apo?” ucap seseorang tiba-tiba, yang jika diterjemahkan kira-kira berarti: apa aku gak salah dengar?
Aku menoleh ke kiri, dan mendapati tiga orang laki-laki yang lebih tua dariku beberapa tahun, sedang duduk-duduk di bangku yang ada di depan warung itu. Aku takut. Aku di usia SMA, selalu takut pada siapapun. Maka setelah menatapnya sekali, aku langsung membuang muka, sembari pemilik warung membungkuskan pembalut yang kupesan.
“Malu-maluke bae!” serunya, yang jika diterjemahkan menjadi: malu-maluin aja!
Pembalut sudah dibungkus, aku membayar, lalu aku berjalan melewati mereka dan menatap orang itu sekali lagi. Salah seorang temannya melerai dan berkata, “Yo sudahlah, siapo tahu dio beli untuk ceweknyo!” yang berarti: ya udahlah, siapa tahu dia beli buat pacarnya!
“Yo tetep bae malu-maluke,” seolah ingin menekankan perkataannya, atau memang dia orang cacat yang hanya bisa mengulang-ulang ucapan yang sama, dia mengatakannya lagi.
Dear para pembaca yang budiman, laki-laki jantan ini menganggap membelikan pembalut untuk perempuan di keluarga kalian adalah hal yang memalukan. Seandainya ada di posisiku saat itu, apa yang ingin kalian katakan kepadanya?
Aku? Jika aku bisa kembali ke masa itu, aku ingin bilang “kacuk umak kau”, yang artinya tidak perlu kujelaskan pada kalian. Mengatakan itu juga berarti mengambil risiko digebuki mereka bertiga.
Tapi aku tidak mengatakan itu. Aku takut. Dan aku pengecut. Bahkan untuk membela diriku sendiri yang tidak salah di hadapan laki-laki asing kurang kerjaan yang punya banyak waktu luang, sehingga dia mengurusi daftar belanjaan semua orang yang berkunjung ke warung itu. Tidak kuketahui pada saat itu, di masa depan, aku akan memikirkan kejadian itu berkali-kali dan kembali merasa kesal. Bahkan dengan getirnya, kadang aku berharap kejadian serupa akan terjadi lagi di masa kini, agar aku bisa memberi pelajaran pada laki-laki bangsat misoginis yang kebetulan saja muncul di dekatku.
Namun untungnya dunia sudah berubah, masyarakat kita juga sudah lebih eling. Laki-laki yang membelikan pembalut tidak lagi dianggap memalukan. Hingga kini, aku masih sering membelikan pembalut untuk istriku, dan penjaga tokonya sama sekali tidak menyebutnya memalukan. Mungkin itulah bedanya penjaga toko dan laki-laki yang waktu itu kutemui: penjaga toko ini bukan pengangguran.
Beberapa kali saat berselancar di Twitter, aku pernah menemukan orang-orang mempertengkarkan pendapat mereka soal ini. Ya, orang-orang di Twitter memang selalu mempertengkarkan segala hal. Tapi dari sana juga aku tahu bahwa ternyata masih ada juga laki-laki di Indonesia Raya ini yang menganggap membelikan pembalut untuk perempuan di keluarga sendiri adalah aktivitas yang mencoreng harga diri, merendahkan martabat dan mengurangi tingkat kejantanan.
Para pembaca laki-laki yang budiman, biar kubuat ini lebih mudah untuk kita semua: membelikan pembalut untuk ibu, nenek, bibi, istri maupun saudara perempuan kalian tidak akan menurunkan tingkat hormon testosteron di tubuh kalian. Membeli pembalut juga tidak akan spontan menumbuhkan payudara di tubuh kalian, atau membuah paha kalian melengkung ke dalam saat kalian duduk, atau merontokkan bulu-bulu yang tadinya tumbuh lebat di wajah kalian. Justru sebaliknya, membantu membelikan pembalut untuk anggota keluarga perempuan kalian yang sedang datang bulan adalah sebentuk tindakan bertanggung jawab, dan sikap tanggung jawab ini yang jauh lebih penting daripada opini laki-laki lain di sebuah tongkrongan tentang jantan atau tidaknya kalian.
Jika ada teman kalian, laki-laki, pengangguran—terutama pengangguran—yang berkata sebaliknya, maka tanyakan pada mereka, apa mereka punya ibu atau saudara perempuan? Jika teman kalian ini yatim piatu, tanya apakah dia punya istri atau pacar? Jika jawabannya iya, kalian tanya lagi: apa yang mereka pakai saat menstruasi? Jangan beri mereka kesempatan menjawab, langsung tanyakan lagi: apakah pembalut menjadi barang yang begitu asing bagi kalian, karena perempuan di sekitar kalian masih mengikat perut mereka dengan kain setiap datang bulan? Jika jawabannya tidak—dan tentu saja jawabannya tidak—katakan pada mereka, sekecil-kecilnya hal yang bisa kalian lakukan untuk membantu ibu, saudari atau istri kalian yang sedang kesakitan karena haid, adalah dengan menolong mereka membeli pembalut, dan dengan tidak bertingkah seperti orang tolol—bilang juga pada mereka, tidak bersikap tolol itu sebenarnya gratis.
Tapi jika teman kalian yang laki-laki dan pengangguran ini masih ngotot berkata “membelikan pembalut melukai harga diriku sebagai laki-laki,” maka tolong kalian berikan uang 20.000 rupiah kepadanya dan suruh dia membeli pembalut ke warung. Karena teman kalian ini sebenarnya bukan laki-laki, tapi banci, dan mereka sebenarnya lebih membutuhkan pembalut itu daripada semua perempuan yang ada di keluarga mereka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
