KKN Berujung Sandera Mental : Prolog

0
0
Deskripsi

Mahasiswa tentunya akan melaksanakan suatu pengabdian pada masyarakat dan tentunya untuk melatih mahasiswa nya untuk aktif berorganisasi dan bersosialisasi dengan masyarakat, maka pihak kampus mengadakan KKN untuk mahasiswanya. Tapi ada banyak cerita misteri yang akan dijalani mahasiswa selama KKN. Misteri tersebut menyebabkan trauma bagi mahasiswa nya. Cerita selanjutnya? Check this out seri “KKN BERUJUNG SANDERA MENTAL”

Prolog : Perkenalan Anggota KKN

Mario, atau akrab disapa Rio oleh teman-teman dekatnya, menyandarkan punggungnya ke kursi ergonomis di kamar kosnya yang sederhana. Kacamata berbingkai tebalnya sedikit melorot di hidung yang tembam, menampilkan mata berbinar di balik lensa. Jari-jemarinya yang gembul lincah menggeser kursor di layar laptop, menelusuri daftar desa Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang ditawarkan oleh kampus. Sebagai mahasiswa manajemen food and beverage yang sudah menginjak usia 25 tahun—dua tahun lebih tua dari rata-rata teman seangkatannya karena sempat gap year—Io merasa KKN adalah titik balik penting dalam perjalanan kuliahnya yang kadang terasa lambat. Ia ingin sesuatu yang berbeda, yang jauh dari hiruk pikuk Bandung, tempat ia biasa menghabiskan waktu.

Pandangannya terhenti pada satu nama yang menarik perhatiannya: Desa Parung, Kecamatan Babakan, Kabupaten Purwakarta. Lokasinya cukup terpencil, jauh dari jangkauan sinyal yang stabil, dan seolah menjanjikan petualangan. Sebuah senyum tipis mengembang di bibir Io yang murah senyum. "Ini dia!" gumamnya pelan, lalu segera mengklik tombol daftar dengan sedikit rasa gentar.

Setelah pendaftaran rampung, tugas selanjutnya adalah mencari teman satu kelompok. Io membuka grup angkatan di aplikasi perpesanan instan. Ribuan pesan membanjiri layar, sebagian besar berisi candaan dan keluhan tugas. Dengan sedikit keberanian—karena jujur, Io kadang kurang pede untuk memulai percakapan—dia mengetik sebuah pesan:

Mario Adi Permana: Assalamualaikum teman-teman. Ada yang kebagian KKN di Desa Parung, Purwakarta? Yuk gabung tim.

Tidak butuh waktu lama, ponsel Io bergetar. Beberapa notifikasi muncul.

Rakha Dirgantara: Gue, Yo. Parung juga. Lo yang mana sih? Jarang nongol di kampus perasaan.

Mario Adi Permana: Hahaha iya gue agak jarang nongol, Ka. Gue Mario, manajemen F&B. Salam kenal ya Rakha.

Malvin Yudistira: Gue juga Parung! Malvin, Bahasa Inggris. Salam kenal semua! Senang bisa satu tim sama kalian. Kayaknya bakal seru nih KKN kita.

Bagas Pratama: Anjir lo semua pada di Parung juga? Keren! Gas! Gue Bagas, Teknik Elektro. Siap ngegas di sana. Semoga listrik desa gak byarpet ya.

Jaka Perdana: Sama, gue Jaka, Fisika. Salam kenal, Yo, Rakha, Malvin, Bagas. Semoga lancar KKN kita, jangan sampai ada rumus fisika yang meleset.

Chandra Wiguna: Chandra, DKV. Ikut juga di Parung. Semoga kita bisa kolaborasi dengan baik dan bikin program yang visualnya ciamik.

Io merasa lega dan senang. Enam orang, termasuk dirinya, sudah terkumpul. Obrolan di grup langsung ramai, jauh dari dugaan Io yang awalnya khawatir akan canggung. Karena Io sedikit tidak enakan dan ingin memudahkan semua, ia segera membuat grup chat baru khusus untuk tim KKN Parung.

Mario Adi Permana (admin): Gue udah bikin grup baru biar fokus. Welcome to tim KKN Parung guys! Salam kenal sekali lagi ya.

Bagas Pratama: Wah, makasih banyak nih Yo udah bikinin. Gercep juga lo, padahal gue kira lo kalem-kalem aja.

Mario Adi Permana: Hehe iya gas, biar gampang komunikasinya.

Rakha Dirgantara: Lo anak F&B kan Yo? Nanti di desa kita masakin yang enak-enak ya. Jangan cuma nyuruh doang.

Mario Adi Permana: Hahaha siap Rakha! Selama ada bahan dan alatnya, gue bantu!

Malvin Yudistira: Asik, kita punya koki pribadi nih! Beneran kayaknya KKN ini bakal seru. Ngomong-ngomong, Io itu panggilan akrab ya? Kayak anak kecil gemes gitu.

Mario Adi Permana: Iya Malvin, temen-temen deket manggilnya Io. Pada gemes katanya gara-gara gue polos. Hahaha.

Jaka Perdana: Bener sih, muka lo polos banget Yo. Tapi jangan salah, yang polos-polos kadang bikin kaget. Gue jadi inget temen gue yang Fisika juga, kalem tapi otaknya udah kemana-mana.

Chandra Wiguna: Aku juga merasa begitu. Desain grafis kadang butuh kepolosan untuk ide-ide baru, tapi juga harus cerdas dalam eksekusi.

Bagas Pratama: Halah kalian ini, baru kenalan udah ngegodain Io aja. Tapi emang bener sih, Io mukanya bikin pengen nyubit. Jangan-jangan nanti di desa pada minta digendong sama Io, karena Io gembul.

Tawa dan emoticon memenuhi grup. Io hanya bisa membalas dengan emoticon tertawa campur malu. Mereka lantas mulai mengobrolkan jurusan masing-masing. Malvin yang ambis di Bahasa Inggris bercerita tentang impiannya lanjut S2, Bagas yang pecicilan dengan tingkah lucunya dari Teknik Elektro, Jaka yang selalu diselingi cerita gym dari Fisika, Rakha yang cuek tapi ternyata banyak cerita kalau sudah nyaman, dan Chandra yang pendiam tapi begitu cerdas saat membahas DKV.

Malvin Yudistira: Oke guys, biar lebih enak ngobrolnya, gimana kalo kita ngumpul aja dulu besok sore di Cafe Kedai Utama dekat kampus? Biar kenalan langsung dan bisa ngobrolin persiapan KKN lebih detail.

Rakha Dirgantara: Setuju. Jam 4 ya. Gue usahain gak telat peka.

Bagas Pratama: Gas! Gue siap ngegas duluan. Jangan ada yang telat ya.

Jaka Perdana: Setuju. Nanti gue usahain gym dulu biar fit pas ketemu. Siapa tahu ada yang butuh bantuan angkat beban.

Chandra Wiguna: Baik. Aku datang. Mungkin bisa sambil sketsa ide program KKN.

Io tersenyum, hatinya menghangat. Ia merasa sedikit lebih bersemangat tentang KKN ini. Rasanya seperti menemukan keluarga baru yang unik. "Wah, akhirnya," bisiknya pada diri sendiri. "KKN bakal seru nih!" Dia membayangkan pertemuan besok, tawa dan obrolan yang akan mengisi Kedai Utama, sama sekali tidak menyadari bahwa di balik keceriaan itu, sebuah takdir kelam tengah menanti mereka di Desa Parung. Sebuah desa yang menyimpan misteri, dan obsesi yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Pertemuan Pertama: Mencairnya Kekakuan

Sore itu, Kafe Kedai Utama di dekat kampus mulai ramai. Aroma kopi dan roti bakar menyeruak, berbaur dengan obrolan ringan para mahasiswa. Mario, dengan ransel kecil di punggung dan kacamata yang sedikit melorot, adalah yang pertama tiba. Ia celingukan mencari meja kosong, hatinya sedikit kikuk dan gugup. Ini adalah kali pertama ia bertemu langsung dengan anggota kelompok KKN-nya. Ia memilih meja di pojok yang agak tersembunyi, lalu mengeluarkan ponselnya, pura-pura sibuk mengecek notifikasi padahal sebenarnya ia hanya membuka aplikasi game puzzle. Ia memang seringkali tidak enakan dan sedikit tidak pede di situasi sosial baru.

Tak lama, sosok tinggi tegap yang familiar dari foto profil grup muncul di ambang pintu kafe. Itu Jaka, dengan otot lengan yang tercetak jelas di balik kaus polosnya. Di sebelahnya, ada Rakha yang terlihat lebih santai dengan ekspresi datar, dan Chandra yang membawa tas selempang berisi sketsa buku. Mereka melihat sekeliling, dan mata Jaka langsung tertuju pada Mario yang berusaha menyembunyikan diri di balik ponselnya.

"Io!" sapa Jaka sambil melambaikan tangan. Mario sedikit terlonjak, lalu menyengir canggung.

"Eh, Jaka, Rakha, Chandra! Sini, sini!" ajaknya, menepuk kursi kosong di mejanya.

Rakha mengangguk tipis, sementara Chandra memberikan senyum kalem. Mereka duduk, dan suasana hening sejenak. Hanya suara dentingan sendok dan obrolan dari meja lain yang mengisi kekosongan. Mario menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Em... kalian udah lama di sini?" tanya Mario, berusaha memecah kebekuan.

Rakha hanya menjawab singkat, “Baru kok.”

Tiba-tiba, suara riuh dari depan pintu membuat mereka menoleh. Bagas masuk dengan gaya khasnya, tangannya melambai-lambai sambil berteriak, "Woy tim KKN Parung! Mana nih yang pada ngumpet?!” Ia diikuti Malvin yang berjalan tenang di belakangnya, membawa tumbler kopi.

Bagas langsung menghampiri meja mereka, wajahnya penuh senyum lebar. "Nah, ini dia! Wih, udah pada kumpul. Io, lo udah kayak mau sembunyi aja di pojokan. Takut diculik ya?" godanya sambil menepuk bahu Mario cukup keras, membuat Mario terbatuk kecil.

Ucapan Bagas yang pecicilan dan celetukan spontannya sontak mencairkan suasana. Jaka tertawa renyah, Rakha tersenyum tipis, bahkan Chandra pun ikut menyunggingkan senyum. Mario, meskipun sedikit shock dengan tepukan Bagas, merasa lega. Kekakuan yang tadi menyelimuti langsung lenyap.

"Gila, lo ya Gas! Datang-datang udah bikin kaget aja," ujar Mario sambil menyingkirkan kacamatanya yang miring.

Malvin datang dan meletakkan minumannya. “Sorry guys, Bagas memang suka gitu. Udah, duduk dulu yuk. Santai aja.”

Mereka semua akhirnya duduk melingkar, memesan minuman dan camilan. Obrolan mulai mengalir lancar. Mereka saling memperkenalkan diri lebih dalam, menceritakan sekilas tentang jurusan masing-masing. Bagas berceloteh tentang susahnya praktikum Elektro, Jaka dengan bangga memamerkan rutinitas gym-nya, Chandra yang pendiam namun cerdas menyumbang ide-ide DKV yang inovatif, Rakha yang awalnya cuek mulai ikut menimpali dengan beberapa komentar lucu, dan Malvin yang bijaksana sesekali menyisipkan saran-saran praktis. Mario sendiri, dengan sikapnya yang baik hati dan murah senyum, banyak mendengarkan dan sesekali menimpali dengan tawa renyah.

Pemilihan Ketua dan Pembagian Tugas

Setelah tawa dan obrolan tentang kampus mereda, Malvin berdeham. “Oke, guys. Kayaknya udah waktunya kita bahas yang serius. Pertama, kita harus pilih ketua kelompok. Ini penting banget biar koordinasi kita jelas.”

Semua mengangguk setuju.

"Ada yang mau mengajukan diri atau ada kandidat?" tanya Malvin sambil melirik satu per satu.

Bagas langsung mengangkat tangan. “Gue sih siap aja kalo disuruh ngegas, jadi ketua juga gas!”

Rakha menunjuk Mario. "Io aja. Dia kalem dan gue lihat dia suka on time kalo di kampus, pasti rapi ngurusin KKN." (Rakha memang tidak tahu usia Mario yang sebenarnya).

Mario langsung melambaikan tangan, wajahnya sedikit memerah. “Eh, jangan! Gue… gue nggak sanggup jadi ketua. Aku ini kadang gak pedean, terus suka gak enakan sama orang. Takutnya malah bikin ribet nanti. Kalian aja yang lebih cocok.”

Malvin mengamati Mario dengan tenang. “Rio, pertimbanganmu itu wajar. Oke, kalau Rio mengundurkan diri, berarti tinggal Bagas dan aku.”

"Gimana nih, mending siapa?" tanya Bagas, sambil tersenyum menantang.

Jaka menatap Bagas dan Malvin bergantian. “Jujur, Bagas asik, tapi kalo ketua KKN kayaknya butuh yang lebih... terstruktur. Malvin, lo kan ketua KKJ di kampus juga. Lo lebih bijaksana dan kayaknya lebih cocok ngatur.”

Chandra mengangguk setuju. “Aku setuju dengan Jaka. Malvin lebih terlihat tenang dan punya pengalaman memimpin.”

Rakha yang cuek pun menimpali, “Malvin aja. Gue males denger Bagas ngegas terus kalo jadi ketua.”

Semua mata beralih ke Malvin. Malvin tersenyum tipis. “Oke, kalau kalian percaya, aku siap mengemban amanah ini. Tapi kita harus kompak ya.”

"Siap, ketua!" seru Bagas, diikuti anggukan lain.

"Nah, sekarang, kita tentukan pengurus inti," lanjut Malvin. "Wakil Ketua..." Ia menatap Mario. “Rio, gue mau lo jadi Wakil Ketua. Lo kelihatan tenang dan baik hati, pasti bisa jadi penyeimbang yang baik buat gue.”

Mario membelalakkan mata. “Hah? Wakil? Tapi Vin, kan tadi gue udah bilang gue nggak bisa...”

Malvin tersenyum geli. "Justru itu, Rio. Kelemahanmu itu bisa jadi kekuatan. Lo orangnya teliti dan bertanggung jawab. Gue percaya sama lo." Malvin bahkan tidak memberi kesempatan Mario menolak. “Dan karena lo manajemen food and beverage, lo juga otomatis jadi penanggung jawab konsumsi. Gimana?”

Mario hanya bisa menghela napas pasrah. “Ya... ya udah deh kalo gitu, Vin. Tapi jangan marah ya kalo nanti gue banyak salah.”

"Itu urusan nanti. Gue yakin lo bisa!" Malvin tertawa. “Oke, selanjutnya. Untuk Logistik, yang paling pas itu Bagas. Dia gesit dan tahu barang-barang teknis.”

Bagas mengacungkan jempol. “Siap ketua! Masalah logistik serahkan pada Bagas. Gas!”

"Kemudian, Sekretaris, ini butuh orang yang teliti dan rapi dalam dokumentasi. Rakha, lo gimana?" tanya Malvin.

Rakha yang biasanya cuek tampak berpikir sejenak. “Boleh lah. Gue coba. Daripada disuruh jadi humas.”

"Nah, itu dia! Humas yang paling cocok itu Jaka. Lo kan paling ganteng di antara kita, mudah menarik perhatian warga. Siap-siap jadi idola desa!" goda Malvin.

Jaka langsung tertawa terbahak-bahak. “Anjay! Siap laksanakan, ketua! Gym tiap hari biar makin maksimal pesona gue.”

Terakhir, Malvin menatap Chandra. “Publikasi dan Dokumentasi (Pubdok), sudah pasti Chandra. Karya-karya DKV lo kan keren-keren. Kita butuh orang yang jago design untuk program-program kita.”

Chandra mengangguk pelan, ekspresinya tenang. “Siap, Malvin. Aku akan berusaha sebaik mungkin.”

Dengan tuntasnya pembagian tugas, suasana menjadi lebih hidup. Mereka mulai membayangkan kegiatan KKN di Desa Parung. Ada kelegaan dan harapan yang terpancar dari wajah masing-masing. Mario, meskipun sedikit kewalahan dengan dua jabatan yang tiba-tiba dipercayakan padanya, merasakan gelombang kehangatan. Ia senang bisa berada di antara teman-teman baru yang tampak bisa diandalkan. Mereka semua sibuk dengan obrolan ringan, menyusun rencana-rencana besar untuk KKN mereka, sama sekali tak menyadari bahwa di balik kebahagiaan dan tawa mereka, sebuah tirai gelap mulai tersingkap di Desa Parung yang misterius.

Survei Perdana: Dua Pilihan Jalur di Waduk Jatiluhur

Pagi itu, udara Bandung terasa sejuk dan cerah, cocok untuk memulai perjalanan. Pukul sembilan tepat, Mario sudah menunggu di gerbang kampus UPI, mengenakan jaket tebal dan ransel yang sedikit menggembung. Tak lama kemudian, Malvin tiba dengan motor matic-nya, diikuti Bagas yang membonceng Rakha dengan motor sportnya yang berisik.

"Pagi, Io! Siap gas ke Purwakarta?" sapa Bagas, langsung tancap gas di depan Mario.

Mario tersenyum dan mengangguk. “Siap, Gas! Pagi juga Malvin, Rakha.”

"Pagi, Rio," balas Malvin kalem. Rakha hanya mengangguk kecil sambil merapikan posisi tasnya.

"Oke, kalau gitu, Rio bonceng sama Malvin ya. Gue sama Rakha," putus Malvin, mengambil alih komando.

Mario sedikit kikuk saat naik ke boncengan Malvin. Ia memang jarang dibonceng dan tubuh gembulnya membuat ia merasa sedikit canggung. Namun, Malvin yang santai membuat Mario merasa lebih nyaman. Mereka berempat pun memulai perjalanan.

Dari UPI, rombongan motor melaju mulus melewati hiruk pikuk Cimahi, lalu menembus jalur Padalarang yang mulai ramai. Pepohonan di pinggir jalan berganti menjadi pemandangan perbukitan yang hijau. Obrolan melalui celotehan dari motor Bagas yang kadang terdengar, diiringi anggukan tipis dari Rakha, membuat perjalanan terasa ringan. Mario sesekali ikut menimpali dari belakang punggung Malvin, menikmati angin pagi yang menerpa wajahnya.

Sekitar satu jam lebih perjalanan, memasuki daerah Plered, Purwakarta, barulah tantangan pertama muncul. Malvin yang memegang kendali navigasi, mengamati layar ponselnya yang terpasang di handle motor. Raut wajahnya berubah sedikit.

"Eh, guys," seru Malvin, suaranya sedikit meninggi agar terdengar oleh Bagas di belakang. “Coba lihat ini, maps kasih dua pilihan jalur.”

Bagas menghentikan motornya, Rakha dan Mario ikut turun. Mereka semua mengerubungi ponsel Malvin. Layar Google Maps memperlihatkan dua garis biru yang mencolok, membelah area hijau luas yang jelas adalah Waduk Jatiluhur.

"Gila, jauh banget muternya kalau lewat jalur ini," tunjuk Malvin pada garis biru pertama. “Lewat utara waduk, perkiraan waktu dua jam lebih. Bakal ngelilingin seluruh waduk kayaknya.”

Semua mendesah. Waktu dua jam hanya untuk memutar waduk terasa sangat menguras tenaga dan waktu.

"Nah, ini jalur yang satu lagi," Malvin menggeser peta, menunjuk garis biru yang lebih pendek, melintasi tengah waduk. “Katanya sih, harus menyeberang waduk lewat Dermaga Cisanti. Waktunya cuma sekitar 30 menit. Tapi... ini waduk gede banget, yakin mau nyeberang?”

Wajah mereka langsung menunjukkan kebingungan. Mario menelan ludah. Ia belum pernah menyeberangi waduk sebesar itu dengan motor. Rakha yang biasanya cuek pun tampak berpikir keras. Bagas, si tukang ngegas, kali ini terlihat ragu.

"Wah, ini seriusan? Nyeberang waduk? Motor kita bisa diangkut gitu?" tanya Bagas, terdengar sedikit ngegas cemas. “Jangan-jangan cuma perahu kecil, terus kalau oleng gimana?”

Rakha, dengan ekspresinya yang tenang, menimpali. “Kalau lihat waktunya sih, jelas lebih efektif nyeberang. Tapi ya itu, risikonya belum tahu. Kita harus mastiin ada kapal yang aman buat motor.”

"Gimana, Io? Lo ada saran?" tanya Malvin, melihat ke arah Mario. Sebagai orang yang biasanya tidak pedean, Mario merasa sedikit terbebani, tapi ia berusaha berpikir jernak.

"Em... gini aja, Vin," kata Mario pelan. “Kalau muter dua jam itu terlalu buang waktu dan bensin. KKN kita kan cuma sebentar. Kita cari tahu dulu kondisi di Dermaga Cisanti. Kalau memang ada kapal khusus pengangkut orang dan motor, dan terlihat aman, kenapa nggak kita coba nyeberang aja? Hemat waktu banget.”

Malvin mengangguk, mempertimbangkan. “Ide bagus, Yo. Berarti kita harus maju dulu ke dermaga, cek kondisinya.”

Diskusi singkat tapi berat itu berakhir dengan keputusan bulat. Mereka semua sepakat. Mengambil risiko kecil demi efisiensi waktu adalah pilihan terbaik.

"Oke, guys," kata Malvin, kini dengan nada lebih mantap. “Kita ambil jalur pintas. Kita menuju Dermaga Cisanti. Semoga lancar!”

Bagas dan Rakha mengangguk setuju, sedikit rasa lega terlihat di wajah mereka. Mario merasa sedikit tegang, namun antusiasme untuk petualangan baru ini lebih mendominasi. Mereka kembali naik motor, memacu kendaraan menuju dermaga, tidak tahu bahwa pilihan ini akan membawa mereka ke gerbang sebuah misteri yang jauh lebih besar dari sekadar menyeberangi waduk.

Dermaga Cisanti: Menyeberangi Hamparan Air yang Luas

Setibanya di Dermaga Cisanti, suara bising mesin motor mereka meredup, tergantikan oleh hembusan angin yang membawa aroma air tawar dan gemericik ombak kecil yang menampar tepian. Mereka berempat, Mario, Malvin, Rakha, dan Bagas, terdiam sejenak. Di hadapan mereka terhampar pemandangan Waduk Jatiluhur yang begitu luas, seolah tak bertepi. Airnya membentang sejauh mata memandang, berwarna biru gelap di bawah langit yang cerah.

"Gila... ini waduk atau lautan sih?" gumam Bagas, suaranya terdengar sedikit kagum dan sedikit ciut.

Mario, yang dari tadi sudah menahan napas, hanya bisa mengangguk pelan. “Besar banget ya...”

Malvin mengamati area dermaga, mencari tanda-tanda kapal atau perahu penyeberangan. Rakha yang biasa cuek pun tampak fokus mengamati cakrawala.

Mereka melihat beberapa warga lokal berkumpul di dekat perahu-perahu kecil yang tertambat. Malvin, yang memang paling bijaksana dan proaktif, langsung menghampiri seorang bapak-bapak yang sedang memperbaiki jaring.

"Permisi, Pak," sapa Malvin ramah. “Mau tanya, kalau Desa Parung itu di mana ya, Pak?”

Bapak itu menunjuk ke seberang waduk, ke arah perbukitan hijau yang samar-samar terlihat di kejauhan. “Oh, Desa Parung itu di ujung sana, Neng... eh, Den. Kalau dari sini, kelihatan samar-samar kan.”

Mereka semua mengikuti arah telunjuk bapak itu. Memang, di antara kabut tipis di kejauhan, siluet pemukiman kecil terlihat, begitu jauh namun masih dalam jangkauan pandangan. Lega rasanya mengetahui mereka berada di jalur yang benar.

"Kalau mau ke sana, apa harus muter jauh, Pak? Atau bisa nyeberang dari sini?" tanya Malvin lagi, menyinggung inti persoalan mereka.

Seorang warga lain yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka, tiba-tiba menimpali, "Oh, bisa, Den! Kalau mau nyeberang bisa pakai perahu saya. Cepat kok, daripada muter jauh mah." Ia adalah seorang pria paruh baya dengan kulit kecoklatan dan senyum ramah.

"Berapa, Pak?" tanya Bagas, langsung to the point.

"Satu motor dua puluh lima ribu, Den. Kalau orangnya sepuluh ribu per kepala," jawab bapak pemilik perahu itu. “Nanti saya antar sampai seberang, ada jalan langsung ke Desa Parung.”

Mario, yang langsung menghitung dalam hati, merasa harga itu cukup masuk akal. Dua motor dan empat orang berarti total seratus ribu rupiah. Jauh lebih hemat waktu dan tenaga dibanding memutar selama dua jam.

Malvin melirik teman-temannya. Rakha mengangguk setuju, Bagas menyengir lega, dan Mario tersenyum tipis. Tidak ada keraguan lagi.

"Oke, Pak! Kami ambil jasa Bapak," kata Malvin memutuskan.

Mereka mulai memarkirkan motor di pinggir dermaga. Dengan bantuan si bapak dan satu anak buahnya, motor Mario dan Bagas dinaikkan ke atas perahu kayu yang cukup besar, yang biasanya digunakan untuk mengangkut barang dan beberapa penumpang. Perahu itu terlihat kokoh, meski sederhana.

Tak lama kemudian, mesin perahu dihidupkan. Suara dengung rendah menyelimuti mereka saat perahu perlahan bergerak menjauh dari dermaga. Hamparan air yang tadi terlihat menakutkan kini terasa menenangkan, bahkan menyenangkan. Angin sepoi-sepoi membelai wajah mereka, membawa aroma lumpur dan air yang segar. Jaka dan Bagas mulai bercanda, Rakha menikmati pemandangan dengan tenang, sementara Mario mengambil beberapa foto dengan ponselnya. 

Di Tengah Danau: Kekaguman dan Ketenangan yang Terusik

Perahu melaju pelan membelah permukaan Waduk Jatiluhur yang berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, membawa bau air tawar yang menenangkan. Pemandangan di sekeliling mereka benar-benar menakjubkan. Perbukitan hijau menjulang di kejauhan, diselimuti kabut tipis di beberapa bagian, menciptakan lukisan alam yang memesona.

Rakha, yang biasanya terlihat cuek dan tidak banyak bicara, kini tampak takjub. Ponselnya ia angkat, merekam hamparan air yang luas dan keindahan alam di sekeliling mereka. Sesekali ia tersenyum tipis saat melihat hasil rekamannya. Jaka pun tidak kalah, ia mengambil beberapa foto selfie dengan latar belakang waduk yang indah, memamerkan senyum menawannya yang memang pantas disebut "Oppa Korea".

Tiba-tiba, suara Bagas yang agak ngegas memecah keheningan. "Oke guys, lihat ini! Kita lagi on the way ke Desa Parung lewat jalur air! Keren banget, kan?" ia berseru ke ponselnya, merekam dirinya sendiri dengan gaya khas influencer dadakan untuk Instagram Stories-nya. Bagas tertawa-tawa sendiri, merekam Rakha yang sibuk merekam, dan Jaka yang selfie, membuat suasana di perahu semakin hidup.

Namun, di tengah keriuhan itu, Mario justru terdiam. Mata di balik kacamatanya memancarkan sedikit kecemasan. Tubuhnya yang gembul terasa sedikit tegang saat perahu sesekali bergoyang kecil diterpa ombak. Ia memang tidak pernah bepergian jauh, apalagi menyeberangi perairan seluas ini. Bayangan tentang kedalaman air di bawahnya, atau kemungkinan hal yang tidak diinginkan, tiba-tiba menyeruak. Ia ketakutan. Senyum yang tadi merekah di wajahnya perlahan memudar, digantikan ekspresi cemas.

Malvin, yang duduk di sebelahnya, menyadari perubahan raut wajah Mario. Ia menoleh, melihat Mario yang terpaku menatap permukaan air dengan tatapan kosong. Tanpa banyak bicara, Malvin mengulurkan tangannya dan mengelus lembut lengan Mario dengan gerakan yang tegas namun menenangkan.

"Tenang, Io," bisik Malvin, suaranya rendah dan meyakinkan, “kita aman. Bapaknya sudah berpengalaman, perahunya juga kokoh. Sebentar lagi kita sampai.”

Sentuhan dan perkataan Malvin seolah menjadi jangkar bagi Mario. Ia menoleh ke arah Malvin, dan melihat senyum tipis di wajah ketua kelompoknya itu. Ketegangan di bahu Mario sedikit mengendur. Ia mengangguk pelan, berusaha mengusir ketakutannya. Rasanya ada kekuatan dalam ketenangan Malvin yang menular padanya.

Perjalanan di atas air pun berlanjut, membawa mereka semakin dekat ke Desa Parung. Di satu sisi, ada kegembiraan dan kekaguman akan petualangan baru.

Tiba di Parung: Perjalanan yang Belum Usai

Setelah menyeberangi Waduk Jatiluhur yang memukau, perahu mereka perlahan merapat di sebuah dermaga kecil di Desa Parung. Begitu menginjakkan kaki di daratan, napas lega terlihat di wajah keempat mahasiswa itu. Jalanan yang terhampar di depan mereka masih berupa tanah becek sisa hujan semalam, diapit rumah-rumah penduduk yang tampak sederhana. Jam menunjukkan pukul 11.00 siang.

"Akhirnya sampai juga!" seru Bagas, meregangkan tubuh. “Gue kira bakal nyasar di tengah waduk tadi.”

Rakha hanya mengangguk setuju, matanya mengamati sekeliling. Mario menghela napas panjang, rasa takutnya di atas perahu tadi perlahan memudar, digantikan rasa penasaran akan desa ini.

"Sebelum kita lanjut," kata Malvin, “gimana kalau kita cari warung dulu? Istirahat sebentar sambil ngopi dan ngemil.”

Usul Malvin disambut antusias. Tak jauh dari dermaga, ada sebuah warung kecil yang menjual makanan dan minuman. Mereka segera memesan kopi hangat dan beberapa camilan, lalu duduk di bangku kayu panjang yang agak reyot. Aroma kopi hitam yang pekat langsung menenangkan.

"Gila ya, perjalanan tadi bener-bener di luar dugaan," ujar Rakha sambil menyeruput kopinya. “Mana ada di maps ada penyeberangan perahu gitu.”

Bagas tertawa. “Untung kita ngegas nyeberang ya. Kalau muter, bisa-bisa udah jam berapa ini baru nyampe sini.”

"Io, lo tadi mukanya tegang banget pas di perahu," goda Jaka sambil menyenggol lengan Mario. “Takut nyebur, ya?”

Mario tersipu. "Hehe, iya. Aku belum pernah nyeberang air seluas itu. Agak takut aja. Tapi untung ada Malvin yang nenangin." Ia melirik Malvin dengan senyum tipis, dan Malvin hanya mengangguk kalem.

Setelah obrolan santai tentang petualangan mereka di waduk, Malvin menoleh ke arah pemilik warung, seorang ibu paruh baya yang sedang melayani pelanggan. "Bu, numpang tanya," kata Malvin. “Kalau kantor kepala desa di mana ya, Bu? Kami mahasiswa KKN dari Bandung.”

Ibu warung itu tersenyum ramah. "Oh, anak-anak KKN ya? Kantor kepala desa agak masuk ke dalam, Nak." Ia lalu mulai menjelaskan rute yang membuat kening mereka berkerut.

"Dari sini, kalian jalan terus aja ke arah hutan pinus yang di ujung itu," jelas si Ibu sambil menunjuk. “Nanti dari hutan pinus, kalian harus turun ke lembah hutan yang agak gelap dan berlumpur. Jalannya agak licin kalau habis hujan.”

Mario, Bagas, Rakha, dan Malvin saling pandang, raut wajah mereka mulai menunjukkan kekagetan. Ini terdengar lebih menantang dari yang mereka bayangkan.

"Terus, dari lembah itu kalian lurus aja," lanjut Ibu itu santai, “sampai ketemu sungai Citarum yang kering. Nah, setelah itu, kalian harus nanjak lagi terus selama kira-kira delapan kilometer. Jalannya itu bebatuan dan tidak mulus, jadi hati-hati.”

Bagas menganga. “Delapan kilometer jalan bebatuan? Gila aja!”

"Iya, Nak. Tapi jangan khawatir," tambah si Ibu, “nanti kalau sudah sekitar lima kilometer nanjak, ada jalan pintas lewat hutan lagi. Itu jalan setapak, agak tersembunyi, tapi kalau kalian ikutin terus, langsung tembus ke dekat kantor desa.”

Mendengar penjelasan itu, keempat mahasiswa itu benar-benar kaget. Ekspresi mereka berubah dari santai menjadi terperangah. Mereka memilih Purwakarta dengan alasan dekat dan aksesnya mudah dari Bandung, namun kenyataan di lapangan sungguh di luar dugaan. Desa Parung ini ternyata jauh lebih terpencil dan sulit dijangkau dari yang mereka bayangkan di awal.

"Purwakarta yang kita kira dekat, ternyata begini jalannya..." gumam Rakha, yang peka tapi kali ini terlambat menyadari betapa ekstremnya lokasi KKN mereka.

Mario, si gembul yang tidak pedean ini, merasa lemas. Perjalanan saja sudah menguras tenaga, apalagi kalau harus menempuh rute yang dijelaskan Ibu warung itu.

Malvin menghela napas panjang, mencoba mencerna semua informasi. “Oke, baik, Bu. Terima kasih banyak infonya.”

Mereka semua menatap jalanan yang membentang di depan mereka, menuju hutan pinus yang diselimuti misteri. Perjalanan ke kantor kepala desa ini tampaknya akan menjadi petualangan pertama mereka yang sebenarnya di Desa Parung. Sebuah petualangan yang belum tentu hanya berakhir di kantor kepala desa saja..

Menembus Rimba Parung: Kejutan di Setiap Tikungan

Setelah mendapatkan peta jalan yang tak terduga dari ibu warung, keempat mahasiswa itu kembali menaiki motor masing-masing, kali ini dengan perasaan yang sedikit berbeda. Antusiasme awal bercampur dengan kecemasan akan medan yang akan mereka hadapi.

Perjalanan dimulai. Mereka memacu motornya menembus jalan tanah yang mengarah ke hutan pinus. Tak lama, aroma khas getah pinus dan kelembapan tanah yang basah mulai menyergap indra penciuman mereka. Deretan pohon pinus menjulang tinggi, batangnya lurus, dan daunnya hijau rimbun, membentuk kanopi alami yang melindungi mereka dari terik matahari. Hutan pinus itu begitu indah, dengan cahaya matahari yang menembus sela-sela pepohonan, menciptakan pola-pola cahaya di tanah. Mario, yang tadinya tegang, kini sedikit rileks, mengagumi keindahan alam yang jarang ia temui.

Namun, keindahan itu tak bertahan lama. Saat mulai memasuki area yang lebih rimbun dan sedikit lembap, mereka dikejutkan oleh kemunculan beberapa ekor sapi liar yang tiba-tiba melintas di depan motor mereka. Malvin dan Bagas harus sigap mengerem mendadak. Mario dan Rakha terlonjak kaget.

"Wah, gila! Ini sapi siapa sih, bebas banget berkeliaran!" seru Bagas, yang langsung memelankan laju motornya.

Belum sempat napas mereka pulih, dari balik semak-semak yang lebih lebat, sesosok hewan lain yang lebih mengagetkan muncul. Seekor babi hutan berukuran sedang, dengan taring yang cukup menakutkan, tiba-tiba keluar dan berlari ke arah mereka!

"Anjir, babi hutan!" teriak Bagas panik. Secara reflek, Bagas langsung tancap gas. Babi hutan itu sempat mengejar motor Bagas beberapa meter, menimbulkan decit tawa campur ngeri dari Rakha yang diboncengnya. Untungnya, motor Bagas lebih cepat, dan babi itu akhirnya menyerah, kembali masuk ke rimbun semak.

Mereka berempat berhenti sejenak, derai tawa pecah di antara mereka. Ketegangan yang tadi sempat menyelimuti, kini mencair menjadi gelak tawa yang lepas.

"Hahaha! Gila, Gas! Lo udah kayak dikejar setan!" Jaka, yang tadi tidak ikut survei, pasti akan menyesal tidak melihat ini.

"Mana gue tahu ada babi hutan! Kampret emang. Untung gue sat-set, kalo enggak udah dicolek tuh ban motor gue," balas Bagas, masih tertawa ngakak.

"Untung naik motor ya, Gas," timpal Rakha sambil menyengir. “Kalau jalan kaki, udah teriak minta tolong paling.”

Mario ikut tertawa, merasa lega dan terhibur oleh tingkah teman-temannya. Candaan ringan itu memang ampuh agar perjalanan tidak terlalu tegang.

Namun, ketenangan mereka kembali terusik. Saat melintasi jalur yang semakin rimbun dan teduh, Malvin yang sedang fokus mengemudi, tiba-tiba merasakan sesuatu yang dingin dan licin jatuh dan melilit pahanya. Mario, yang duduk di belakangnya, melihat dengan jelas seekor ular kecil berwarna hijau baru saja jatuh dari dahan pohon di atas mereka dan kini menimpa paha Malvin.

"AAAAA ULAR!" teriak Mario refleks, saking kagetnya. Ia langsung melompat kecil di boncengan Malvin, tangannya spontan melempar ular itu sekuat tenaga. Tubuh gembulnya bergetar hebat. Hampir saja ia menangis saking terkejutnya, namun ia menahan diri. Malvin ikut terkejut, namun berhasil menjaga keseimbangan motor.

"Hah? Ular? Mana?" tanya Malvin panik, ia sempat tidak sadar ada ular.

"Tadi... tadi jatuh di paha kamu, Vin! Aku... aku langsung lempar!" Mario menjawab dengan suara bergetar, wajahnya pucat pasi. Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menenangkan diri. Jantungnya berdebar kencang. Ia memang punya fobia terhadap ular.

Malvin melihat ke belakang, memastikan ular itu sudah tidak ada. Ia menghela napas lega. "Astaga, Rio! Untung lo sigap. Gue gak kerasa sama sekali." Ia tersenyum tipis ke arah Mario, mencoba menenangkan.

Setelah insiden ular yang membuat Mario nyaris menangis, mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Jalanan mulai menurun, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah area lapang yang ditandai oleh sungai Citarum yang kering. Hanya ada bebatuan dan sedikit genangan air berlumpur yang tersisa.

"Ini toh sungai keringnya," kata Malvin, menghentikan motornya.

"Gila, beneran kering banget. Kayak padang pasir mini," timpal Bagas.

Mereka pun harus menyeberangi sungai kering itu. Meskipun kering, ada beberapa bagian yang masih berlumpur dan basah, membuat sepatu mereka kotor dan sedikit basah saat mendorong motor melintasinya. Aroma tanah basah dan lumut tercium kuat.

Setelah berhasil menyeberangi sungai kering, tantangan berikutnya sudah menanti di depan mata: jalan nanjak bebatuan yang dijanjikan oleh ibu warung. Jalanan mulai menanjak curam, penuh dengan bebatuan besar dan kerikil tajam, membuat motor mereka sedikit kesulitan melaju. Ini baru permulaan dari medan yang sesungguhnya di Desa Parung.

Jalan Pintas dan Sebuah Ujian Tak Terduga

Melihat tanjakan bebatuan yang menjulang di depan, mereka tahu ini bukan lelucon. Motor Mario dan Bagas, meskipun sudah dimodifikasi sedikit, tetap akan kesulitan menanjak dengan beban penuh. Setelah saling pandang dan menghela napas panjang, Malvin membuat keputusan.

"Oke guys, ini jalannya lumayan curam," kata Malvin, menoleh ke belakang. “Gini aja, Io sama Rakha turun dulu. Kita jalan kaki sebentar. Biar motornya bisa nanjak dengan mudah.”

Mario dan Rakha mengangguk pasrah. Tubuh gembul Mario terasa sedikit berat, tapi ia tahu ini demi kebaikan bersama. Mereka berdua melangkah di samping motor yang melaju pelan, sesekali harus menarik napas dalam-dalam karena medan yang menanjak. Cuaca tengah hari itu terasa panas menyengat, keringat mulai membasahi dahi mereka. Matahari tepat berada di atas kepala, tanpa ampun membakar kulit.

Malvin dan Bagas dengan sigap memacu motornya. Suara mesin yang menggerung keras berjuang menaklukkan tanjakan bebatuan. Ban motor sesekali selip, memercikkan kerikil dan debu. Namun, berkat beban yang lebih ringan, keduanya berhasil menanjak perlahan. Mario dan Rakha mengiringi di belakang, terengah-engah tapi tetap berusaha mengikuti. Mereka melangkah melewati pepohonan yang mulai menjarang, tanda mereka sudah mendaki cukup tinggi.

Setelah perjuangan yang cukup menguras tenaga, akhirnya mereka tiba di sebuah area yang sedikit lebih landai, di mana Malvin dan Bagas menunggu. Mereka berhenti di depan sebuah jalan setapak yang tersembunyi di balik semak belukar. Ini pasti jalan pintas yang dijelaskan oleh ibu warung.

"Ini dia! Ketemu juga jalan pintasnya," seru Bagas, menyeka keringat di dahinya. “Untung aja, kalo enggak bisa mati gaya gue nanjak terus.”

Mario dan Rakha, yang baru saja berhasil menyusul, langsung menjatuhkan diri di pinggir jalan, berusaha mengatur napas. Wajah Mario memerah karena kelelahan.

"Ayo, Gas. Kita coba masuk," ajak Malvin, membuka jalan setapak itu.

Mereka kembali naik motor, kini memasuki area hutan yang lebih rapat. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang, membentuk kanopi yang lebat sehingga cahaya matahari sulit menembus. Suasana menjadi lebih teduh, namun sekaligus terasa lebih senyap dan agak gelap. Jalan setapak itu hanya cukup untuk satu motor, dengan akar-akar pohon yang menonjol dan tanah yang lembap.

Mereka melaju perlahan, satu di belakang yang lain, dengan Malvin di depan. Namun, di tengah-tengah hutan yang hening itu, tiba-tiba motor Malvin terbatuk-batuk, suaranya melemah, dan akhirnya—gluk!—mesinnya mati total. Motor Malvin mogok.

"Yah, mampus!" seru Bagas kaget dari belakang.

Mario, yang langsung tahu ada yang tidak beres, sontak merasakan gelombang panik menyerang. Ia turun dari motor Bagas, melangkah mendekat dengan tergesa. Mereka terjebak di tengah hutan yang asing, jauh dari pemukiman, di bawah cuaca yang masih terasa terik meski terhalang pepohonan rapat.

Malvin segera turun dari motornya dan mulai mengecek mesin. "Aduh, kenapa ini? Dari tadi aman-aman aja." Ia mengutak-atik beberapa bagian, mencoba menyalakan kembali, namun motor tetap membisu.

"Gimana, Vin? Bisa nyala lagi?" tanya Rakha, suaranya sedikit cemas.

Malvin menggeleng. "Enggak tahu nih, kayaknya ada yang aneh. Coba gue telpon bantuan dulu." Malvin segera mengeluarkan ponselnya, tapi raut wajahnya kembali berubah. "Sial! Nggak ada sinyal sama sekali!" Ia mencoba lagi, menggeser posisi, tapi tetap saja, bilah sinyal menunjukkan SOS only.

Kepanikan Mario semakin menjadi. Mereka benar-benar terisolasi. Bagas mencoba mengecek sinyal di ponselnya sendiri, lalu Rakha, tapi hasilnya nihil. Hutan itu menelan semua sinyal.

"Gimana dong ini, Vin?" tanya Mario, suaranya sedikit bergetar. “Kita... kita kejebak?”

Malvin menatap mereka satu per satu, berusaha tetap tenang. “Oke, tenang dulu semua. Panik nggak akan menyelesaikan masalah. Kayaknya kita nggak punya pilihan lain selain menunggu di sini. Mungkin ada warga yang lewat, atau nanti sore sinyal bisa ada lagi.”

Maka, di tengah hutan yang hening, di bawah kanopi pepohonan yang rimbun, empat mahasiswa itu terdiam. Suara-suara alam, gemerisik daun, dan kicauan burung, kini terdengar lebih jelas, sekaligus terasa lebih mengancam. Penantian dimulai, sebuah penantian yang akan membawa mereka ke dalam pusaran misteri yang lebih dalam lagi di Desa Parung.

Sinyal Harapan dan Pertemuan yang Lega

Waktu terasa berjalan lambat di tengah hutan yang sunyi. Mario terus-menerus melirik ke arah Malvin yang masih sibuk mengutak-atik mesin motornya. Setiap kali Malvin mencoba menyalakan, jantung Mario ikut berdebar, lalu kembali lemas saat hanya suara nguing pelan yang terdengar. Rakha sesekali mencoba mencari sinyal di ponselnya, berharap ada keajaiban. Rasa cemas dan kebingungan mulai merayapi mereka.

Namun, Malvin adalah ketua yang bijaksana dan pantang menyerah. Setelah beberapa kali percobaan, mengutak-atik kabel, membersihkan busi, dan entah apa lagi, tiba-tiba terdengar suara mesin motor berderum pelan, lalu hidup!

"YES!" seru Malvin, raut wajahnya yang tegang langsung berubah menjadi senyum lega.

Mario dan Rakha langsung bersorak kecil. "Alhamdulillah, nyala juga!" Mario hampir saja loncat saking senangnya. Beban berat yang tadi menekan pundaknya seketika terangkat.

Malvin segera menaiki motornya, mencoba gas pelan. Mesinnya terdengar normal. “Oke, guys! Kita lanjut! Maaf ya jadi lama.”

"Nggak apa-apa, Vin! Yang penting nyala lagi," balas Rakha, ikut naik ke boncengan motor Bagas.

Mereka pun melanjutkan perjalanan di jalan setapak yang sempit itu. Hutan mulai sedikit menjarang, dan tak lama kemudian, mereka melihat cahaya terang di depan. Sebuah lapangan rumput yang cukup luas terhampar di balik pepohonan terakhir.

Di tengah lapangan itu, sesosok tubuh tampak mondar-mandir dengan gelisah. Itu Bagas. Ia sudah menunggu dengan motornya yang terparkir rapi. Raut wajahnya menunjukkan kecemasan yang jelas. Ia melirik jam di pergelangan tangannya berulang kali. Terlihat sekali ia cemas karena sudah lama tidak ada kabar dari Malvin dan Mario.

Begitu melihat dua motor mendekat dari balik hutan, Bagas langsung melambaikan tangan dengan semangat. "Vin! Io! Akhirnya!" teriaknya, suaranya sedikit parau karena khawatir.

Malvin menghentikan motornya tepat di depan Bagas. “Sorry, Gas. Motor gue mogok di tengah jalan tadi. Untung bisa bener lagi.”

Bagas menghela napas lega. "Anjir, gue udah mau nyusul aja tadi. Udah lama banget kalian nggak muncul-muncul. Kirain kenapa-kenapa di hutan." Ia menepuk bahu Malvin, lalu menoleh ke Mario yang terlihat masih sedikit pucat. “Io, lo juga, kenapa diem aja? Bikin khawatir gue!”

Mario menyengir canggung. “Iya, Gas. Maaf. Tadi panik banget.”

Rakha, yang baru turun dari boncengan Bagas, hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Udah, santai. Yang penting kita udah kumpul lagi.”

Meskipun sempat diwarnai kepanikan dan kecemasan, pertemuan kembali di lapangan itu terasa seperti oase di tengah padang gurun. Keempat mahasiswa itu kini bersatu kembali, siap menghadapi sisa perjalanan ke kantor kepala desa. Mereka belum tahu, bahwa perjalanan ini akan membawa mereka ke dalam sebuah pengalaman yang mengubah hidup, sebuah misteri yang menanti di balik setiap sudut Desa Parung.

Di Balik Pintu Kantor Desa: Sebuah Sambutan dan Posko yang Tak Terduga

Perjalanan panjang yang penuh kejutan akhirnya mengantar Mario, Malvin, Rakha, dan Bagas ke hadapan Kantor Desa Parung. Bangunan sederhana dengan cat hijau pudar itu berdiri di ujung jalan berbatu, dikelilingi halaman kecil yang bersih. Saat motor mereka berhenti, keempatnya merasakan gelombang kegugupan menyelimuti. Ini adalah momen formal pertama mereka di desa, sebuah langkah awal yang akan menentukan kelancaran KKN mereka.

Mereka turun dari motor, merapikan pakaian yang sedikit kotor karena perjalanan, dan melangkah dengan hati-hati menuju pintu kantor desa. Suara langkah kaki mereka terdengar jelas di tengah kesunyian. Begitu pintu terbuka, mereka disambut oleh seorang staf desa paruh baya yang ramah. Di dalam, duduk di meja kerja yang rapi, tampak seorang pria dengan perawakan tenang dan senyum bersahaja. Dialah Kepala Desa Parung.

"Assalamualaikum, Pak," sapa Malvin, yang paling bijaksana dan berani menjadi juru bicara. Anggota lainnya mengangguk hormat.

"Waalaikumsalam. Mari masuk, Nak," jawab Pak Kepala Desa, mempersilakan mereka duduk di bangku kayu di hadapannya.

Suasana awal memang sedikit canggung dan tegang. Mario, dengan tubuh gembulnya, duduk agak kaku di pinggir bangku. Rakha seperti biasa hanya mengamati, sementara Bagas mencoba menahan diri agar tidak terlalu pecicilan.

"Kami mahasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia, Pak," Malvin memulai, menjelaskan dengan lugas. “Nama saya Malvin, ini rekan-rekan saya, Mario, Rakha, dan Bagas. Maksud kedatangan kami ingin melapor bahwa kami adalah kelompok KKN yang akan bertugas di Desa Parung ini, Pak.”

Pak Kepala Desa mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk. “Oh, jadi ini yang namanya kelompok KKN dari Bandung itu ya? Wah, senang sekali bisa bertemu kalian. Saya sudah dengar dari kampus. Selamat datang di Desa Parung, Nak.”

Senyum hangat dari Pak Kepala Desa membuat ketegangan mereka perlahan mencair. Mereka pun mulai menjelaskan tujuan KKN mereka, program-program awal yang sudah mereka rancang, dan bagaimana mereka berharap bisa berkontribusi untuk desa. Pak Kepala Desa menyambut hangat setiap penjelasan mereka, bahkan sesekali memberikan masukan.

"KKN kalian akan dimulai tiga minggu lagi, kan?" tanya Pak Kepala Desa. “Nah, itu artinya kalian punya waktu untuk persiapan lebih matang. Nanti kalau sudah mulai, jangan sungkan ya kalau ada apa-apa, langsung saja koordinasi dengan saya atau staf desa.”

"Siap, Pak! Terima kasih banyak atas sambutan hangatnya," jawab Malvin.

Setelah obrolan yang cukup panjang dan informatif, tibalah saatnya mereka menanyakan hal penting lainnya: posko KKN.

"Pak, kalau boleh tahu, untuk posko KKN kami nanti, apakah ada rekomendasi tempat, Pak?" tanya Malvin.

Pak Kepala Desa tampak berpikir sejenak, lalu matanya berbinar. “Oh, iya! Ada kok. Kebetulan sekali, ada satu rumah yang sudah lama tidak terpakai di sini. Bukan kosong sih, karena pemiliknya jarang sekali ke sini. Biasanya hanya sesekali menengok saja.”

Mendengar itu, keempat mahasiswa itu langsung tertarik. Rumah tidak terpakai terdengar seperti posko yang ideal untuk privasi mereka.

"Rumah itu milik Teh Ani, yang kebetulan juga punya warung di depan jalan sana," lanjut Pak Kepala Desa sambil menunjuk ke arah jalan utama desa, tidak terlalu jauh dari kantor. “Nanti saya bantu bicarakan dengan Teh Ani. Pasti dia mau pinjamkan. Lokasinya strategis, dekat dengan warung dan pemukiman warga lainnya. Lumayan, tidak perlu pusing cari tempat lagi.”

Rasa lega bercampur antusiasme menyeruak di dada Mario dan teman-temannya. Ternyata, setelah perjalanan berat dan penuh kejutan, mereka disambut dengan baik dan bahkan sudah direkomendasikan posko yang menjanjikan. Ini adalah awal yang jauh lebih baik dari yang mereka bayangkan setelah insiden ular dan mogok motor. Dengan janji posko yang aman, mereka pun pamit, berterima kasih atas waktu dan bantuan Pak Kepala Desa.

Sesampainya di warung Teh Ani, aroma masakan rumahan langsung menyambut mereka. Warung itu tampak sederhana namun bersih, dengan beberapa meja kayu dan bangku panjang. Teh Ani, seorang wanita ramah dengan senyum yang menenangkan, menyambut mereka dengan hangat. Ternyata, posko yang dimaksud Pak Kepala Desa terletak tepat di belakang warung Teh Ani. Sebuah rumah kecil dengan dua kamar, dapur, dan kamar mandi sederhana.

Mario langsung sumringah. Mendapat posko dekat warung adalah berkah tersendiri baginya. Ia bisa dengan mudah mendapatkan makanan dan minuman kapanpun ia mau.

"Wah, pas banget ini, Teh! Dekat sama warung, jadi gampang kalau mau jajan," celetuk Bagas, yang juga tampak senang dengan lokasi posko mereka.

Teh Ani tersenyum. “Iya, Nak. Biar kalian nggak repot cari makan. Rumahnya memang sederhana, tapi lumayan buat kalian berempat. Gimana, cocok?”

Mereka berempat mengangguk setuju. Rumah itu memang tidak mewah, tapi cukup nyaman dan fungsional.

"Soal biaya sewanya gimana, Teh?" tanya Malvin, yang selalu memikirkan hal-hal praktis.

Teh Ani menjelaskan harga sewa posko dengan negosiasi yang baik. Ia tidak mematok harga yang terlalu tinggi, dan bahkan bersedia memberikan diskon jika mereka bersedia membantu di warungnya sesekali. Mereka semua setuju dengan harga yang ditawarkan, dan sepakat akan membayar sewa pada hari pertama KKN.

Setelah urusan posko selesai, Bagas mencoba mengecek sinyal di ponselnya. Namun, dugaannya benar, sinyal hilang. Hal yang sama juga dialami oleh Mario, Malvin, dan Rakha.

"Wah, Teh, di sini nggak ada sinyal ya?" tanya Bagas, sedikit cemas.

Teh Ani mengangguk. “Iya, Nak. Di sekitar sini memang susah sinyal. Tapi jangan khawatir. Kalau mau akses sinyal lancar, bisa langsung di halaman kantor desa. Di sana biasanya lumayan kuat sinyalnya.”

Mendengar itu, mereka semua sedikit lega. Meskipun akses sinyal terbatas, setidaknya ada satu tempat yang bisa diandalkan untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Mereka pun berterima kasih kepada Teh Ani atas keramahannya, dan berjanji akan kembali lagi nanti untuk membereskan posko mereka. Petualangan mereka di Desa Parung baru saja dimulai, dan tantangan demi tantangan tampaknya akan terus menguji mereka.

Perpisahan Sore dan Kembali ke Bandung

Setelah urusan posko beres dan penjelasan soal sinyal terbatas, Teh Ani dengan kebaikan hatinya menyajikan mi instan hangat secara gratis untuk keempat mahasiswa itu. Aroma kuah mi yang gurih langsung menyebar, menggoda selera mereka setelah perjalanan panjang yang melelahkan.

"Wah, Teh, makasih banyak ya! Enak banget ini mie-nya, pas banget buat ngisi tenaga," ujar Mario sambil menyeruput kuahnya dengan lahap, senyum lebar terukir di wajah gembulnya.

"Sama-sama, Nak. Lumayan buat ganjal perut sebelum pulang," jawab Teh Ani, mengelus kepala Mario dengan lembut.

Sambil menikmati mi, mereka mengobrol santai dengan Teh Ani. Mereka bertanya sedikit tentang kehidupan desa, kebiasaan warga, dan hal-hal umum lainnya. Teh Ani dengan sabar dan ramah menjelaskan, sesekali diselingi candaan. Ia bercerita tentang keheningan desa di malam hari, tentang mata pencarian utama warga, dan tentang tradisi-tradisi kecil yang masih mereka jaga. Suasana terasa sangat akrab, seolah mereka sudah lama mengenal Teh Ani.

Namun, waktu terus berjalan. Bayangan matahari mulai memanjang, dan hawa sejuk sore hari mulai terasa. Malvin melirik jam di ponselnya. Takut kesorean di jalan, ia pun memberi isyarat kepada teman-temannya.

"Teh, makasih banyak ya buat mie-nya sama infonya," kata Malvin, berdiri dari bangku. “Kayaknya kita harus pamit sekarang. Takut kemalaman di jalan.”

Mario, Rakha, dan Bagas pun ikut berdiri, membereskan mangkuk mi mereka.

"Oh, iya. Hati-hati di jalan ya, Nak. Semoga selamat sampai Bandung," ujar Teh Ani dengan senyum tulus. “Nanti tiga minggu lagi, kalian sudah bisa menempati posko di belakang warung ini ya.”

"Siap, Teh! Pasti kami kabari lagi," sahut Bagas.

Mereka pun berpamitan, mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Teh Ani atas keramahan dan bantuan yang diberikan. Dengan perasaan campur aduk—lelah namun juga antusias dengan tantangan yang menunggu—keempat mahasiswa itu kembali memacu motor mereka, meninggalkan Desa Parung yang menyimpan banyak misteri. Perjalanan pulang ke Bandung terasa lebih cepat, namun pikiran mereka masih tertinggal di desa terpencil itu, membayangkan kehidupan selama satu bulan ke depan yang akan mereka jalani.

Rapat Laporan Survei: Keterkejutan dan Perencanaan Matang

Keesokan harinya, tim KKN Desa Parung kembali berkumpul di salah satu ruang rapat kecil di kampus. Kali ini, semua anggota hadir: Mario, Malvin, Rakha, Bagas, Jaka, dan Chandra. Suasana rapat sedikit berbeda, ada aura antisipasi dari anggota yang tidak ikut survei. Mario, Rakha, Bagas, dan Malvin sudah menyiapkan cerita dan, tentu saja, dokumentasi perjalanan mereka.

Malvin, sebagai ketua, memulai rapat. “Oke, guys, terima kasih sudah datang. Hari ini kita akan bahas hasil survei kemarin ke Desa Parung. Biar ada gambaran lebih jelas untuk kita semua.”

Bagas langsung menyela dengan semangat. “Siap, Ketua! Pokoknya perjalanan kemarin itu seru banget, kayak survival!”

Jaka dan Chandra saling pandang, penasaran. "Seru gimana, Gas? Emangnya kalian ketemu apa di sana?" tanya Jaka.

Malvin tersenyum tipis. "Sabar, Jak. Kita mulai dari awal. Jadi, perjalanan kita kemarin itu..." Malvin kemudian menjelaskan secara detail rute yang mereka tempuh, mulai dari memilih jalur dermaga Cisanti yang ekstrem, hingga tantangan medan yang mereka hadapi di Desa Parung. Ia menjelaskan bagaimana mereka harus menyeberangi waduk yang luas, melewati hutan pinus, hingga menemukan jalan setapak yang sulit.

Saat Malvin bercerita, Bagas sibuk memutar video Instagram Stories dan foto-foto yang ia ambil selama perjalanan. Layar proyektor menampilkan pemandangan Waduk Jatiluhur yang membentang luas, hutan pinus yang indah, hingga video candid Bagas yang dikejar babi hutan. Ada juga foto-foto jalan berbatu dan lumpur yang mereka lewati.

Jaka dan Chandra yang tadinya santai, kini duduk tegang, mata mereka membulat sempurna. Kaget melihat betapa tidak terduganya medan yang akan mereka hadapi.

"Astaga, seriusan kalian ketemu babi hutan?" Jaka berseru, hampir tidak percaya. “Terus ular jatuh di paha kamu, Vin? Gila, kayak nonton film survival!”

"Mana ada di deskripsi KKN desa kayak gini!" Chandra ikut menimpali, suaranya yang tenang kini terdengar sedikit terkejut. “Aku kira Purwakarta itu dekat, paling jalannya mulus.”

Mario, yang duduk di samping mereka, hanya bisa tersenyum masam. “Iya, Chan, Jak. Aku juga kaget banget kemarin. Sempat panik pas ular jatuh. Untung aja nyala lagi motornya, terus ketemu Bagas di lapangan.”

Rakha, yang biasanya irit bicara, menambahkan, “Tapi di sana udaranya segar banget, dan warga desanya ramah. Pak Kepala Desa juga bantu kita cari posko di belakang warung Teh Ani.”

Malvin mengangguk. “Betul kata Rakha. Meskipun medannya menantang, Desa Parung punya potensi besar, dan warganya sangat menyambut kita. Kita juga sudah dapat posko yang lumayan strategis, di belakang warung Teh Ani. Cuma, sinyal di sana memang agak susah, harus ke halaman kantor desa kalau mau lancar.”

Mendengar semua laporan dan melihat dokumentasi, Jaka dan Chandra akhirnya memahami mengapa teman-teman mereka terlihat begitu lelah dan sekaligus antusias. KKN kali ini jelas akan menjadi pengalaman yang jauh dari kata biasa.

Perencanaan Kebutuhan KKN

Setelah laporan survei selesai, Malvin mengalihkan fokus ke persiapan. “Oke, guys. Dengan gambaran medan yang sudah kita tahu, dan posko yang sudah ada, sekarang saatnya kita mulai merencanakan kebutuhan KKN kita.”

"Kita punya waktu sekitar tiga minggu sebelum berangkat," lanjut Malvin. “Kita harus bikin daftar belanja yang detail. Mulai dari alat-alat yang akan kita pakai untuk program kerja, sampai kebutuhan pribadi.”

"Berarti kita harus mikirin alat kebersihan posko juga ya," usul Chandra. “Sapu, pel, sikat, sabun cuci.”

"Betul!" Malvin mencatat. "Dan juga sabun mandi, sampo, pasta gigi. Jangan sampai di sana kita bau apek semua," celetuk Bagas, yang langsung disambut tawa kecil.

"Untuk administrasi, kita harus siapkan formulir-formulir, kertas HVS, pulpen, tinta printer kalau perlu," kata Rakha, yang memang teliti sebagai calon sekretaris.

Jaka menambahkan, “Dan jangan lupa bahan makanan pokok. Beras, mi instan, minyak goreng, kopi, teh. Mungkin bumbu-bumbu dasar juga biar Mario bisa berkreasi di dapur.”

Mario tersipu mendengar namanya disebut. “Siap, Jak! Kalau bahan lengkap, aku jamin makanan kita enak-enak di sana.”

"Nah, itu dia gunanya Io jadi penanggung jawab konsumsi," gurau Malvin. “Oke, jadi nanti kita bikin list lengkap per divisi. Bagas sama Jaka bisa bantu survei harga alat-alat dan kebutuhan logistik. Rakha dan Chandra bisa fokus ke administrasi dan pubdok. Dan Io, seperti biasa, list bahan makanan dan kebutuhan konsumsi.”

Rapat berlanjut dengan diskusi yang lebih terarah. Suasana serius bercampur candaan, menunjukkan kekompakan tim yang mulai terbentuk. Mereka tahu, tantangan di depan mata tidak akan mudah, tetapi dengan perencanaan matang dan semangat kebersamaan, mereka yakin bisa menghadapi segala rintangan di Desa Parung.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Episode 3 - Obsesi Penjaga Sekolah (18+)
0
0
Mario menghilang, teman temannya panik mencari Mario. Kini Mario sedang berada disekapan Pak Roni. Tubuh Mario hanya dapat dikendalikan oleh Pak Roni.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan